Kolom Bastanta P. Sembiring: Ini Soal Danau Toba, Bukan Pembatakan

bastantaDengan cepat berita dan video tangisan Bupati Simalungun J.R. Saragih tersebar luas. Beragam tanggapan pun bermunculan di media sosial. Ada yang simpatik atau mendukung. Tak jarang komentar meremehkan, menuding kalau tangisan sang bupati hanya cari sensasi dan ada juga menilai kalau apa yang dilakukan oleh bupati ini adalah ketidakmampuan beliau. Lebih kejam lagi, dituding sebagai cerminan ketidak nasionalisan beliau.

Namun, jika dipikirkan, ada benarnya juga apa yang diutarakan Bupati Simalungun ini, mengingat Karnaval Kemerdekaan yang dilaksanakan itu bertempat di Parapat yang masih masuk dalam wilayah Kabupaten Simalungun.

Sebagai pemimpin di daerah tersebut, tentunya harapan beliau agar budaya setempat yakni Simalungun menjadi tuan rumah atau yang ditonjolkan sangatlah wajar, apalagi di rumah sendiri. Ini momen yang tepat sebenarnya menunjukkan siapa dan apa Simalungun itu kepada masyarakat nasional bahkan internasional. Apalagi ini dilihat langsung oleh orang nomor satu di republik ini dan tentunya rombongan yang berisi elit-elit di negara ini.

danau toba 2Namun apa mau dikata, tak selamanya dapat berjalan sebagaimana diharapkan.

Dalam kesempatan yang sama, beliau (JRS-red) tidak hanya meminta maaf kepada masyarakat Simalungun, tetapi juga kepada masyarakat Karo dan Dairi karena tidak dapat menampilkan dan memperkenalkan kedua budaya ini di hadapan presiden, mengingat acara ini bertajuk Pesona Danau Toba, dimana Karo dan Dairi merupakan wilayah dan budaya yang juga bersinggungan langsung dengan Danau Toba seperti halnya Simalungun.

Kekecewaan Bupati JR Saragih ini mungkin tidak hanya sangat dipahami oleh masyarakat Simalungun saja, tetapi masyarakat Karo yang dikenal sangat dekat dengan beliau juga turut kecewa dan memberi simpati kepada Bupati Simalungun ini. Hal ini tampak tertuang dari dukungan terhadap beliau di grup-grup Suku Karo.

Tetapi, kekecewaan masyarakat Karo bukan itu saja. Banyaknya pemberitaan di media yang menampilkan foto-foto kesenian tradisional Karo, seperti Landek (tarian) Karo, ndikar/ mayan (bela diri Karo), dan Gundala-gundala (tari topeng Karo) yang menghiasi halaman utama di banyak media, yang seharusnya membuat bangga masyarakat Karo, ini malah menuai kekecewaan. Pasalnya, media itu tidak memberikan informasi yang akurat mengenai tampilan foto tersebut dan hanya mencantumkan “budaya Batak”.

Masyarakat Karo merasa sangat dirugikan. Dan, sangat disayangkan pula, hal ini dilakukan oleh media-media nasional. Soalnya, keterangan dan isi dari pemberitaan banyak media itu ditakutkan di kemudian hari akan menimbulkan efek pengkaburan informasi terhadap kekayaan-kekayaan tradisi Suku Karo. Untuk itu diharapkan ke depan kiranya wartawan ataupun dapur redaksi lebih teliti dalam hal ini agar jangan ada pihak yang merasa dirugikan.




Berkaitan dengan masalah pemberitaan di media, di grup-grup Karo di media sosial pun ramai dibahas mengenai hal tersebut. Kebetulan salah seorang yang diketahu ikut dalam acara tersebut memberi konfirmasi kalau itu sepenuhnya kesalahan antara panitia dan media.

“Semua hasil wawancaraku tidak ada yang terbit… berita di Kompas itu sumbernya adalah panitia…” demikian konfirmasi dari Simpei Sinulingga via akun facebooknya kepada masyarakat Karo.

Sambungnya, dengan sedikit kesal: “Jika ada yang menyalahkan penarinya berarti menyalahkan kalak Karo… narasi sudah kami berikan ke panitia, tapi dibuang ke danau….”

