Kolom Eko Kuntadhi: AKROBAT KATA-KATA APA LAGI, NIES?

Ingat saat ibunda Pak Jokowi, Ibu Noto meninggal dunia. Waktu itu kita sudah memasuki masa pandemi. Meski banyak orang yang mau melayat, tapi Presiden melarangnya. Jenazah ibunda cepat dimakamkan. Hanya dihadiri oleh keluarga dekat saja. Pascapemakaman, kita menyaksikan foto Jokowi masih bersarung.

Duduk di kursi sendiri. Wajahnya lunglai.

Kehilangan seorang ibu, bagi siapapun adalah guncangan yang menyesakkan. Apalagi dalam suasana pandemi seperti ini.

Ibundanya dimakamkan tanpa banyak yang menyertainya ke peristirahatkan terakhir. Padahal anaknya adalah seorang Presiden. Tapi Jokowi tahu. Kesehatan dan keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Ia tidak mau melanggar hukum tertinggi dan penting itu. Ia memilih menyimpan dukanya sendiri. Menyimpan rasa kehilangan ibunya dalam isak yang tertahan.

Sore hari setelah pemakaman, Jokowi sudah menghadiri meeting tingkat tinggi G20. Via online. Mungkin hatinya masih teriris. Tapi ia tidak mau kesedihan pribadi menganggu tanggungjawabnya sebagai Presiden.

Jokowi menunjukan pada kita, hukum adalah hukum. Meski Presiden, ia juga patuh terhadap hukum. Tidak ada yang mentang-mentang.

Rizieq bukan siapa-siapa. Ia cuma seorang ‘porn fugitive’ atau buronan cabul kata sebuah media Australia. Saat kemarin menikahkan anaknya, Rizieq menutup jalan di Petamburan. Orang berjejalan beresiko saling droplet.

Anies Gubernur Jakarta. Pejabat yang di pundaknya ada tanggungjawab hukum. Tapi malam kepulangan Rizieq yang riuh itu ia sowan ke sana. Mengabaikan protokol kesehatan. Anies tahu esok harinya Rizieq akan menggelar hajatan gila-gilaan.

Tapi, sebagai pejabat, ia cuek saja. Tidak ada juga imbauan agar Rizieq menghentikan kegiatannya demi keselamatan dan kesehatan warganya. Bagi Anies, Rizieq bebas melakukan apapun. Soal keselamatan warga bisa nomor dua. Wakilnya Ariza Patria malah menghadiri acara Rizieq di Tebet. Berada di tengah kerumuman. Numplek dengan ribuan orang.

Padahal pejabat-pejabat itu tahu, untuk setiap pasien yang terkena Covid-19, pemerintah harus keluarkan duit gak sedikit. Seorang Guru Besar UI menghitung rerata setiap pasien Covid-19 yang dirawat mengjabiskan dana Rp184 juta per pasien. Lama perawatan pasien rerata 15,1 hari.

Jika yang hadir di acara Rizieq itu 10 ribu orang. 5 orang saja terkena Covid-19 dan dirawat, sudah terbayang berapa biaya yang harus ditanggung APBN. Kalau misalkan Anies bilang, Rizieq sudah didenda Rp. 50 juta, itu mah, cuma seicrit. Gak sebanding dengan resikonya.

Yang paling sial, Anies membandingkan ramai-ramainya Rizieq dengan Pilkada serentak yang akan digelar Desember ini. Saat mendengar itu, saya merasa, ini sih, namanya logika pejabat yang kurang ajar. Begini.

Pilkada itu adalah amanat UU. Pilkada dan Pemilu adalah bagian penting dari konstitusi kita. Sementara fungsi pemerintah yang paling hakiki adalah melaksanakan UU dan menegakkan konstitusi. Jadi, dalam kondisi apapun, penjalankan konstitusi itu merupakan langkah penting.

Gimana jika kita masih dalam suasana pandemi? Artinya, kita harus menjalankan Pilkada dengan memperhatikan faktor keselamatan tadi. Teguran keras pada pasangan yang mengerahkan masa. Bahkan ancaman diskualifikasi. Pembubaran acara yang dianggap berbahaya. Dan sebagainya.

Usaha menjalankan UU penting, ditegakkan dengan menjalankan protokol kesehatan juga penting. Sementara acara nikahan anaknya Rizieq? Busyet. Kenapa Anies menarik-narik ke soal Pilkada segala?

Rizieq itu bukan siapa-siapa. Ia hanya warga negara biasa. Ia hanyalah porn fugitive yang baru kembali ke Indonesia. Jadi, soal resepsi pernikahan anaknya bukanlah hal yang terlalu penting. Gak ada aturannya acara pernikahan harus bikin susah orang.

Amat sangat kurang ajar, jika pernikahan itu dibanding-bandingkan dengan Pilkada serentak. Apalagi kalau yang bicara adalah seorang kepala.daerah. Itu sungguh memuakkan. Padahal Anies tahu, setiap pasien Covid-19 ditanggung rakyat biayanya. Pajak kita yang digunakan.

Apa sebagai Gubernur ia tidak berfikir amanah dengan duit rakyat? Mengapa Anies tidak berkaca pada atasannya? Jokowi itu Presiden. Ia pejabat paling tinggi di republik. Tapi, saat ibundanya wafat, Jokowi memilih menyimpan dukanya sendiri. Ia tidak mau ucapan belasungkawa dan peziarah yang datang justru menjadi sarana penularan Covid-19.

Dalam suasana duka itu. Ia menghayati kehilangannya dengan diam. Anies membandingkan perhelatan putrinya Rizieq dengan Pilkada yang diamanatkan UU. Di mata Aniea, Rizieq jauh melebihi konstitusi sendiri. Kalau Gubernur rela melanggar UU demi hal-hal sepele kayak gini. Apalagi yang bisa diharapkan darinya?

“Iya, mas. Kalau sama rakyat aja galaknya minta ampun. Sementara buat Rizieq, dia rela melanggar semua aturan. Emang utang apa sih, dia?” tanya Abu Kumkum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.