Kolom Asaaro Lahagu: ANALISA KECELAKAAN DAN MANUFER SBY DI GERBONG SURAM PRABOWO

Berada di Kubu Prabowo, SBY mengalami kecelakaan. Gerbong yang dikendalikan oleh Prabowo-Sandi oleng ke kanan dan oleng ke kiri. Tujuan gerbong pun ambigu, buram dan kabur. Polarisasi dalam koalisi terjadi dan saling sikut. Ada yang mengambil jalan kanan, namun ada juga yang ke tengah. Kacau. SBY-Prabowo saling tusuk.

Baik SBY maupun Prabowo sebetulnya punya ideologi yang sama.

Keduanya sama-sama punya keinginan mewujudkan kedaulatan ekonomi nasional, kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Namun, cara yang ditempuh menuju ke sana berbeda di antara keduanya. Prabowo semakin sesat ke kanan: Religius garis keras, sementara SBY tetap bertahan di tengah: Nasionalis-religius.




Ideologi Prabowo sebelumnya berada pada track yang benar. Ia menggandrungi nasionalis tulen, Pancasilais. Ia benar, mencontoh mertuanya Soeharto yang Pancasilais. Bahkan jika Prabowo jujur, ideologinya lebih pas dengan Megawati yang nasionalis. Saat keduanya berpasangan pada Pilpres 2009 lalu, ada chemistry di antara mereka berdua: Nasionalis, Pancasilais.

Dalam darah Prabowo sebelumnya tak ada jalan kanan. Ia steril dari pengaruh ideologi religious kanan. Benarlah kata Megawati bahwa Prabowo itu orang baik. Yang jahat adalah orang di sekitarnya. Tetapi demi kekuasaan yang tak kunjung menghampirinya, Prabowo menempuh jalan sesat. Ia ibarat orang baik, tiba-tiba melakukan hal jahat. Semua terbelalak.

Prabowo yang sesat merangkul total PKS, PAN yang berhaluan kanan. Padahal jualan kedua partai ini adalah politik identitas. Ketika Prabowo merangkul PKS-PAN, maka otomatis Ormas-ormas garis keras berhaluan kanan ikut menebeng. Celakanya Prabowo menyambut semuanya dengan tangan terbuka tanpa saringan. Prabowo keliru telah mempersilahkan macan masuk ke dalam rumahnya.

SBY yang membuktikan dirinya guru politik dengan menjadi Presiden RI 10 tahun, sudah berusaha melepas Prabowo dari cengkeraman PKS dan PAN. SBY membaca kekentalan nasionalis tulen dalam diri Prabowo. Dan itu bisa bergandengan dengan Demokrat. SBY pun bertemu dengan Prabowo 3 kali menjelang pendaftaran Capres dan Cawapres Agustus lalu.




Dalam kalkulasi SBY, sangat wajar jika Prabowo menjadi Capres dan AHY sebagai Cawapresnya. Baik Gerindra maupun Demokrat, sudah cukup kuat untuk melawan Petahana Joko Widodo dengan PDIP di belakangnya. Artinya, PKS-PAN jika ikut dengan Gerindra-Demokrat hanya sebagai pelengkap dan bukan pemain utama. Itulah skenario SBY.

Dengan kalkulasi demikian, SBY bisa all-out memenangkan Prabowo-AHY dimana ekor jasnya berpengaruh juga kepada Partai Demokrat. SBY akan menggunakan pengalamannya untuk menantang petahana. Benarlah kata Fahri Hamzah bahwa sebetulnya Prabowo punya keuntungan besar ketika SBY berada di kubunya. Karena sebelumnya Jokowi berusaha keras merangkul SBY namun gagal karena faktor Megawati.

Skenario bahu-membahu secara total SBY-Prabowo menjadi gagal total ketika masuknya Sandiaga-Uno. Sandiaga yang masih hijau dalam politik mengacak-acak skenario SBY dengan modal kardusnya. Jadilah PKS-PAN menjadi pemain utama bersama Gerindra, sementara Demokrat tersingkir menjadi pemain pelengkap. SBY celaka. Sandiaga yang berlagak one man show menambah kekacauan dalam koalisi.

Menjadi lebih celaka dan berubah menjadi malapetaka, ketika Sandiaga, PKS-PAN mengajari SBY bagaimana berkampanye, bagaimana berpolitik, bagaimana membentuk citra. Celaka. SBY diajari oleh muridnya yang belagu bagaimana belajar dengan baik. Mereka malah menggiring SBY ke ideologi kanan.




Jelas SBY menarik diri dan membiarkan Gerindra-PKS-PAN berhura-hura sendiri. Ia kini hanya fokus pada Partai Demokratnya yang pernah memenangi Pemilu. Dalam kamus SBY, ideologi tengah yang sudah terbukti mengantarnya menjadi Presiden, akan tetap dipertahankannya mati-matian.