Lanjutnya: “Kami sudah berjuang, sudah berlatih, sudah berkreasi dan siap kembangkan… Siapa kawan kami?”

Berulang-ulang beliau mencoba jelaskan kalau itu semua di luar sepengetahuannya. Seperti kutipan komentar berikut: “La terbit si kujelasken rebih, uga sibahan dage, yah?”

Sambungnya: “Udah dijelaskan semalam… tetap aja sumbernya dari panitia yang diterbitkan….”

Demikian konfirmasi Simpei Sinulingga, yang dikenal juga sebagai pesilat (pandikkar) asal Desa Lingga (Kecamatan Simpang empat, Kabupaten Karo) atas hal tersebut. Dia mengaku kecewa atas pemberitaan media yang tidak mencantumkan bahwa yang mereka tampilkan itu adalah kesenian dari Suku Karo, bukan dari Suku Batak.

Thema dari acara adalah Danau Toba untuk pariwisata Indonesia, bukan soal Batak. Mengapa suku-suku yang ikut berpartisipasi karena tanah ulayat mereka bersingungan dengan Danau Toba malah di kesempatan ini di-Batak-kan?

Di bawah ini adalah video J.R. Seragih menangis saat konferensi pers.









4 thoughts on “Kolom Bastanta P. Sembiring: Ini Soal Danau Toba, Bukan Pembatakan

  1. Menjadi pembelajaran Pak Saragih dan juga Bupati Karo dan Dairi, Ini murni etnic competition (sudah lama kita tahu-namun sekarang menjadi lebih nyata-berhati-hatilah dalam “pengkerdilan etnic”). Untuk perayaan kedepannya, bentuk tim anda sendiri jangan pernah dipercayakan dari media lain yang tidak dapat diajak bekerja sama. Pastikan media peliput di bawah kendali Bapak sekalian, dan setiap acara tempatkan orang-orang yang Bapak percaya, Lakukan follow up secara detail, jangan pernah percaya begitu saja. Jadilah TUAN di tanam sendiri. Mejuah-juah

  2. “Salah satu fungsi kepemimpinan adalah “kontrol”, kenapa kok fungsi ini tidak digunakan ?” (RGM)
    Betul sekali memang, bupati Simalungun suku pemilik tanah ulayat Parapat membiaarkan saja menteri datang kedaerahnya pakai pakaian tradisi suku lain. Terlintas juga dalam hati saya melihat situasi etnis-etnis minoritas dibawah tekanan ‘hegemoni’ suku mayoritas lebih berkuasa dan lebih expansif, seakan-akan tak punya ‘kekuatan’ melawan ‘hegemoni’ itu. ‘Hegemoni’/dominasi suku kuat dalam Panitia pesta itu sehingga tak tersinggung oleh bupati Simalungun. Akhirnya dia yang tersinggung dan mengeluarkan air mata. Banyak efek positif juga air mata pak bupati ini. Persoalan jadi keluar dan banyak yang dari pusat itu terpaksa berpikir apa yang terjadi sebenarnya dibalik semua keramaian itu yaitu perjuangan kekuasaan dalam kultur etnis-etnis daerah. Dan menteri pariwisata itu terpaksa minta maaf dan belajar lagi soal kultur/tradisi etnis-etnis berlainan di Sumut dan sekitar danau Toba khususnya. Dan bahwa Simalungun bukan Batak atau Toba. Ini hasil air matanya pak bupati he he he . . .

    MUG

  3. Bupati Simalungun JR Saragih meneteskan air mata karena merasa suku Simalungun tidak digubris dalam upacara pesta Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba di Parapat, Kabupaten Simalungun, dimana Menteri Pariwisata mengenakan pakaian adat Batak Toba.
    Suku atau etnis sudah menjadi pembicaraan ‘biasa’ dalam perjalanan kehidupan manusia abad 21, tepatnya setelah kontradiksi pokok dunia berubah dari pertarungan dua blok menjadi pertarungan untuk keadilan yang tercermin jelas dalam perjuangan ekonomi dua kepentingan, yaitu kepentingan nasional kontra kepentingan luar atau neolib. Ini berlaku diseluruh dunia, disemua nation, disemua daerah dan disemua pelosok dunia. Orang bisa berkata bahwa dari dulu juga ada perjuangan untuk keadilan. Betul, tetapi dalam tingkat perkembangan tertentu sejarah, hanya satu kontradiksi yang berdominasi, artinya yang menjadi kontradiksi pokok. Dalam era perjuangan untuk kemerdekaan, itulah yang pokok, artinya perjuangan melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan. Soal etnis tidak ada yang ingat, tidak tersinggung atau tak ada waktu kesana karena menghadapi penjajah.

