Karo Jahé Bukan Suku Pendatang di Pesisir Timur

Oleh: Bastanta P. Sembiring (Senembah)

jahe 3
Gadis-gadis di Karo Jahe sebelum Jaman Kolonial

bastantaJahé-jahé (jahé = hilir) merupakan sebutan bagi wilayah Karo di bagian hilir, atau di Pesisir Timur Sumatera bagian Utara yang disebut juga Dusun/Karo Jahé. Kalak jahé-jahé dipakai untuk menunjuk kepada orang Karo yang berada di Dataran Rendah yang tentunya sebutan ini dilontarkan oleh orang-orang Karo di gugung (teruh deleng/ Dataran Tinggi Karo).

Tidak diketahui secara pasti kapan sebutan (jahé-jahé) ini mulai dipergunakan. Dalam cerita lisan Suku Karo yang diceritakan kembali oleh H. Biak Ersada Ginting dalam tulisannya “Perpindahan Penduduk” yang disusun kembali oleh Roberto Bangun dalam buku Mengenal Orang Karo (1986), menyebutkan: karena terjadinya perang yang terus menerus di negeri asal (di pesisir), maka pada periode tertentu terjadi migrasi (perpindahan) besar-besaran orang Karo dari pesisir ke gugung (dataran tinggi). Terutama pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636): terjadi apa yang disebut dengan Mburo bicok pertibi.

Orang Karo yang mengungsi dari Dataran Rendah (jahé) ke Dataran Tinggi inilah kemudian oleh masyarakat Karo di Gugung disebut kalak jahé-jahé ataupun Karo Jahé.

jahe
Namorambe, sebuah kampung Karo di Deliserdang sebelum jaman kolonial

Menanggapi pernyataan Moehammad Said (pimpinan Harian “Waspada”) yang menyebutkan pengaruh Hindu sampai ke Dairi dan Tanah Karo, Roberto Bangun dalam bukunya lebih lanjut menguraikan dan tiba pada pembahasan tentang pengaruh Hinduisme terhadap pertanian Karo. Dia berpendapat bahwa masa “ngerabi” di pengunungan Karo (Karo Gugung) dimulai sekitar tahun 1500 – 1600, artinya pada periode ini pertanian menetap sudah dimulai di gugung.

Dari pernyataan di atas, penulis berasumsi, tidaklah tertutup kemungkinan kalau orang Karo yang “ngerabi” itu dari daerah sekitar Gugung, termaksut juga dari Karo Jahé.

Masih dari sumber yang sama, Prof. H.G. Tarigan memaparkan kerna etimologi kata Karo (keterangan dan komentar tidak penulis lanjutkan) yang tentunya juga menguatkan kalau pada awalnya Suku Karo itu sebagian besar bermukim di pesisir. Hal senada diungkapkan beberapa tokoh Karo lainnya, baik dari sumber yang sama atau dari sumber literatur lainnya, maupun tradisi yang berkembang di masyarakat Karo dan penelitian arkeologi, serta publikasi penjelajah Eropa yang banyak memperlihatkan perkampungan Karo (tetunya juga Rumah Adat Karo) di dataran rendah/Karo Jahé.

Dari uaraian singkat di atas, penulis ingin menunjukkan bahwa anggapan umum yang mengatakan kalau sebutan Karo Jahé itu diberikan kepada orang gugung yang sudah menetap di dataran rendah (jahé), sehingga kemudian menumbuhkan persepsi kalau Suku Karo adalah suku pendatang di pesisir, itu salah! Sebab Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Pesisir Timur Sumatera bagian Utara.

Jauh sebelum Kesultanan Deli berdiri, suku Karo telah mendiami Pesisir Timur Sumatera bagian utara. Kerajaan Suku Karo yang bernama Haru (lebih lengkap dibahas oleh Brahma Putra: Karo dari Jaman ke Jaman) yang diperkirakan berdiri awal Masehi juga sudah eksis hingga penaklukan oleh Aceh(1612 M) yang kemudian menempatkan Gocah Pahlawan sebagai wakil Sultan Aceh di Deli dan diyakini sebagai leluhur Melayu Deli.

Di masa Kesulanan Deli dan Kesultanan Serdang, beberapa Urung (negeri/kerajaan) Suku Karo masih eksis, antara lain Urung Senembah(Karo-karo Barus), Amparen Perak XII Kuta(Sembiring Pelawi), Sukapiring(Sembiring Meliala dan Karo-karo Purba), dan Serbanama/Sunggal(Karo-karo Surbakti) yang menjadi Ulun Jandji(pemegang sumpah Kesultanan) yang juga merupakan Kalimbubu dari keluarga Kesultanan Deli.  Serta masih banyak lagi kerajaan-kerajaan kecil Suku Karo lainnya di sepanjang Pesisir Timur Sumatera bagian utara.

Ini salah satu bukti keberadaan Suku di Pesisir Timur sebagai suku asli, sebab federasi kesain, kuta, kesebayaken dan urung Karo sudah berbiak jauh sebelum Deli berdiri yang artinya, masyarakatnya juga jauh sebelumnya sudah mendiami daerah itu.

Bahkan, Kota Medan yang kini menjadi kota ketiga terbesar di Indonesia juga awalnya sebuah kuta(kampung) permukiman Suku Karo yang didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi, yang merupakan seorang dari Karo Gugung. Namun perlu diketahui, sebelum Guru Patimpus turun gunung, masyarakat Karo dan negeri-negeri Karo sudah berkembang di Pesisir.

Jadi, masihkan relevan jika kita mengatakan kalau Suku Karo itu pendatang di pesisir? Tentu tidak!





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.