Kolom Herlina Surbakti: Revolusi Sosial di Sumatera Timur

herlina 3

Ibu saya beru Ginting, selalu bercerita kepada kami anak-anaknya tentang Zaman Revolusi, begitulah dia menamakannya. Biasanya ‘story telling’ ini dilakukan seperti cerita bersambung. Ayah dan ibu, biasanya menuturkan cerita mereka masing-masing, walaupun terkadang mereka menceritakan kejadian yang sama. Bapak menikahi Bibinya.

Nenek saya dari pihak bapak adalah beru Ginting anak kuta Rumah Brastagi, sedangkan keluarga ibu berasal dari Doulu. Cerita ini diceritakan berulang-ulang sampai saya SMA. Menurut cerita ibu, ayahnya bernama Toto Ginting. Kakek saya ini tidak suka berladang walaupun pada masa itu warga desa makmur dengan berladang dan sawah karena lahan masih subur.

Pada masa pemerintahan kolonial, harga hasil bumi sangat baik. Marquisa bisa membuat warga desa jadi kaya. Tapi, kakek saya memilih untuk penjual peldang (tumbuhan jenis sporazoa yang tumbuh di ketiak-ketiak pohon). Salah satu pelanggan tetapnya adalah keluarga Sultan Deli.

Kakek selalu mengatakan bahwa Sultan Deli adalah kalimbubunya. Selain itu kakek revolusi sosialjuga mempunyai pelanggan-pelanggan dari kalangan keluarga Belanda.

Kedengarannya pada waktu itu orang Karo tidak pernah merasa dijajah. Bapak saya yang warga Rumah Berastagi juga menceritakan kehidupan masa kecilnya di Berastagi. Dia bekerja sebagi baby sitter untuk dua orang anak-anak Belanda di Brastagi. Otomatis orangtua kedua anak Belanda itupun mengajari Bapa tentang lingkungan hidup.

Pada suatu hari, bapak membawa kedua anak-anak Belanda yang dijaganya itu memanjat langit-langit rumah untuk mengambil sarang burung beserta anak anak burung yang ada di dalam sarang.

Bapak saya tidak menceritakan bagaimana si Tuan Belanda itu mengajarnya, tetapi sampai tua bapak saya menjadi penyayang binatang dan kecintaannya terhadap binatang diajarkannya kepada kami anak-anaknya.

Mereka juga bercerita tentang orang-orang Eropah yang dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi yang ada di Berastagi. Mereka semua tidak diberi makan dan apabila diberi kulit pisang untuk dimakan pun sudah senang. Mereka semua bebas setelah Jepang meninggalkan Indonesia.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Indonesia pun diproklamirkan oleh Sukarno dan Hatta. Rakyat Indonesia menyambutnya dengan penuh semangat kecuali kaum raja urung pada waktu itu yang disebut golongan feodal dan segelintir bekas pegawai atau serdadu semasa penjajahan Belanda sebelumnya.

Di seluruh Indonesia, mereka yang pro-kolonial dianggap pengkhianat-pengkhianat bangsa karena menyambut kedatangan Belanda untuk kembali setelah Jepang kalah. Oleh sebab itu, pada tanggal 3 Maret 1946, di seluruh Sumatera Timur diadakan RevSos atau Revolusi Sosial.

Kata ibu saya, abangnya bernama Suka Ginting Suka adalah seorang pengusaha pada waktu itu. Dia menjadi orang yang dicari oleh anggota-anggota sebuah organisasi yang bernama Barisan Harimau Liar (BHL). Tapi, beliau selamat karena ada keluarga Karo yang menyelamatkannya.

Penghulu Desa Doulu pun diculik atau iguniratahken pada malam hari. Pemerintahan otokrasi diganti dengan Demokrasi, yaitu setiap pemimpin baik pusat, daerah, bahkan desa, dipilih oleh rakyat.




Menurut Ibu saya, kalau seseorang memakai baju ada warna merah, putih dan biru, maka orang itu akan dibunuh. Ada seorang dokter orang Batak di Berastagi. Dia menyimpan tablet dengan inisial B, akhirnya dia pun dituduh pro Belanda dan langsung dihilangkan. Seorang sastrawan Pujangga Baru, Amir Hamizah di Langkat turut menjadi korban padahal beliau cinta akan Nusa Bangsa.

Khusus di Kabupaten Karo, pada tanggal 3 Maret itu diundang oleh persatuan perjuangan semua sibayak dan raja urung ke Pasanggerahan Gundaling, Berastagi. Semua yang dianggap tidak berjiwa Republikan ditangkap. Sejak tanggal 5 Maret 1945 Kabupaten Karo sementara ditangani oleh Tentara Republik Indonesia dengan mengangkat Mayor M. Kasim Nasution dengan nama jabatan kepala luhak.

Pada tanggal 25 Maret pemerintahan militer diganti dengan pemerintahan sipil, yang kemudian berdasarkan Komite Nasional se-Sumatera menjadi Kabupaten dipimpin Bupati. Kewedanaan dipimpin Wedana dan dengan memasukan Deli Hulu menjadi satu kewedanaan bernama Karo Jahe. Karo Timur atau Silima Kuta yang termasuk juga daerah Simalungun. Dalam Revolusi Sosial dan perubahan pemerintah, Dr. M. Amir yang sedang menjabat wakil gubernur Sumatera Utara dan keluarganya melarikan diri ke kamp Nica di Medan.

Referensi :
Sejarah perjuangan Suku Karo oleh Haji Naik Ersada Ginting, Penerbit Ravi-Bina, Jl. Pasar Pringgan No.3, Medan




One thought on “Kolom Herlina Surbakti: Revolusi Sosial di Sumatera Timur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.