    Dalam era perang dingin atau pertarungan dua blok (barat dan timur) juga tidak ada yang menonjolkan soal etnis/kultur, karena semua persoalan ‘besar’ yang ada harus mengabdi atau diabdikan kepada kontradiksi pokok itu, mengabdi barat atau timur.

    Setelah kontradiksi pokok itu berubah, sekarang dengan perjuangan untuk keadilan sebagai kontradiksi pokok, dan masalah etnis pada dasarnnya adalah masalah keadilan, maka dengan sendirinya soal ini akan selalu terikutkan, walau kita bicara soal apapun, terutama dinegeri multi entis seperti Indonesia. Tanpa mengikutkan masalah etnis agaknya dalam menyelesaikan soal-soal nasional tidak akan menemukan solusi yang memuaskan kalau tak diikutkan masalah-masalah yang ada yang menyangkut soal etnis dan soal keadilan bagi etnis-etnis dan daerahnya. Pemilik asli Indonesia adalah etnis-etnis daerah dan kulturnya yang beragam itu.

    Pandangan dunia terhadap masalah etnis juga berubah sangat drastis, dan masih terus dalam penyelidikan yang semakin meluas dan mendalam, terutama dikalangan akademisi orang-orang barat, tetapi dan yang paling menarik saya pikir ialah juga dikalangan akademisi negeri-negeri berkembang yang multi-etnis itu sendiri. Saya katakan ‘paling menarik’ karena akademisi negeri berkembang ini bisa melihat dari segi pandang kultur mereka sendiri. Barat melihat dari fakta-fakta nyata dan dari sudut pandang barat tak terelakkan. Akademisi barat terutama antropolognya banyak mengadakan penyelidikan yang sangat mendalam, menulis fakta-fakta dan kesimpulan yang bagus atas dasar fakta-fakta dilapangan yang ditemukan sendiri.
    Perkembangan yang patut kita ikuti setelah kontradiksi pokok dunia berubah, dan sangat menarik meneliti tingkat-tingkat perubahan pemikiran soal etnis dan kulturnya a.l. saya tuliskan dibawah ini:

    Tahun 1996 buku prof Ruth Lapidoth Autonomy: Flexible Solutions to Ethnic Conflicts, a.l menulis:

    “To use more political language, it is ‘the self assertion of ethnic groups, ranging from primary cultural, religious, and educational
    endeavors, via political organization, to ultimate step of struggling for territorial or state power’.”

    Ini menggambarkan kenyataan dalam proses perjuangan antar etnis atau ‘ethnic commpetition’ sering dipakai istilahnya dalam dunia akademisi internasional. Kenyataan ini tidak tergantung kesedaran manusia, mau atau tidak mau kita menerimanya atau mengakuinya.

    Juga tahun 1996 prof Denis Dwyer dalam bukunya Ethnicity and Development, menulis:

    “development programmes frequently are controlled and administered at the higher levels by members of the politically dominant ethnic group; and most of the fruits of such development flow into the pockets of a tiny ethnic elite or at best, are distributed in a limited manner within the same ethnic group”

    Pernyataan ini juga masih menggambarkan kenyataan apa adanya, dan saya pernah menuliskan gejala ini sebagai ‘internal colonialism’, dari pernyataan klasik bahwa penjajahan adalah dominasi, dan dengan sendirinya juga dominasi adalah penjajahan, dan disini ‘penjajahan internal’ bukan dari negara luar.

    Tahun 2003 Svante Ersson dan Erik Lane memasukkan 3 faktor dalam demokrasi, yaitu faktor yang kedua dia katakan adalah ethnicity and religion.
    Th 2003 dialah salah satu yang mulai memperhitungkan soal kesukuan dalam masalah demokrasi.

