GILA BELANJA: Mewaspadai Perilaku Konsumtif  

lahargo profil 2

Oleh: Dr. Lahargo Kembaren SpKJ

Psikiater RS Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor

 

PERILAKU konsumtif masyarakat tiba-tiba naik saat bulan Ramadhan tiba. Mal-mal menawarkan berbagai diskon produknya. Sementara, di jalan-jalan, para penjual berbagai macam hal berlomba ikut mengais rezeki dengan beraneka ragam dagangan. Perilaku konsumtif masyarakat pun terpicu dengan situasi yang demikian itu.

Pada tatanan masyarakat kita ada suatu tradisi yang ingin menunjukkan suatu kebanggaan dengan cara membeli barang-barang seperti baju, tas, sepatu, dll yang baru untuk kemudian ditunjukkan pada sanak keluarga sebagai tanda bahwa yang bersangkutan mampu membelinya.

Ketika perilaku konsumtif ini masih dalam batas wajar dalam arti hanya dilakukan pada hari raya dan sesuai dengan budget yang dimiliki maka sepertinya tidak ada yang salah dengan hal itu. Bukankah setelah satu tahun bekerja wajar bila seseorang ingin menunjukkan hasil jerih payahnya kepada keluarga, orangtua, anak-anak, dan sanak saudara. Ada rasa bangga di sana, rasa puas melihat anak dan orang tua tersenyum menerima hadiah dan rasa bahagia bisa menyenangkan hati banyak orang. Itu adalah hal yang baik bagi kesehatan jiwa.

Tetapi, ketika perilaku konsumtif sudah tidak lagi wajar seperti membeli barang-barang yang tidak begitu dibutuhkan dan melebihi budget yang dimiliki maka perilaku tersebut harus diperbaiki karena tidak sehat. Bisa saja oleh sebab malu atau gengsi orang membeli barang-barang yang sebenarnya tidak perlu/mampu dia beli. Perilaku konsumtif yang seperti ini tidak baik karena biasanya yang bersangkutan harus menggunakan budget untuk pos keuangan yang lain yang pada akhirnya berujung pada peminjaman uang/kredit.

Saat ini cara berbelanja bisa dengan berbagai cara, apalagi dengan adanya belanja online yang sangat memudahkan orang untuk dapat melihat dan membeli barang yang diinginkan kapan saja dan di mana saja.

belanja 2Ada juga perilaku konsumtif yang tidak dilakukan hanya pada hari raya saja tetapi menjadi suatu pola perilaku yang terus menerus. Orang yang memiliki kebiasaan “gila” berbelanja biasanya disebut shopaholic atau dalam bahasa medisnya adalah oniomania. Kebiasaan ini merupakan suatu gangguan pengendalian impuls dimana orang tersebut memiliki kompulsi untuk terus berbelanja.

Sebenarnya gangguan kompulsi ini sudah ada sejak tahun 1915 ketika Kraeplin dan Bleuler pertama kali mengemukakannya. Penderitanya biasanya akan berbelanja barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkannya dan biasanya memang barang tersebut pada akhirnya tidak digunakan, dibuang, atau disimpan saja. Yang paling penting pada penderita “gila belanja” ini adalah bagaimana memuaskan impuls dari dalam dirinya untuk berbelanja. Karena dengan berbelanja maka dirinya menjadi lebih tenang untuk sementara dan seperti orang yang adiksi maka mereka akan berbelanja lagi dan lagi.

Orang dengan oniomania ini biasanya memiliki masa kecil yang kurang mengenakkan dimana dia memiliki harga diri yang rendah dan sering diabaikan sejak kecil dan sering dianggap tidak penting dalam lingkungannya. Untuk mengatasi kesepiannya maka orang ini akan membeli barang-barang yang dalam pikirannya dapat mengobati kesepiannya tersebut.

Pada mereka yang mengalami shopaholic biasanya ditemukan adanya depresi, kecemasan, gangguan bipolar, mania, atau juga hipomania. Gangguan ini bisa melanda pria dan juga wanita. Untuk mengatasi shopaholic ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu: mengganti kegiatan shopping dengan kegiatan lain yang berarti (seperti olahraga, berenang, menari, bowling, tenis) dimana orang tersebut mendapatkan peran dan merasa berarti.

Hal yang lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan terapi kognitif dan juga pemberian obat-obatan yang dapat membantu mengurangi impuls yang negatif tersebut.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.