AKANKAH BANGUNAN TUA INI PUNAH JUGA? — Jambur Siwah Binangun Karo Berneh di Tapal Batas

Oleh: JUARA R. GINTING (Leiden, Nederland)

Postingan Kepala Desa Martelu (Retina Ginting) di dinding facebooknya membuatku terkenang pada suatu hari, 32 tahun lalu (1990), di Desa Budaya Lingga (Dataran Tinggi Karo). Saat itu, aku sedang mengobrol dengan dua kawan lama (Darusalam Sinulingga dan Tersek Ginting) di sebuah warung kopi. Hujan deras mengiringi percakapan kami.

Menambah dinginnya alam sekitar yang tidak berapa jauh dari kaki Gunungapi Sinabung.

Tiba-tiba terdengar suara gedebum yang keras sekali. Aku memandang wajah kedua teman ini, mencoba menduga apa yang barusan terjadi.

Enggo surung rontas,” kata mereka serempak seolah tahu apa yang sedang saya pertanyakan.

Ya, sebuah rumah adat Karo runtuh tersungkur. Hujan deras yang berlangsung cukup lama membuat atapnya yang terbuat dari ijuk menjadi terbeban berat oleh air hujan. Sedangkan tiang-tiangnya sudah keropos sejak atap rumah itu bocor sana sini tanpa pernah ditambal karena sudah lama kosong dan tidak ada yang berkepentingan lagi.

Saya langsung membuat foto dokumentasinya. Beberapa hari kemudian saya beraudiensi ke Bupati Karo (Ir. Meneth Ginting MADE) yang pernah dosen saya dalam mata kuliah Pembangunan Masyarakat Desa. Beberapa harian cetak terbitan Medan memberitakan hasil audiensi.

Lalu, saya menemui Dekan FISIP USU (Adham Nasution) mengusulkan diadakan seminar. Pendek cerita, tak berapa lama kemudian seminar digelar dengan pembicara:

1. Prof. Dr. Payung Bangun (IKIP Medan)

2. Dr. Masri Singarimbun (UGM Yoyakarta)

3. Ir. Djauhari Sumintardja (PU Pusat, Jakarta)

4. Beatriz van der Goes (Universitas Amsterdam)

5. Juara R. Ginting (USU Medan)

Terimakasih kepada Gubsu (Rajainal Siregar) yang memberikan bantuan dana yang lebih dari cukup untuk seminar itu hingga para pesertanya dapat dibawa melihat langsung rumah-rumah adat Karo di Desa Dokan (Dataran Tinggi Karo).

2 bus wisata penuh dengan peserta seminar. Dijamu makan siang oleh Bupati Karo di rumah dinasnya di Kabanjahe.

Saat itu (1990), ada 18 rumah adat Karo di Desa Budaya Lingga. Setelah yang satunya ambruk, tinggal 17. Di Desa Dokan ada 11 rumah adat Karo ditambah 1 jambur, 1 sapo page, dan 1 lesung. Di Peceren (Kecamatan Berastagi) ada 5 rumah adat Karo.

Sekarang, di Lingga tinggal 2 rumah adat, Dokan 3 atau 5 rumah adat, dan Peceren 0 rumah adat. Di tahun 1990 itu, ada 22 rumah adat Karo di Cingkes (Kecamatan Silima Kuta, Kabupaten Simalungun) dan sekarang di sana 0 rumah adat.

Karena itu, saat baru bangun dan melihat postingan Kepala Desa Martelu (Retina Ginting), perasaan saya kacau balau. Hanya ada setitik harapan, saya kenal dekat kepala desa ini sejak dia bergabung dengan Tabloid SORA SIRULO (versi cetak).

Dalam keadaan terkantuk, saya menelponnya, dan dia memaparkan lebih luas permasalahannya. Klasik. Bangunan itu dimiliki oleh keturunan patrilinial 4 merga: Kembaren, Brahmana, Maha dan Tarigan.

“Kam tahu berapa jumlah tiang bangunan itu?” tanyaku padanya.

“Tidak,” jawabnya.

“Itulah yang disebut Jambur Siwah Binangun, rumah lelaki, yang memiliki 9 tiang,” kataku.

Lalu kujelaskan, bangunan itu terdiri dari 2 tingkat. Tingkat atas adalah lumbung penyimpanan gabah padi. Tingkat bawah adalah tempat duduk bercengkerama para lelaki yang pada saat ritual menjadi tempat musyawarah (runggu).

Saya jelaskan lagi padanya, kemungkinan besar bangunan seperti itu hanya ada 2 tersisa di seantero Karo.