    Tahun 2006, orangnya Erik Lane juga menulis lebih tegas dalam bukunya ‘Globalization and Politics’: “the focus is almost exclusively at ethnics and not nation”
    “Thus, people are so intimately connected with a culture that they are, so to speak, constituted by the culture in question or embedded in such a particular culture.”

    Juga a.l. Jerry Muller Catholic University, Americans, writes Muller, “find ethnonationalism discomfiting both intellectually and morally. Social scientists go to great lengths to demonstrate that this is a product not of nature but of culture. …”
    Dan selanjutnya dia meneruskan:
    “Whether politically correct or not, ethnonationalism will continue to shape
    the world in the twenty-first century.”

    Tahun 2009, Dominique Moisi membagi dunia dalam peta perasaan atau kultur, dalam bukunya, The Geopolitics of Emotion: How Cultures of Fear, Humiliation, and Hope are Reshaping the World. Moisi melihat emosi, perasaan dalam tiap kultur, tiap etnis dan nation. Dari situlah juga muncul Quiet Revolution atau interovert revolution terus ke kemunculan Revolusi Mental.

    Inilah beberapa gambaran perkembangan dalam proses yang berurutan dari tahun ke tahun sejak permulaan perubahan kontradiksi pokok dunia, dari kontradiksi antara blok barat dan timur, sampai kontasiksi pokok sekarang sebagai perjuangan untuk keadilan. Jelas kelihatan perubahan pikiran manusia penulis-penulis itu sendiri, dalam melihat kenyataan dalam perkembangan kontradiksi antar etnis/kultur mengikuti perkembangan dan perubahan kontradiksi dunia.

    Dalam persoalan etnis dimulai dari ‘tak berani menuliskan’ atau dimulai dari mentabukan, seperti pengalaman kita sendiri, sukuisme sangat tabu, dan sekarang dunia sudah melihat betapa mahal manusia membayar dengan politik pentabuan itu.

    Ethnic Competition adalah kenyataan, masalah terbuka atau tertutup, menuju kursi kekuasaan di daerah atau secara nasional. Ditutupi tentu ada maksudnya, namanya juga competisi (dalam mencapai tujuan competisinya masing-masing). Terbuka, ya punya kelebihan tersendiri. Terbuka adalah dasar kejujuran, artinya semua yang lain bisa melihat, menilai dan pilih, karena terbuka dan argumentasi terbuka, terus terang dan jujur. Jamannya juga era keterbukaan dan era partisipasi publik.

    Kalau dipesta Danau Toba itu persoalan ethnic competion atau ethnic self-assertion ini ditutup-tutupi atau pura-pura tak tahu saja, susahlah mencari solusi persoalan yang ditumbulkan oleh ethnic competition itu sendiri. Berpura-pura tidak tahu kalau Parapat adalah daerah suku Simalungun, berpura-pura tidak tahu perbedaan pakaian adat Toba atau pakaian adat Simalungun, berpura-pura tidak tahu kalau dalam hal itu berlaku ethnic self-assertion siapa menang siapa kalah, berpura-pura tidak tahu kalau ada percobaan membatakkan etnis-etnis Simalungun, Karo dan Pakpak dalam rangka self-assertion tadi. Kalau semua ini tak diakui, semua akan jadi gelap dan dari kegelapan tak ada cahaya. Dan tak mungkin ada solusi kalau hanya berpura-pura tak tahu atau menutup-nutupi ethnic competition yang sudah didepan mata. Atau dengan dalih pesta Danau Toba menutupi ethnic competition dan ethnic self-assertion yang dahsyat itu.

    Kompetisi ini tak mungkin diselesaikan oleh menteri parawisata, tetapi mungkin oleh etnis-etnis itu sendiri, dengan meletakkan soal-soal diatas meja dan mengikutkan publik.

    MUG

  4. makanya segala sesuatu kalau menyangkut kepentingan daerah termasuk kebudayaannya dicermati dan diantisipasi. Jangan setelah terjadi penyimpangan baru menangis. Salah satu fungsi kepemimpinan adalah “kontrol”, kenapa kok fungsi ini tidak digunakan ?

Leave a Reply to MUG Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.