TENTANG KATA BALAI

Oleh: Juara R. Ginting (Leiden, Nederland)

juara 18Kemarin, sewaktu saya membahas kata SUKU di dalam SUKU BANGSA saya berjanji akan membahas kata BALE (diucapkan juga BALAI dalam bahasa Indonesia). Untuk itu, saya mencoba mencari foto dari BALE itu di internet lewat google. Dan, saya terus gagal menemukannya dengan berbagai kata kunci hingga akhirnya ketemu dengan kata kunci PULUT BALE.

Bale atau Pulut Bale adalah sebuah cara menyajikan makanan pada Suku Melayu Pantai Timur Sumatera (Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, dan Siak). Disebut pulut bale karena makanan utama yang dihidangkan adalah nasi kuning yang berasnya dari beras pulut.

Sering di puncaknya ada ayam yang mirip sekali dengan MANUK SANGKEPI atau MANUK RATUR di Suku Karo atau juga MANUK NA BINATUR di Suku Simalungun bersama beberapa telur ayam rebus (di Karo hanya satu telurnya). Di nasi kuning itu dipacakkan pula beberapa bendera yang terbuat dari kertas (Lihat foto).

Tempat nasi itu dihidangkan disebut BALE. Terbuat dari papan/ kayu, berbentuk segi empat dan bertingkat-tingkat. Secara umum, PULUT BALE ‘menghadirkan dalam bale 2bentuknya terkini’ (to represent) sebuah kesuburan sebagaimana terkandung dalam kesuburan seekor induk ayam.

Perhatian utama saya dalam membahas pulut bale ini adalah terpusat pada kata BALE. Kata ini mengacu pada wadah tempat nasi pulut kuning itu dihidangkan. Bentuknya segi empat dan bertingkat-tingkat. Kadang diletakkan di sebuah alas yang dibentuk mirip kapal/ perahu sehingga BALE ini merepresentasekan galangan kapal.

Melayu sangat kuat mengkonsepsikan masyarakat/ kerajaannya sebagai sebuah kesatuan orang-orang yang berlayar dengan sebuah kapal/ perahu. Tak heran bila Riau disebut juga Negeri Lancang Kuning. Sebagaimana Claude Levi-Strauss berteori, konsep tentang masyarakat itu biasanya diaplikasi ke dalam bentuk keluarga sehingga lagu Lancang Kuning (berlayar malam) sering dinyanyikan pada acara pernikahan ala Melayu.

Model dari society adalah sebuah kapal/ perahu sangat kental di Maluku sehingga posisi-posisi di dalam masyarakat disebut dengan istilah-istilah bagian dari kapal/ perahu atau para pekerjanya. Kapiten seperti halnya gelar dari Kapiten Pattimura adalah mengindikasikan dia adalah nakhoda dari kapal/ perahu yang di Karo dikenal dengan istilah SINATANG LAYAR-LAYAR atau lebih kuno lagi ANAKHODA PERLAYAR.

Kalau sebuah kesatuan/ kelompok sosial dikonsepsikan/ modeled as sebuah kapal/ perahu dan pemimpin kelompok itu dikonsepsikan sebagai kaptennya, maka society (masyarakat) itu dianggap berlayar di lautan. Karena tidak hanya satu tapi tapi melainkan beberapa, maka kapal-kapal itu dibedakan berdasarkan JURU atau JURUAN sehingga sebuah teritori di Suku Melayu Pantai Timur disebut KEJURUAN (Kejuruan Hamparan Perak, misalnya) atau URUNG di Karo (ingat kata harung dalam mengharungi).

Tak heran kalau di dalam sitim pemukiman Karo ada kata TAPIN (tepian), PULO KUTA (seperti dalam Tanjung Pulo, Pulo Berayan, Toldik Kepulon, Pulo-pulo Kutandu).




Di dalam bahasa Indonesia kita kenal kata-kata JURU seperti halnya juru mudi, juru masak, juru rawat, dan lain-lainnya yang berarti spesialisasi. Semuanya berakar pada pengertian kata Melayu kuno, JURU.

Di dalam agama-agama Samawi (Jahudi, Kristen dan Islam) sangat kita kenal kisah Nabi Nuh dengan drama banjirnya dan keselamatan manusia di atas Kapal Nuh. Ini adalah NEW SOCIETY setelah society sebelumnya bangkrut. Awal dari kehidupan baru itu juga diujicoba dengan mengirimkan sepasang ndukur (dove) dengan mana hubungan suami-istri itu sama nilainya dengan hubungan turang (bersaudara) karena sepasang merpati atau sejenisnya adalah selalu bersaudara yang di Karo disebut PERIK SIDUA-DUA atau KERBO SADA NIOGA. Berdasarkan konsep itu, orang Karo memanggil kekasihnya dengan istilah TURANG yang artinya SISTER (dari laki-laki ke perempuan) BROTHER (dari perempuan ke laki-laki).

Kembali ke kata BALE. Kata ini juga dipergunakan di banyak suku di Indonesia yang berarti sebuah tempat/ bangunan atau lembaga rapat untuk mengambil keputusan. Berapa orang dianggap mewakili keseluruhan anggota masyarakat dalam mengambil keputusan. Di Karo, sebuah bale (seperti pada BALE KUTA dan BALE URUNG) biasanya terdiri:

1. SEMBUYAK
2. ANAK BERU
3. KALIMBUBU
4. SENINA

Kalau di kampung kami Lauriman 1, 2, 3, dan 4 adalah dari merga-merga:
1. MUNTE
2. KACINAMBUN
3. SILANGIT
4. MANIK

Bila runggu (meeting) diadakan di rumah adat maka perwakilan dari keempat merga itu duduk di 4 JABU SUKI:

1. Sembuyak (Munte) di BENA KAYU
2. Anak Beru (Kacinambun) di UJUNG KAYU
3. Kalimbubu (Silangit) di LEPAR BENA KAYU
4. Senina (Manik) di LEPAR UJUNG KAYU

Namun, sebuah bale di Karo bisa juga sebuah bangunan khusus yang biasanya adalah sebuah GERITEN (tempat penyimpanan tulang belulang). Atap dari bangunan Geriten biasanya dibangun secara bertingkat-tingkat, persis seperti bertingkat-tingkatnya BALE tempat menghidangkan pulut kuning pada Suku Melayu. Ayam di puncak bale adalah, dari sisi mata orang Karo melihatnya, adalah MANUK-MANUK SIMBULAN sebagaimana biasa dinyanyikan dalam ritual RALENG TENDI (memanggil jiwa yang kehilangan arah).

Untuk tak berlama-lama tak berpanjang-panjang, hamba mohon diri untuk sementara waktu. Bujur ras Mejuah-juah, Puan dan Tuan.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.