Kolom Eko Kuntadhi: ADUH, KOK ADA BUNGA DI DADAKU?

Ada yang lain dengan perayaan kemerdekaan tahun ini. Setelah dua tahun diterjang pandemi, kita bisa ceria kembali. Perayaan kemerdekaan di istana dihela lebih meriah. Bendera pusaka diarak dari Monas. Ibu-ibu berkebaya merah berjajar menjaganya.

Seperti ibu Pertiwi yang selalu menjaga Indonesia.

Seorang bocah kecil naik panggung, menyanyikan lagu yang membuat dengkul gak berhenti goyang. Di sebelah Pak Jokowi, ibu Iriana gak kuasa menahan getaran suara Farel. Lalu para pejabat turun ke jalan. Ikut berjoget.

Pengamen cilik asal Banyuwangi ini pindah ngamen ke istana. Suara Farel di depan para pejabat publik. Seperti ingin mengatakan. Ini Indonesia. Apapun latar belakangmu, sesusah apapun ekonomimu. Tapi mimpi dan cita jangan pernah ditinggalkan.

Kolomnis SORA SIRULO (Nisa Alwis) merupakan salah seorang diantara para perempuan berkebaya yang mengawal Bendera Pusaka dari Monas ke Istana Negara.

Seperti juga Jokowi. Meski dulu ia hanya anak yang besar di rumah kontrakan pinggir kali. Tapi ia berhasil mewujudkan mimpinya: membangun Indonesia dengan hati yang jembar. Dengan keluasan pandangan da kearifan fikiran.

Di Solo, tepatnya Pesantren Ngruki, Abu Bakar Baasyir ikut upacara bendera. Pemuka agama yang sepanjang hidupnya menggangap Indonesia adalah negara toghut, kini berubah. Ia sadar, kekerasan keyakinan yang merusak, telah menjadi kerikil persatuan bangsa ini.

Di usia senjanya, lelaki uzur itu di atas kursi roda ikut menghirup udara Indonesia. Yang dulu dibencinya. Matanya menyapu ke sekeliling. Mungkin ada gumam dalam hatinya, “Bangsa ini. Bangsa besar ini. Mestinya dicintai dengan hati yang penuh. Bukan dibenci dengan menggunakan tafsir agama yang melenceng.”

Di kampung-kampung kemeriahan itu juga terasa. Kita mendengar teriakan seru ibu-ibu menyemangati putranya yang ikut lomba makan kerupuk.

Ketika keseruan perayaan kemerdekaan itu masih terasa di gang-gang sempit. Di pelosok desa. Di pulau paling ujung Indonesia. Tidak ada alasan untuk tidak berbangga dengan bangsa besar ini.

Sementara pada saat yang sama dunia sedang memasuki periode kelam. Ratusan negara kini sedang bergulat dengan kekurangan pangan dan energi. Puluhan negara diprediksi menjelang kebangkrutan. Sekitar 100 juta penduduk dunia terancam kelaparan.

Indonesia adalah satu diantara sedikit negara yang bisa dikatakan berhasil lolos dari lubang jarum itu. Ekonomi kita merangkak lebih baik. Ketersediaan pangan cukup. Harga bensin juga gak melonjak gila-gilaan seperti di berbagai negara lain.

Meski untuk menahan harga BBM, Rp 500 triliun lebih harus disiapkan untuk subsidi. Tapi biarlah urusan itu diurus oleh para pemegang wewenang. Kita, yang hidup di tengah-tengah warga dunia, dan menyaksikan semua suasana dengan wajah murung, hanya bisa bersyukur. Indonesia tidak seperti yang sering diteriaki Kadrun. Hidup kita kini baik-baik saja.

Masih ada kekurangan, pasti. Tidak ada yang sempurna. Tapi bahwa ternyata kita bisa jauh lebih baik dari banyak negara di dunia, rasanya juga patut disyukuri.

Kitab Suci menuliskan dengan indah, “dan nikmat mana lagi yang akan kamu dustai? “

Semalam kita juga mendengar pidato Pak Jokowi di hadapan anggota dewan. Ada optimisme di sana.

Setiap 17 Agustus kita melihat lagi kemegahan Indonesia. Bangsa besar yang berisi banyak orang-orang besar. Meski ada juga sekelompok orang berjiwa kerdil yang terus saja kehilangan rasa syukur.

Hasil-hasil pertanian Karo yang datang dari ladang-ladang petani Dataran Tinggi Karo ke Pasar Roga (Berastagi) untuk kemudian dikirim oleh pedagang antara ke Medan dan daerah-daerah lain di Indonesia Bagian Barat seperti halnya Batam, Pekanbaru, dan Jakarta.

Dunia terus bergerak. Kita terus berjalan. Bangsa ini pantas dibanggakan dan diperjuangkan masa depannya.

“Mas, tahun ini tujuhbelasan jatuh pada tanggal berapa, ya?” tanya Abu Kumkum.

Mbuhhh!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.