Oleh Juara R. Ginting dan Elisabeth Barus
Di awal-awal pemberitaan harga sayuran di Sora Sirulo yang kami laporkan dari Pasar Induk Lau Cih (Medan), kami sering membaca umpatan para pembaca yang tidak setuju adanya cabe atau tomat yang masuk dari daerah lain ke Medan.
Alasan utamanya, masuknya cabe atau tomat dari Jawa menurunkan harga cabe atau tomat di Medan.
Selanjutnya, menurunnya harga cabe atau tomat di Medan akan berimbas pada menurunnya harga di tingkat petani. Soalnya, pedagang tidak berani membeli harga di tingkat petani lebih mahal atau sama dengan harganya di Medan dimana mereka akan menjualkannya.
Jelas sekali keluhan di atas datang dari petani atau keluarga mereka.
Memang, para petani di Indonesia pada umumnya kurang berminat mempelajari liku-liku pasar, termasuk pasar hasil-hasil pertanian. Karena itu, mereka juga kurang menyadari kalau naiknya harga cabe atau tomat di Medan atau pasar-pasar pengiriman hasil-hasil panen di Dataran Tinggi Karo sering diakibatkan oleh meningkatnya pengiriman dari Medan ke tempat-tempat lain di Indonesia.
Sebagaimana pernah kami laporkan beberapa tahun lalu, saat tomat melambung tinggi harganya, hingga mencapai Rp. 12 ribu/ kg untuk ukuran super. Kenaikan harga ini disebabkan oleh terjadinya gagal panen tomat di Jawa. Peningkatan pengiriman tomat ke Jawalah yang melambungkan harga tomat di Medan.
Demikian juga akhir-akhir ini. Banyak pedagang antara yang menjemput cabe merah langsung ke Pasar Roga (Berastagi) (Dataran Tinggi Karo). Bahkan ada yang menjemput langsung ke Bintang Meriah, sebuah desa di Kecamatan Kutabuluh (Dataran Tinggi Karo) yang sebagian warganya berdialek Gunung-gunung dan sebagian lainnya berdialek Singalorlau.
Pengiriman cabe merah keriting dari Dataran Tinggi Karo yang rutin adalah ke Batam, Pekanbaru, dan Nias. Sesekali bisa juga ke Padang meskipun Sumatera Barat, khususnya sekitar Bukit Tinggi, adalah juga wilayah pertanian sayur mayur.
Pengiriman cabe merah keriting ke Batam, Pekanbaru, dan Nias ini bahkan mengangkat harga cabe merah keriting di Pasar Roga (Berastagi) bisa jadi lebih tinggi daripada di Medan. Hal ini juga yang menjadi bahan pertanyaan bagi para pembaca kita yang mengherankan mengapa harga di Berastagi bisa lebih mahal daripada harga di Medan.
Itu sudah pernah kami ulas (lihat tautan di bawah).
Meningkatnya pengiriman barang langsung dari Dataran Tinggi Karo ke tempat-tempat lain di Indonesia tidak mengurangi pengiriman cabe merah keriting maupun rawit dari Pasar Induk Lau Cih (Medan). Pengiriman lewat pesawat terbang masih lebih praktis dari Medan karena pedagang di Medan cukup mengirimkannya lewat jasa penerbangan tanpa harus ikut terbang.
Namun begitu, pengiriman cabe dan tomat dari luar ke Medan masih berlangsung juga. Itu terutama terjadi bila harganya tinggi di Medan sementara di Jawa atau di tempat-tempat lain harganya lebih murah.
Di sini berlaku logika pedagang seperti ini. Katakanlah harga tomat ukuran super di Medan sekian pada waktu tertentu. Sementara di Daerah X harganya jauh lebih karena sedang mengalami panen raya tomat.
Maka pedagang berhitung, ongkos kirim sekian dengan resiko kerusakan sekian maka pengiriman tomat dari Daerah X itu ke Pasar Induk Lau Cih (Medan) masih menguntungkan sekian (bisa ada keuntungan beberapa juta rupiah sekali pengiriman).
Mari kita bahas terlebih dahulu mengenai logika pedagang ini.
Adakah yang salah dengan tindakannya? Dia sama sekali tidak melanggar hukum apapun. Apakah dia bisa kita persalahkan sebagai penyebab turunnya harga tomat di Medan dan kemudian berimbas pada turunnya harga tomat di tingkat petani?
