Sebuah Kota di Jambi Didirikan Orang Karo

Oleh: Bastanta Permana Meliala

 

simpang rambutan 2
Penulis (kiri) di Simpang Rambutan)

Simpang Rambutan, awalnya merupakan kawasan pertanian/perkebunan di Desa Suban (Kecamatan Batang Asam, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi) kini berkembang menjadi kawasan permukiman padat penduduk dan perdagangan. Populasinya didominasi oleh etnis Karo, Batak, dan Jawa.

Sebagian besar mereka bermatapencarian petani atau berdagang, pengusaha, buruh, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Suku asli daerah ini adalah Orang Rimbo atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam dan Anak Luar. Anak Dalam sebutan bagi mereka yang masih hidup di hutan, nomaden (berpindah-pindah), dan interaksi dengan dunia luar masih terbatas. Sedangkan Anak Luar sebutan bagi mereka yang sudah menyerap modernisasi dan tinggal menetap.

Oleh orang-orang Melayu mereka dijuluki Suku Kubu. Kata ‘kubu’ dalam bahasa Melayu berarti ‘benteng pertahanan’, namun makna lain dari kata ‘kubu’ adalah: ‘primitif, kafir, liar, brutal, pemakan babi, dsb’. Demikian oleh orang-orang Melayu dilabelkan kepada suku pedalaman di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan ini yang lebih berkonotasi negatif yang kemudian dikukuhkan berdasarkan catatan kolonial dan penjelajah asing, seperti halnya lebelisasi kata ‘batak’ pada suku-suku pedalaman Sumatera bagian Utara.

Keberadaan komunitas Orang Rimbo kemudian tergantikan oleh para pendatang Melayu yang menamai mereka dengan istilah Orang Kampungi untuk melegitimasi keberadaan mereka sebagai penguasa dan penghuni/pemilik asli kampung (bandingkan dengan yang terjadi di Sumatera Timur setelah Gocah Pahlawan menjadi Sultan Deli). Lambat laun keberadaan masyarakat Kampung ini juga pun semakin tersingkirkan oleh para pendatang Karo, Batak, Sunda, Banjar, dan Jawa. Keberadaan masyarakat Kampung kini hanya ditemui beberapa keluarga yang tersisa, yang bermukin di pinggiran Sungai Lumahen.


[two_third]Datuk Barus Tuo[/two_third]

Eksistensi masyarakat asal Sumatera Utara khususnya suku Karo di Simpang Rambutan tidak terlepas dari jasa Layari Karo-karo Barus, yang lebih dikenal dengan Ahmad Barus (Datuk Barus Tuo).

Layari Barus adalah perantau Karo asal Urung Senembah – Patumbak (Deliserdang). Nama Ahmad Barus diambil dari nama Ahmad Barus II yang lebih dikenal dengan sebutan ‘Paduko Datok Berhalo’ yang merupakan leluhur raja-raja Melayu Jambi. Sedangkan julukan ‘Datuk Barus Tua’ diberikan oleh masyarakat setempat kepada beliau yang tidak hanya dituakan oleh komunitas masyarakat Karo, tetapi juga oleh masyarakat Kampung/ Melayu serta komunitas lainnya.

Layari Barus diyakini sebagai simanteki (pendiri) atau pelopor pendirian Simpang Rambutan. Kejadian ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1970-an hingga awal 1980-an. Ini dikukuhkan melalui acara ergendang pada saat perayaan ulang tahun STM Merga Silima tahun 2010. Acara ini dihadiri Bupati Tanjung Jabung Barat yang saat itu drs. H. Safrial MS.

Saat penulis pertama sekali berkunjung ke Simpang Rambutan di bulan Juni 1997, kondisi Simpang Rambutan masih dikelilingi hutan rimba dan tanaman industry. Ditemukan hanya beberapa rumah yang didiami orang Kampung (Melayu), Karo, Batak, dan Jawa. Di perempatan Smpang Rambutan dapat kita temui toko sembako milik keturunan Tionghoa.

Saat berjalan, tidak jarang kita bertemu dengan simpanse (kera besar berbulu putih di dadanya), babi hutan, ayam rimba, dan binatang hutan lainnya. Beberapa kilang pengolahan kayu glondongan (saw mill) masih beroperasi. Terakhir di jalan ke Kamp A beroperasi hingga tahun 2012. Saat itu, baru saja berakhir masa jabatan Selamat Barus, bupati ke-7 Kabupaten Tanjung Jabung (Sebelum mekar menjadi Tanjung Jabung Barat dan Timur, Oktober 1999) Dia menjabat antara tahun 1986 – 1996. Dia adalah seorang putra Karo asal Karo Jahe (Deliserdang).

simpang rambutan 3
Siswa/i SDN 178 Sp. Rambutan usai membawakan tarian “Roti Manis” di sekolah saat perayaan HUT Kemerdekaan.

Tahun 2000 terjadi migrasi besar-besaran ke Simpang Rambutan. Sebagian besar mereka keluarga Karo dari Medan – Deli Serdang dan Langkat, Batak dari Tapanuli dan Siantar, Jawa dari Kisaran serta Bagan Batu, dll bermigrasi secara besar-besaran ke daerah ini pada tahun 2004. Sebagian besar mereka masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan pendatang sebelumnya.

Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup pesat ini mengakibatkan perubahan besar di Simpang Rambutan. Pendirian permukiman dan pembukaan lahan tentunya sangat mempengaruhi beberapa hal, diantaranya kelestarian lingkungan, ekonomi, sosial, dsb. Simpang Rambutan yang sunyi senyap sekejab berubah menjadi kota kecil yang ramai. Siang hari tak henti-hentinya mondar mandir manusia dan kendaraan, dan hampir setiap hari ada saja pendatang baru, mulai dari ingin memperluas harta, mengadu nasib, lari dari masalah (keluarga, utang, kejahatan, dsb), hingga mencari ketenangan. Malam hari yang biasanya hanya terdengar suara jangkrik, kodok, dan cahaya lampu petromax dan kunang-kunang kini diganti oleh teriakan mesin-mesin diesel (genset) dan cahaya lampu.


[two_third]Jatuhnya Harga Sawit[/two_third]

Tahun 2008, saat terjadi krisis ekonomi di Amerika Serikat yang tentunya juga mempengaruhi Indonesia, khususnya Simpang Rambutan yang dimana sebagian besar sumber pendapatan masyarakatnya dari perkebunan ‘kelapa sawit’, penulis mencatat saat itu harga TBS di petani terendah Rp. 125/kg tertinggi Rp. 155/kg. Harga ini bertahan hingga hampir tiga bulan dan baru stabil ke level di atas Rp. 1000/kg memasuki bulan ke delapan. Hal ini membuat perekonomian di Simpang Rambutan menjadi lesu. Petani merugi.

Di saat harga komoditi lainnya naik malah harga produk pertanian merosot ke level terendah. Bahkan, penulis juga mencatat saat itu harga upah pekerja sawit Rp. 150/kg untuk panen, Rp. 65.000 untuk harian, dan Rp. 2000/batang untuk kebersihan dan buang pelepah. Tentunya hal ini membuat para pemilik kebun merugi dan akhirnya membiarkan kebun-kebun sawitnya tidak dipanen dan tidak dibersihkan. Tidak jarang juga pemilik kebun terpaksa menjual kebunnya karena terlilit hutang. Sektor usaha lainnya juga terkena imbasnya. Akibat harga sawit turun tentunya daya beli masyarakat juga rendah.

2008 – 2010 menjadi periode berat bagi yang mencoba bertahan di Simpang Rambutan. Tidak jarang sebagian beralih ke sektor lainnya. Beberapa petani Karo bahkan mengganti tanamannya dari sawit ke jeruk manis, jeruk asam, jambu, kakao, dan karet. Sebagian lainnya menjadi pedagang dan buruh industri.

Petani Batak banyak beralih ke usaha perbengkelan dan dagang di pasar. Sebagian menjadi supir dan buruh industri kayu. Petani Jawa lebih ke usaha warung. Namun, beralihnya sektor usaha ini membawa dampak positif bagi pergerakan ekonomi dan pembangunan di Simpang Rambutan. Perlahan perekonomian di Simpang Rambutan semakin membaik dan stabil, karena pergerakan rupiah tidak hanya dari sektor pertanian saja.


[two_third]Terbitlah Terang[/two_third]

Perbaikan perekonomian juga sangat dipengaruhi oleh pembukaan pasar di Simpang Rambutan yang diadakan setiap hari Minggu dari pagi hingga malam hari. Simpang Rambutan sebagai permukiman padat penduduk yang letaknya sekitar km. 168 – 173 di Jalan Lintas Sumatera Riau-Jambi sangat diuntungkan, karena terletak di jalan lintas antar kota antar provinsi dan dikelilingi kawasan permukiman seperti Gudang Arang, Suban, Blok Kosong, Kamp ‘A’, Sungai Ari, dll yang kesemua penduduknya berbelanja ke Simpang Rambutan.

Kini Simpang Rambutan tidak hanya dikenal sebagai lokasi perkebunan dan pembuangan manusia (pasalnya dahulu tempat ini pernah sebagai lokasi lokalisasi, sehingga dijuluki ‘lembah hitam’), tetapi juga tambang rupiah bagi para pemburu rupiah. Diperkirakan peredaran rupiah di kota kecil di pelosok Jambi ini lebih kurang mencapai Rp. 1 M per harinya. Kini, tidak hanya masyarakat Karo, Batak, Melayu, Sunda, Banjar, dsb dari Sumatera saja yang datang, tetapi juga dari Jawa bahkan Flores untuk mengadu nasib di Simpang Rambutan.

2 thoughts on “Sebuah Kota di Jambi Didirikan Orang Karo

  1. Orang Karo dirikan kota Medan. ‘Karo Jambi’ di Jambi hehehe . . .
    Orang Karo memang bangsa alamiah suka alam dan hutan.

    Terima kasih info berharga ini bagi kita orang Karo

    MUG

    1. Simpang rambutan bukan kota, org Toba sudah duluan di simpang rambutan sebelum org Karo, Simpanse hewan primata endemik Afrika jadi gak mungkin ada di Indonesia apalagi di simpang rambutan, primata yg dimaksud adalah simpai bkn simpanse… Koreksi!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.