Kolom M.U. Ginting: Kereta Pertama dari China ke Inggris





Prinsip China dalam membangun hubungan kereta api China-London, dan pembangunan rel pengangkutan lain-lainnya ialah dengan dasar ideologi bahwa ekonomi dengan politik tidak bisa dipisahkan. Sesuai dengan teori Marxisme juga. Tetapi bukan hanya Marxisme yang berprinsip begitu. Lihatlah bagaimana politik pecah belah di Indonesia selalu diikuti dengan ‘soal’  ekonominya.

Pecah belah 1965 diikuti dengan penjarahan SDA, Freeport, dsb. Juga masih ingat kita belakangan ini, bagaimana JP Morgan (neolib) mau mengacau ekonomi dengan menyiarkan survey negatif supaya orang takut investasi di Indonesia begitu terjadi gerakan politik pecah belah 212 dan 411, dan berakhir dengan didepaknya JP Morgan dari Indonesia oleh Menkeu Sri Mulyani.

Jadi, jalan pikiran bahwa ekonomi dan politik adalah satu, dipakai oleh semua pihak!

Expansi ekonomi dan finans China seperti dalam pembangunan rel kereta api dalam “One Belt, One Road” policy, expansi pembangunan pengangkutan darat, seperti silk road ke London itu, punya arti besar dan berjangka panjang bagi China. Memang hubungan ini masih terlihat atau diramalkan kegunaannya yang searah (belum arus bolak balik). Artinya, barang-barang dari China yang ke Barat, belum banyak ke arah kebalikannya, produksi Barat yang ke China. Tujuan utama tentu memang arah produksi dari China itu, itulah yang diutamakan bagi negeri China. ‘Over produksi’ di China harus ada penyalurannya.

Perang Dunia II berhubungan erat dengan overproduksi menjelang perang itu. Dan, diselesaikan dengan perang. Kehebatan China membangun belt-road ini memang luar biasa. Tidak ada negara lain yang mampu bikin begitu. Presiden Xi Jinping menyatakan bahwa ini semua dibikin dengan tujuan damai, dan dalam kaitannya dengan free trade dunia. Bisa dipercaya memang, daripada menyalurkan produksi dengan perang seperti penyebab Perang Dunia II, salurkan dengan bangun jalan pengangkutan.

Di Indonesia, China mau membangun rel antara Bandung dan Jakarta. Di Kenya sudah dibangun antara Nairobi dan pelabuhan Mombasa. Di tempat lain masih banyak yang akan dibangun oleh China, karena biayanya juga lebih murah, dan bank negara China siapkan pinjaman juga. Semua itu dalam rangka memperlancar saluran barang-barang produksi, memperlancar jalannya ekonomi, di sini terutama tentu produksi China, yang memang luar biasa (kuantitasnya) dibandingkan dengan negeri mana saja di dunia. Carilah sebuah toko yang tidak ada produksi Chinanya, jarang.

Penyaluran produksi China ini sudah berjalan lancar selama ini dalam suasana yang dinamakan ‘free trade’. Baru satu pemimpin dunia yang bereaksi negatif terhadap soal ini, yaitu Trump. Trump akan kurangi atau pajaki tinggi barang China yang masuk ke AS, demi cita-cita nasionalisnya ‘America First’, atau demi ‘Make America Great again’. Trump tidak percaya kepada ‘free trade’, dan dia mau menggantikan dengan ‘smart trade’, keluar dari semua ‘trade partnership’ seperti TPP (Trans-Pacific Partnership).

Trump lebih mengutamakan perundingan dagang secara bilateral.  Dalam terobosan ‘smart trade’, berarti perkembangan baru dalam politik ekonomi dunia dengan kaitan politiknya dari segi kepentingan nasional tiap bangsa, membikin tiap nation ‘great again’ setelah begitu lama terkungkung di bawah ekonomi free trade neoliberal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.