Tanggapan Atas Lembaga Adat Karo

Jebta B. SitepuJEBTA B.SITEPU. NAMORAMBE. Terkait dengan tulisan Telah Purba di dalam kolomnya yang berjudul LEMBAGA HUKUM ADAT KARO, memunculkan berbagai tanggapan. Banyak yang setuju, ada juga yang ragu-ragu atau pula kurang setuju. Kali ini, Sora Sirulo mencoba untuk merangkai komentar-komentar tersebut.

Inti dari kolomnya itu adalah usulannya untuk dibuatkan sebuah lembags hukum adat Karo untuk menyelesaikan masalah-masalah pertikaian antara sesama orang Karo sehingga tidak perlu harus berurusan ke pengadilan. Untuk lengkapnya, silahkan baca DI SINI.

Komentar pertama datang dari sebuah akun bernama Hendra Gunawan Kaban. Hendra mengatakan bahwa usulan ataupun tulisan dari Telah Purba ini sangat bagus.

“Harus didukung dan segera dilaksanakan diskusi untuk membuatnya menjadi kenyataan,” demikian Hendra Gunawan menyemangati status facebook itu sebelum diangkat menjadi Kolom Telah Purba di Sorasirulo.com.

Elmen Depari juga menyatakan hal yang sama. Prinsipnya, jika sebuah masalah dapat diselesaikan secara hukum adat, maka perkara tersebut tidak perlu lagi ke hukum Negara ataupun sampai ke Polisi, katanya.

Beres Brahmana, Masran Ginting Munthe, Sada Arih Sinulingga, Jhon Modal hukum adat 2Pencawan, Sastra Purba, Usaha Purba, Rajiman Purba, Budi Ginting, Roynal Munte, Sutji Sebayang, Mustika Sinulingga dan lainnya juga sangat setuju dengan ide dan maksud dari tujuan tulisan tersebut. Mereka masing masing siap menjadi ‘pasukan terdepan’ agar hukum adat dan lembaga adat Karo yang menjadi badan tertinggi untuk suku Karo dapat terwujud disertai Legalisasi dari Negara melalui Akte Notaris. Tapi, jangan hanya menjadi sebuah cakap-cakap biasa yang tidak bisa terealisasi.

“Hal ini sudah lama juga saya usulkan. Untuk menjaga adat Karo harus ada raja adat di setiap kampung yang disebut pengulu. Oleh karena itu, harus ada kepemimpinan adat pada setiap kampung oleh merga pendiri kampung (simantek kuta). Di atas pengulu ada kesatuan adat dipimpin oleh raja urung/ perbapaan yang memimpin beberapa kampung. Di atasnya raja urung, ada sibayak. Saya siap menjadi tim kerja untuk ini dan kita buatkan Lembaga Adat ini secara legal berbadan hukum melalui akte notaris,” kata Sada Arih Sinulingga yang berpendidikan sarjana hukum untuk S1 dan antropologi untuk S2.

Adapun Sastra Purba mengatakan, untuk memulainya, baiknya dilakukan melalui kegiatan rembug daerah yang melibatkan unsur/ lembaga-lembaga terkait. Paling tidak, sebagai tahap awal, mengundang tokoh-tokoh masyarakat serta lembaga pemerintah, dengan tujuan mendapatkan pengakuan sehinggga eksistensi dan kredibilitasnya dapat diterima semua pihak.

“Pekerjaan ini adalah pekerjaan besar karena menyangkut aspek kukum kalak Karo di kemudian hari. Prinsipnya gagasan ini baik dan harus didukung,” ata Sastra.

Lain lagi dengan Akun Pulu Rumah Gugung dan Ordesta Ginting, serta Baron Kaban. Mereka terlihat sedikit ragu apakah hukum adat tersebut bisa diwujudkan.

hukum adat 3“Masalahnya, tokoh untuk lembaga adat itu sendiri belum ada yang kredible dan representatif. Sedangkan untuk memulainya harus dari tim, siapakah tim yang akan diposisikan? Representatif dan kredibel kah mereka untuk Kalak Karo? Harus kita pikirkan matang-matang,” kata Pulu Rumah Gugung.

“Yang namanya hukum tak lepas dengan sanksi. Sanksi hukum adat biasanya sebatas sanksi moral. Pertanyaannya, apakah sanksi moral cukup efektif dengan prilaku kita yang sudah menganggap adat hanyalah sebuah kebiasaan semata?” kata Ordesta Ginting.

Apakah hukum adat masuk dalam hukum perdata atau hukum pidana? Kalau hukum perdata, apakah sebatas hukum warisan? Kalau dalam hukum pidana, tindak pidana ringan tentu sangat bisa diselesaikan secara adat (damai), tapi kalau tindak pidana berat apakah perdamaian akan mengurangi sangsi hukum? Dengan kemajuan jaman, dengan kemajemukan kemasyarakatan Karo di Karo maupun luar Karo, dengan perubahan budaya Karo dari erpangir ku lau dengan budaya ketuhanan, apakah kekerabatan kita masih kuat? Apakah tidak terjadi perubahan pola kekerabatan kepada pola satu keyakinan? Kepada pendatang akan diterapkan juga hukum adat Karo? ” kata Baron Kaban.

Salah satu akun bernama Andre Sinaga serta Anna Rosalinna Purba juga turut mengomentari postingan tersebut. Mereka mengatakan bahwa hukum adat di Sumatera Barat dapat dijadikan contoh.




“Mungkin Hukum Adat di Minangkabau bisa kita jadikan sebagai referensi untuk perbandingan. Di sana Hukum Adat lebih ditakuti ketimbang Hukum KUHP. Coba ditandingi seperti di Sumbar, mereka dengan istilah Ninik Mamak. Dengan demikian orang yang dituakan dan diangkat secara adat kebesarannya dan keputusannya tidak dapat diganggu gugat,” kata Andre dan Anna.

Menjawab hal hal tersebut Telah Purba mengatakan bahwa ini harus menjadi kesepakatan semua pihak terkait.

“Terimakasih untuk yang sudah berkomentar, memang masih banyak yang perlu kita gali lebih dalam lagi. Dalam kekerabatan adat yang kuat, sangat kecil kemungkinan pidana berat. Namun jika hukum adat tidak bisa menyelesaikan jalan terakhir, terpaksalah ke pengadilan negeri bermuara ke KUHP atau KUHAP. Menurut saya, jauh lebih berat beban moral daripada beban hukuman badan. Karena yang dihukum adalah JIWA. Tujuan dan maksud saya buat postingan ini adalah, secara khusus untuk membentuk lembaga hukumnya secara terpisah dan peraturan peraturannya mempertimbangkan aspek adat istiadat. Sehingga hanya hukum lah yang diproduksi lembaga ini supaya tidak rancu dan melebar ke mana-mana,” kata Telah Purba menjawab pertanyaan maupun komentar-komentar yang ada.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.