Kolom M.U. Ginting: Key Performance Index (KPI) di Kabupaten Karo

M.U. GintingKPI, Key Perfomance Index. Ini dia ukuran yang objektif bagi tiap pejabat, yang mulai dipakai oleh Ahok dalam konteks PNS DKI. Jangan pakai ukuran golf atau keeratan di lapangan golf seperti disinyalir oleh Ahok dalam menentukan kenaikan pangkat di DKI. Tak soal bila main golf di waktu libur, asalkan jangan waktu kerja, jadi tidak mengganggu. Waktu kerja ukurannya tetap KPI.

Ada program yang harus diselesaikan tiap hari. Program ini pasti tak bisa dipenuhi kalau main golf atau baca koran minum kopi ketika waktunya harus kerja. Banyak PNS didapatkan dari main sogok miliaran pula, karena enaknya jadi PNS. Dengan KPI tentu tak seenak itu lagi. 

KPI perlu diterapkan di semua daerah otonomi sehingga ada patokan dalam penyelesaian tugas Pemda.

terobosan
Agrowisata sekitar Gundaling. Foto: RIKWAN SINULINGGA.

Di Karo juga harus segera diterapkan KPI Karo. Di sini pasti lebih gampang karena masih berada di dalam satu kultur. Artinya, kearifan lokal bisa dimanfaatkan kalau bupatinya orang Karo yang masih mengerti adat dan kekuatan di dalam kultur. Lain halnya bila penguasa pendatang yang tak kelihatan berkepentingan bikin kesejahteraan penduduk asli pemegang tanah ulayat, seperti di daerah Deliserdang dengan penguasa pendatang sampai ke camat-camat dan lurah. Yang terlihat sangat menyolok ialah perusakan lingkungannya. 

Karena itu, sistem kekuasaan ini harus dipikirkan lebih dulu. Perusakan lingkungan dan tanah ulayat Karo di Deliserdang sudah dilakukan bertahun-tahun. Imbasnya sudah sangat  meresahkan. Lingkungan dan hutan dirusak terus-terusan. Jalan-jalan juga banyak rusak dan tak layak. Bisa dibayangkan kalau KPI masih jauh dari bayangan, penguasa pendatang tak berkepentingan!

Lain di Karo yang bupatinya masih mengerti adat Karo dan bisa melihat kekuatan besar yang tersembunyi di balik adat dan kulturnya. Itu ada di setiap daerah kultur dan yang penguasanya mengerti pula kultur dan budayanya. Karena itu, sangat susah bagi penguasa pendatang, sangat susah! Walaupun bukan tak mungkin! Di sini butuh orang luar biasa, seperti di DKI.

KPI (Key Performance Index) bisa juga dikombinasikan atau pastilah lebih gesit kalau dikombinasikan dengan kontrol publik. Pengalaman yang sangat berharga dari Kota Bandung dari kesimpulan pengalamannya memanfaatkan laporan dari masyarakat terkait pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat. Laporan masyarakat ini adalah salah satu sumber informasi yang sangat penting dan dibutuhkan oleh penguasa daerah otonom. Orang Karo banyak sungkannya, seperti melapor secara langsung. Tetapi orang Karo atau publik Karo sangat lincah dalam menggunakan internet memanfaatkan teknologi canggih ini. 




“Warga itu diam-diam akan melaporkan tanpa mereka tahu akan dilaporkan melampirkan bukti. Jadi tidak lagi kayak dulu seolah-olah bebas merdeka. Apalagi sekarang ada berbagai saluran bagi warga untuk melapor. Bisa  lewat sistem lapor, lewat ke twitter masing-masing, lewat surat tertutup,” kata-kata ini dari kesimpulan kang Emil soal laporan publik ke Pemda mengenai ketidakberesan PNSnya, yang berakhir dengan  pemecatan camat dan lurahnya.

Emil memecatnya karena bikin pungli. Semua kesalahan ini bisa ketahuan karena laporan publik itu dalam menggunakan sistem laporan dan terutama media sosial twitter. 

Ayo Pemkab Karo, bikin terobosan. Pejabat tanpa terobosan dalam era Revolusi Mental Jokowi sudah terlalu ketinggalan atau tak dibutuhkan lagi oleh masyarakat sekarang. Sama halnya dengan menteri kabinet yang tak punya terobosan atau ide baru akan jadi sasaran reshuffle, atau akhir-akhirnya hanya akan jadi sasaran KPK atau BNN, karena kalau tak bikin apa-apa secara terbuka, bisa cenderung bikin apa-apa yang tak terbuka, korupsi atau narkoba. Contoh ini sudah terlalu banyak dan sudah terlalu biasa!

Ayo Bupati Karo, bikin pilihan, yang biasa atau yang tak biasa!




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.