Kolom Salmen S. Kembaren: Paradigma Relokasi Sinabung Perlu Diubah

Pengungsi Letusan Gunung Sinabung (Foto: Ngguntur Purba)
Pengungsi Letusan Gunung Sinabung (Foto: NGGUNTUR PURBA)

SALMEN FOTOPeristiwa Lingga Berdarah tentunya menyita perhatian masyarakat Indonesia. Satu sisi berita tersebut dapat menjadi citra buruk kita yang menganggap masyarakat Karo sendiri tidak terima dengan saudaranya korban Sinabung. Juga citra kesukuan yang ternyata beringas dan keluar dari etika “mehamat”, “runggu” dan nilai – nilai kultural Karo lainnya. Sisi lainnya adalah bahwa ada permasalahan besar dan mendasar dalam relokasi.

Ada tiga paradigma pemerintah saat ini mengenai penanganan bencana, yakni menjauhkan masyarakat dari bencana, menjauhkan bencana dari masyarakat dan hidup berdampingan secara harmonis dengan bencana (Sri Mulyadi).

Relokasi korban erupsi Sinabung mengadopsi paradigma pertama yakni menjauhkan masyarakat dari bencana. Dalam paradigma ini juga mengandung banyak unsur yang penting diperhatikan yakni faktor kecepatan, lokasi, sumber daya, infrastruktur, ekologi dan sebagainya. Namun, yang sering luput dari perhatian atau sengaja diabaikan adalah faktor kesejarahan sosial dan budaya masyarakat. Baik masyarakat korban atau yang akan direlokasi maupun masyarakat sekitar daerah relokasi.

Pengungsi 26
Pengungsi tetaplah Pengungsi…. Sabar Nini Karo….. Ingani lebe Saponta ena… Pangani lebe Jadup ena…. Lit nge pagi Malemna…!!!! (Foto & Teks: JHON ROCKY)

Hal ini telah terbukti sangat penting diperhatikan dalam penanganan ancaman bencana. Relokasi ke Desa Lingga dari faktor lokasi mungkin saja dapat dikatakan layak untuk hunian, faktor kecepatan sangat tidak layak. Sumber daya juga kurang layak karena lahan pertanian yang sempit atau tidak ada sama sekali sedangkan mayoritas pengungsi yang akan direlokasi ke Desa Lingga adalah petani. Secara infrastruktur bisa saja anggaran memang mencukupi karena ditopang pemerintah pusat juga. Terpenting dan terlupakan adalah faktor kesejarahan sosial dan budaya masyarakat yang berujung pada munculnya bencana baru. Konflik antara masyarakat, pemerintah dan bisa saja jika berlanjut dengan pengungsi yang direlokasi.

Dalam proses relokasi korban Sinabung orientasi pemerintah sepertinya hanyalah penyelamatan kehidupan sosial ekonomi semata. Pemerintah sepertinya hanya ingin menyelamatkan kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial saja. Pemerintah kurang memperhatikan orientasi atau pendekatan korban, relokasi sepertinya sesuai pemikiran dan rencana para ahli-ahli dan profesional, apalagi pebisnis (pihak ke tiga). Sebaiknya dilakukan dahulu pendataan (kalaupun boleh dikatakan penelitian) mengenai masyarakat yang akan relokasi juga masyarakat sekitar daerah relokasi. Baik lokasi, model, metode, waktu, tata cara, pemindahan benda budaya, dll harus diperhitungkan.

Relokasi masyarakat Desa Gurukinayan berbeda dengan masyarakat Bekerah, Kuta Rayat dan Simacem (Bekasi). Masyarakat ketiga desa terakhir tersebut diberi hunian dan lahan pertanian dengan mengkonversi hutan produksi Siosar. Sedang masyarakat Gurukinayan yang ribuan rumah tangga hanya diberikan hunian semata. Apakah ini bentuk diskriminasi atau karena pertimbangan lahan Desa Gurukinayan yang sebagian tidak dalam zona bahaya Sinabung. Seharusnya tidak ada perlakuan yang berbeda dari pemerintah atas situasi korban yang sama.

pengungsi 17
2 pengungsi membaca surat kiriman. Lit nge pagi malemna nande (Foto: JHON ROCKY)

Memindahkan masyarakat berarti memindahkan budayanya juga. Pemerintah pusat mungkin mengira masyarakat Karo itu memiliki satu kesatuan budaya saja. Dan hal ini memang seharusnya menjadi pekerjaan Pemda yang lebih mengetahui kultural masyarakatnya. Memindahkan ribuan jiwa ke Desa Lingga berarti ikut memindahkan karakter, kepentingan politis, struktur sosial dan bahkan tulang belulang nenek moyang masyarakat Desa Gurukinayan. Benturan karakter, kepentingan sosial politis, persaingan ekonomi berujung pada dua hal yakni konflik atau kerjasama. Pada kenyataannya yang terjadi adalah konflik karena struktur sosial masyarakat Desa Lingga dengan Desa Gurukinayan adalah berbeda.



Relokasi masyarakat korban Sinabung juga agar tidak dicekoki kepentingan pebisnis terutama pebisnis lokal. Sebaiknya relokasi langsung ditangai oleh pemerintah pusat saja atau melalui kementerian PU Perumahan Rakyat saja. Hal ini untuk meminimalisir penyimpangan biaya dan kepentingan. Selain itu Kabupaten Karo memiliki luas lahan hutan produksi dua puluh ribuan hektar yang berarti secara ekologis dan sosial kultural dapat meminimalisir ancaman bencana juga.

Kita selalu berbicara agar segera, segera dan segera, tapi nyatanya sudah 6 tahun masalah Sinabung masih juga menambah luka. Hal ini dikarenakan adanya oknum yang menambatkan kepentingan mereka dalam proses relokasi ini. Sekali lagi, proses relokasi harus dengan menambah pendekatan sosial – kultural korban (kekaroan). Jika pendekatan ini tidak digunakan maka kita hanya sedang memindahkan dan mengubah bentuk bencana saja bukan meminimalisir risiko atau ancaman bencana.








One thought on “Kolom Salmen S. Kembaren: Paradigma Relokasi Sinabung Perlu Diubah

  1. Selain perbedaan berbagai desa juga disini sangat menonjol aspek adu domba.
    Siapa yang berkepentingan bikin itu, dan berapa keuntungan dicapai dari situ?
    Sangat disayangkan peranan bupati Karo sebagai orang Karo yang seharusnya mengerti semua analisa yang di uraikan dalam kolom ini, tetapi terlihat tidak menganggap penting arti kearifan taradisional orang Karo dalam menyelesaikan persoalan sosial masyarakat Karo, dalam runggu Karo yang sudah berjalan baik selama ribuan tahun tepatnya 7400 tahun.
    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.