Menurut hemat SBY, dalam demokrasi manapun di dunia ini, kekuatan tengah yang berdiri di tengah selalu dibutuhkan. Ketika Pilpres 2014 lalu, pemahaman SBY ini terkonfirmasi jelas ketika ia memilih netral. Ia yakin dengan posisi tengah, ia menjaga keseimbangan antara reformasi dan status quo.

Bagi SBY, Partai Demokrat adalah partai tengah. SBY mengambil posisi itu dengan berbasis kesadaran ideologis dan semata-mata untuk kepentingan menggarap ceruk pasar yang masih lumayan besar. Namun, posisi Partai Demokrat yang tengah ini jadi salah satu biang masalah dalam aliansi pendukung Prabowo-Sandiaga yang sudah berhaluan kanan.

SBY pada awalnya sudah mengajukan syarat kepada Prabowo untuk tidak mengeksploitasi sentimen agama. Tujuannya agar Partai Demokrat bisa bergabung di dalam aliansi. SBY tentu paham, menguatnya sentimen agama dalam politik adalah problem besar bangsa Indonesia saat ini.




Jelas saja syarat yang diajukan SBY sangat berat dan bahkan mustahil bagi Prabowo. Bagaimana mungkin PKS dan PAN disuruh meninggalkan tabiatnya? Bagaimana mungkin FPI dan kompolotannya dipaksa berbicara Pancasila, pluralitas dan Bhineka Tunggal Ika? Dari sejarahnya eksploitasi sentimen identitas itulah yang membuat organisasi mereka bisa bertahan.

Kegundahan SBY soal ideologi di dalam Kubu Prabowo semakin meletup-meletup. Ia paham bahwa perbedaan ideologi di Kubu Prabowo akan menjadi bom waktu di kemudian hari. Pidato SBY pada tanggal 10 November 2018 lalu mengkonfirmasi kegundahannya. SBY menyerukan elit politik tidak mengeksploitasi sentimen agama. Seruan ini menjadi tema sentral pidato SBY kala itu.

Tentu saja 2 Parpol PKS dan PAN serta Ormas pendukungnya tersinggung besar. Eggi Sudjana, pendukung FPI-Rizieq langsung membalas SBY. Ia menghina pemahaman keislaman SBY yang rendah. Eggi kemudian menyemprit Demokrat-SBY yang bermain 2 kaki dengan julukan banci.

Sejalan dengan Eggi Sudjana, Sekjend Gerindra (Ahmad Muzani) turut menghina dan menyindir SBY. Muzani menyemprot SBY dan AHY yang tidak ikut berkampanye bersama Prabowo dan Sandiga. Sontak saja para elit Partai Demokrat bereaksi. Mereka ramai-ramai menyerang balik dan membocorkan alasan mangkirnya SBY-AHY dalam kampanye Prabowo-Sandi karena janji yang tidak ditepati.




SBY sendiri menegaskan bahwa koalisi Partai Demokrat dengan Prabowo-Sandiaga dan 3 Parpol lain tidak punya masa depan. Oleh karenanya SBY harus bermanufer. Ia mempertebal garis pembeda ideologis dirinya dan Partai Demokrat dengan Prabowo dan Gerindra.

SBY terus menekankan bahwa semangat nasionalisme dan internasionalisme sejalan dengan pemikiran Bung Karno dan Pancasila. Sementara Prabowo yang menggandrungi Donald Trump hanya berpikir dalam tataran nasionalisme sempit (narrow nationalism). Semakin terlihat SBY tidak bersemangat memenangkan Prabowo-Sandi yang bernasionalisme sempit.

Tak tertutup kemungkinan setelah Pilpres April 2014 dan Megawati mengundurkan diri dari Ketua Umum PDIP, SBY akan merapat dalam barisan Jokowi. Peluang kursi menteri kepada AHY pun masih tetap terbuka. Lalu pada Pilpres 2024, AHY akan bertarung dengan Sandiaga Uno yang sejak sekarang tengah membangun reputasinya.

Dengan situasi seperti itu, maka pesan SBY kepada Prabowo-Sandi jelas. Koalisi mereka ke depan suram karena perbedaan platform dan janji kardus. Aliansi yang sudah terlanjur ditandatangani Agustus lalu antara Demokrat dan Gerindra biarlah dimaknai sebagai kecelakaan. Ya, kecelakaan SBY.

Secara teorinya, Demokrat dan Gerindra berkoalisi. Namun, secara real di lapangan, biarlah kader Demokrat fokus meloloskan diri ke parlemen tanpa embel-embel foto Prabowo-Sandi dan memilih sendiri siapa presiden pilihannya. Begitulah kura-kura.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.