Catatan Peziarah (4): GAIRAH SI BINATANG JALANG

ITA APULINA TARIGAN (Leiden, Nederland)

 

Ita Apulina Tarigan 2Sejak SD saya sudah akrab sekali dengan AKU-nya Chairil Anwar. Yang mengakrabkan saya adalah frasa: Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang. Sampai saya remaja rasanya tak habis pikir, mengapa si-Aku menyebut dirinya binatang jalang?

Apa tidak malu? Walaupun puisi ini sangat heroik, “binatang jalang” membuatnya bukan menjadi pilihan untuk dibacakan di depan kelas. Aku ini binatang jalang, nggak deh.

Beranjak dewasa pengenalan akan Chairil Anwar dan puisi-puisinya membuat si Aku 2binatang jalang menjadi imajinasi dan penyemangat apalagi jika membaca frasa penutup aku mau hidup seribu tahun lagi.

Sekitar 14 tahun lagi saya mendapat kabar, kalau AKU diabadikan di dinding rumah warga di Kota Leiden. Sehingga, dalam list perjalanan mengunjungi binatang jalang masuk dalam prioritas. Bayangkan, menyaksikan puisi Chairil Anwar diabadikan di kota lain yang beribu kilometer jauhnya dari Tanah Air. Bergairah sekali rasanya membayangkan berfoto di bawah puisi AKU.

Yah.. dengan sedikit bersusah payah kami menemukan AKU di dinding sebuah rumah yang tertutup bangunan apartemen di sudut Kota Leiden. Kami melompati pagar rumput perdu (berharap mudah-mudahan tidak ada yang melihat). Musim semi mulai datang, suara pemotong rumput di kejauhan membuat kami nyaman menerobos.

Sebuah bangku taman ada di belakang apartemen, tepat di belakang kiri AKU. Halaman apartemen berbatas pagar besi hitam dengan rumah puisi AKU. 17 Agustus 1995, demikian guratan tanggal yang menerangkan kapan AKU ditulis di situ.




Menurut ahli sastra, AKU ditulis Chairil Anwar ketika dia sudah terinfeksi penyakit sifilis yang didapatnya dari tempat pelacuran yang kerap dikunjunginya. Mungkin saat itu dia menyadari hidupnya sudah tidak panjang, tetapi semangat dan ke-AKU-annya masih tetap menyala.

Konon, surat kabar berbahasa Indonesia pada masa itu tidak mau menerbitkan karya Chairil Anwar, karena dianggap terlalu individualis, galak dan kasar, tidak sesuai dengan semangat gotongroyong. Coba saja dengan frasa pendeknya yang terkenal: “Mampus kau dikoyak-koyak sepi” -Sia-sia 1943. Justru karena ditolak, Chairil menjadi penyair pertama Indonesia yang karyanya dimuat di majalah sastra di Amerika.

Lahir di Medan, 26 Juli 1922, meninggal di Jakarta 28 April 1949 dalam usia 26 tahun. Masih sangat muda dan hidupnya penuh kontroversi dan keliaran. Tetapi, seperti kata pamannya Sutan Syahrir dalam upacara pemakamannya: “Tetapi, tolak ukuran kita yang biasa tak dapat digunakan untuk menilai dia [Chairil Anwar]”.

Dan, sampai sekarang kita masih mengenang dan mengagumi karyanya.









Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.