“Satu di Kuta Gerat (Kecamatan Tigabinanga) dan satunya lagi yang di kampungndu itu,” kataku padanya yang membuatnya terkejut.

Dulu, saya pernah lihat Jambur Siwah Binangun di Desa Seberaya (Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo). Bangunan ini telah diangkut ke Bali oleh seorang Karo yang suaminya orang Belanda dan diolah apik menjadi tempat tinggal mereka.

Di Bintang Meriah (Kecamatan Kutabuluh, Kabupaten Karo) pernah juga ada bangunan ini, tapi saya tidak sempat lagi melihatnya.

Jambur Siwah Binangun bisa kita golongkan sebagai salah satu jenis lumbung padi dengan mana bangunan ini disebut juga Batang. Lumbung padi lainnya adalah sapo page (pondok padi), ukurannya lebih kecil dan hanya memiliki 4 tiang.

Satu jenis lagi disebut Lumbung atau Keben. Bentuknya silinder dibuat dari anyaman bambu dan kemudian diberi atap (teratak) agar tidak ditimpa hujan.

Semua lumbung padi jenis Sapo Page maupun Batang (Jambur Siwah Binangun) berfungsi sebagai Jambur yang artinya tempat tidur para pria dewasa (pemuda maupun duda) yang tidak bisa tidur di rumah adat karena tidak punya istri.

Demikian juga pria beristeri tapi isterinya sedang tidak bermalam di rumah, harus tidur di jambur.

Kegalauan saya saat membaca postingan Retina Ginting seperti ini. Saya tahu semua orang Karo mengkhawatirkan kepunahan warisan budayanya, terutama bangunan-bangunan tradisionalnya. Tapi, di saat kita mulai melakukan aksi untuk menyelamatkannya, saat itu pula kita merasa sepi sendiri.

Sewaktu berencana mengadakan seminar rumah adat Karo, rasanya semua orang Karo menjauh dari saya, termasuk bupatinya saat itu.

Sebuah harian cetak terbitan Medan menerjunkan tim liputan sebanyak 7 wartawan ke Desa Lingga atas lobby bekas mahasiswi saya (Merika boru Sihombing), seorang putri Batak (bukan Karo) ke Pemimpin Umum harian itu.

Merika nantinya menjadi wartawan senior di harian lain dan meliput 2 halaman dalam koran itu seminar yang kami laksanakan.

Dekan FISIP USU yang menjadi Ketua Umum Panitia seminar adalah seorang Mandailing. Demikian juga Gubsu (Rajainal Siregar) yang mengucurkan dana besar adalah seorang Sipirok.

Oleh karena itu, saya saat ini, lebih memusatkan perhatian pada pencerahan melalui media sosial.

Pencerahan bagaimana yang saya maksudkan?

Kam tahu berapa jumlah tiang bangunan yang foto-fotonya kam posting di facebook itu?” kataku pada Kepala Desa Martelu melalui messenger.

“Oh, tak pernah kuhitung pula,” katanya gelagapan.

Kam hitunglah itu pasti jumlahnya sembilan,” dan sehari kemudian dia membuat postingan dengan penekanan nama Jambur Siwah Binangun.

Itu saya ceritakan, bagaimana seorang berpendidikan tinggi. Pernah Direktur SMP di Laubaleng sebelum menjadi Kepala Desa Martelu. Tumbuh dan besar di desa itu. Tapi tak tahu juga berapa jumlah tiang bangunan yang langka berdiri di tengah halaman kampungnya.

Bagaimana pula dengan salah satu pemilik bangunan yang berniat menjual tapak bangunan itu? Saya kira dia tidak tahu apa-apa nilai bangunan itu kecuali nilai uang dari hasil penjualan tapaknya.

Itulah jalan damai hidup saya. Berdamai dengan diri sendiri, menghindari kekecewaan pada sesama Karo. Dengan terus menerus melakukan pencerahan.

Saya tahu, banyak generasi muda Karo yang sangat menghargai pengetahuan yang mereka dapatkan dari saya mengenai Karo, tapi banyak juga yang merasa posisinya terganggu oleh saya. Itu sudah resiko.

Namun, apakah Kepala Desa Martelu akan merasa sepi sendiri juga di jalan yang saya sudah duluan lintasi ini?

Wahai pembacaku. Aku hanya bisa mengharap, jangan biarkan Kepala Desa Martelu sepi sendiri. Jangan biarkan bangunan langka itu punah.

Ue nina pusuhndu ue nge kari surung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.