Kolom Bastanta P. Sembiring: ERBANTE BABI

bastantaSemasih kecil di Patumbak (Deliserdang), ada satu tradisi yang sangat melekat dalam kehidupan kami warga Suku Karo yang dikenal dengan istilah erbantai. Mungkin tradisi demikian juga terjadi di wilayah-wilayah Karo lainnya. Erbantai adalah tradisi memotong babi (membantai babi) pada hari-hari besar, misalkan Hari Kemerdekaan RI, ulang tahun persadaan (perkumpulan), menjelang tahun baru, dsb. Mungkin di daerah Karo lainya bisa diganti dengan kambing atau kerbau.

Bapak saya orang yang gemar sekali erbantai. Sampai-sampai dulu hampir tiap akhir bulan dia ikut erbantai babi, dari kelompok satu ke kelompok lainnya. Dia selalu berani erpasang kata orang Karo. Maksudnya, dia mendahulukan semua biaya agar kegiatan ini selalu terlaksana. Setidaknya 3 – 5 panggung/ terpok (istilah untuk bagian daging dan tulang) menjadi milik kami.

Kebetulan di tempat tinggal kami banyak beternak babi dan keluarga saya pun dulu juga beternak babi di belakang rumah. Tidak begitu susah mendapatkan babi, tentunya dengan harga lebih murah dari pasaran.

tesalonika
Acara makan siang bersama para pemuda Karo yang tergabung dalam PMS (Pemuda Merga Silima) dijamu oleh pengusaha RM BPK Tesalonika hari ini [Rabu 27/7]. Pemuda Karo (bukan Batak) ini siap mengawal RM BPK Tesalonika dri gangguna siapapun karena RM BPK adalah lambang kebanggan Suku Karo.

Perlu pembaca ketahui, banyak anak kampung saya yang jadi sarjana dari hasil beternak babi. Salah satu sahabat saya yang sekarang sudah menjadi dokter, juga dulu sepulang sekolah kerjanya memasak nasi babi. Demikian juga dengan saya yang tiap pagi memandikan babi dan anak-anak lainnya di kampung. Jadi, manfaat ternak babi sangat kami rasakan untuk membantu biaya pendidikan kami.

Biasanya, saat erbante babi juga ada ngerires (membuat lemang). Bisa dari pagi hingga tengah malam kami kumpul di satu tempat (biasanya lapangan terbuka). Saat erbante semua senang dan bergotongroyong. Kaum laki-laki mengerjakan daging, mulai dari menangkap babi ke kandang, membakar, memotong, hingga memasaknya. Sedangkan kaum perempuan menyiapkan bumbu-bumbunya.

Saat erbante sedang berlangsung, bagian daging-daging tertentu dimasak. Ada yang dipanggang (ingat Babi Panggang Karo), ada yang dijadikan lomok-lomok, sup dan jika ada yang ahli dalam mengolahnya kadang dijadikan kidu-kidu; sisanya dibagikan sesuai dengan panggungnya masing-masing. Kaum laki-laki yang sudah tua biasanya mengambil pekerjaan ngerires.




Saya paling suka bagian kuping dan lidah. Saya ingat saat bapak saya dan lainnya sibuk mengerjakannya, saya dan teman-teman terus jongkok di sampingnya agar mendapat bagian kesukaan kami itu. Kalau sudah dapat, kami pun kemudian memanggang bagian kuping dan lidah itu. Walau kadang gosong jadi arang dan tidak bisa dimakan lagi, seperti ada satu kepuasan bagi kami.

Kegiatan erbante ada yang spontanitas, walau demikian berhari juga mempersiapkannya. Ada juga yang memang sudah direncanakan berbulan-bulan sebelumnya.

Memang maknanya hanya sebatas bersenang-senang, tetapi tidak jarang saat erbante terselip juga diskusi serius. Bahkan, sering juga merebak hingga ke percakapan bidang politik sembari menikmati daging yang sudah dimasak serta sup tulang dan usus babi yang hangat.

Karena itu, tidak usah heran jika warga Suku Karo begitu ahli dalam mengolah daging babi. Dalam kesehariannya juga selalu bertemu dengan yang namanya daging babi. Mejuah-juah.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.