Kolom M.U. Ginting: Pendidikan Anak dan Remaja

Tanggapan Terhadap Tulisan Herlina Surbakti

 

M.U. Gintingpandidikan 1.Tanggapan yang positif dan komentar yang positif bagi anak-anak akan selalu menghasilkan buah yang positif. Ini sudah jauh dilaksanakan dalam pendidikan anak-anak di Eropah Barat. Betul sekali, memang, kalau tanggapan atau komentar yang negatif tak perlu diajarkan karena datang dengan sendirinya secara alamiah.

Datangnya juga tak terkendali dan bikin kontradiksi. Walaupun kontradiksi adalah tenaga penggerak perubahan dan perkembangan, tetapi hal ini tak berlaku bagi anak-anak didik yang masih SD dan SMP. Akan tetapi,  diantara murid SMA yang akan segera ke universitas pastilah teori kontradiksi ini perlu sekali terutama bagi siswa  yang mengambil jurusan sosial/politik. Di tingkat pertama pelajaran sosial ini mereka bisa merenungkan kembali ‘kontradiks sosial’ ketika di sekolah-sekoleh SD, SMP, dan SMA. Dulu, mereka tak mengerti secara hakiki, sekarang bisa menyimpulkan dari segi teori dan pengalaman yang dialami sendiri.

Bagaimana mengajarkan tanggapan yang positif bagi guru-guru Indonesia sekarang pastilah rumit. Soalnya, ini adalah hal yang baru bagi mereka. Banyak halangan, kultural maupun pendidikan guru sendiri tak pernah terpikir ke sana. Pekerjaan cooperative dan collaborative tak akan pernah jalan kalau tak ada feedback positif di kalangan siswa. Apalagi kalau yang ada hanya negatif.

[one_third_last]

sekarang dinyatakan dalam introversi atau extroversi

[/one_third_last]

Satu lagi yang sangat penting (sesuai juga dengan perkembangan zaman ini) ialah bahwa tiap murid dilahirkan dalam kultur tertentu yang terlihat di dalam sikap dan way of thinking mereka sehari-hari, sekarang dinyatakan dalam introversi atau extroversi. Karena ini adalah kultural (gen dan DNA) maka di setiap daerah otonomi terlihat perbedaannya dengan daerah otonomi lain yang berlainan kulturnya. Begitu juga di sekolah-sekolah yang campuran, umumnya murid-murid extrovert akan selalu menunjukkan diri di depan. Walaupun dalam soal pelajaran misalnya matematik, murid-murid introvert lebih di depan.

Siswa introvert mengambil energinya dari ‘kesepian sosial’, mereka recharge batterenya dalam situasi demikian, Ini tuntutan alamiah bagi mereka. Tanpa itu mereka tak bisa hidup. Sebaliknya, siswa extrovert mengambil energinya dari ‘keributan sosial’ juga tak hidup kalau itu tak dipenuhi. Ketika saya di SD, ada teman erat saya orang Batak, sangat terkenal bukan hanya di kelas saya tetapi seluruh sekolah karena dia selalu bikin ‘keributan sosial’ seperti bikin perkelahian dengan siapa saja. Hampir setengah abad kemudian barulah saya mengerti persoalannya. Terimakasih kepad Carl Jung. Bagusnya ialah sekarang semua bisa baca Jung.

Soal persaingan ekonomi dengan negeri lain mungkin untuk kita orang dewasa saja, anak-anak belum juga mengerti. Bermacam-macam persaingan memang; ada ekonomi, politik, ethnic competition, dsb. Dan, yang  paling rumit ialah persaingan yang satu tak bisa dipisahkan dari persaingan lain, seperti ethnic competition dengan ekonomi, dan politik.

Kita sudah ada contoh dekat yaitu di Aqua Doulu, dimana orang-orang Batak berusaha mendominasi dengan alasan ‘mendampingi’ orang Karo. Soal ini tentu erat kaitannya dengan politik dan ekonomi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.