Pertama-tama, tindakan itu memungkinkannya meraih untung karena harga tomat di Medan memang sangat tinggi. Ke dua, sengaja atau tidak sengaja, dia sudah menolong konsumen sehingga harga tomat tetap terjangkau. Ke tiga, dia sudah berjasa mendistribusikan kelebihan panen di Daerah X itu sehingga harganya pun tidak terpuruk di sana.
Secara tidak langsung pedagang pengirim itu telah berjasa kepada konsumen dan petani di Daerah X. Protes-protes dari petani di Dataran Tinggi Karo kami nilai hanya pencerminan dari keserakahan dan egoisme. Padahal, para petani Dataran Tinggi Karo juga diuntungkan oleh adanya pengiriman hasil-hasil panen dari Medan ataupun langsung dari Dataran Tinggi Karo ke tempat-tempat lain di Indonesia.
Mari kita catat terlebih dahulu ke mana saja ada pengiriman hasil-hasil panen Karo.
Cabe dari Karo biasa dikirim ke Batam, Pekanbaru, Nias, dan kadang (sangat jarang) ke Jawa. Pertanian cabe di Jawa jauh lebih luas daripada di Sumatera. Pengiriman cabe juga ada ke Aceh bagian lain yang bukan penghasil cabe, yaitu ke Langsa, Meulaboh sampai Banda Aceh.
Mari kita berhenti sejenak mendiskusikan posisi Aceh. Daerah Aceh yang dekat ke Medan berbelanja ke Medan. Tapi, kalau Musim Panen Raya, mereka kebanyakan hanya belanja sayur dan kebutuhan lain kecuali cabe. Demikian juga kalau Musim Panen bawang merah di Aceh, mereka tidak berbelanja bawang merah ke Medan.
Tomat ada yang dikirim dari Medan atau Dataran Tinggi Karo ke Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa, dan kadang ke Takengon.
Wortel rutin dikirim ke Jawa, Bali, dan Kalimantan. Tergantung juga permintaan (kadangkala) bisa menyebar ke seluruh Nusantara meskipun penyebarannya sudah menggunakan “tangan ke dua” alias tidak langsung dari Karo.
Kol (kubis) sudah menyeruak ke luar negeri. Dulunya hanya Malaysia dan Singapura, tapi belakangan sudah mencapai Korea Selatan.
Sementara cabe ke Medan bisa datang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan kadang dari Mataram. Tomat biasanya datang ke Medan dari tempat-tempat di mana kita dari Medan atau langsung dari Dataran Tinggi Karo melakukan pengiriman: Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa, dan kadang ke Takengon.
Dari Fenomena Perdagangan ke Sistim Kekerabatan
Kasus pengiriman tomat menarik. Karo mengirim tomat ke daerah-daerah yang juga melakukan pengiriman ke Medan pada waktu berbeda. Ketika harganya tinggi di Medan, tomat dikirim dari daerah-daerah itu dan ketika di sana harganya tinggi sedangkan di Karo harganya murah, maka pengiriman sebaliknya dilakukan dari Karo ke sana.
Apa yang membuat fenomena pengiriman tomat ini menarik?
Kalau pengiriman hasil-hasil panen lainnya sifatnya adalah satu arah (asymmetric); dari Daerah Asal ke Daerah Tujuan dan selanjutnya ke sub-sub Daerah Tujuan atau konsumen. Namun tidak pernah ada hasil panen yang sama dikirim dengan arah sebaliknya. Tidak ada arus bolak balik. Sementara pada kasus tomat ini, hasil panen tomat berjalan bolak balik alias dua arah (symmetric).
Ini pernah menjadi perhatian serius para antropolog dalam kaitan antara perdagangan dan kekerabatan. Kita ambil saja contohnya kekerabatan Karo dimana seseorang (sebut saja A) menyebut saudara istrinya (sebut saja B) kalimbubu dan kalimbubu dari kalimbubu (sebut saja C) adalah puang kalimbubu. Sebaliknya, C menyebut B anak beru dan A anak beru menteri. Berbeda dengan sebutan silih atau impal. Bila A menyebut B silih, maka B pun menyebut A silih juga.
Kasus pertama memperlihatkan adanya hubungan satu arah (asymmetric), dan kasus ke dua adalah hubungan bolak balik atau dua arah (symmetric).
Demikian para antropolog membangun sebuah teori kekerabatan (kinship) yang diasumsikan sejalan dengan perekonomian, terutama dalam hal tukar menukar barang (exchange). Karena itu teori ini disebut Exchange Theory (teori pertukaran) yang pertama kali dikembangkan oleh Marcel Maus dalam bukunya The Gift yang diterjemahkan oleh Parsudi Suparlan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Pemberian.
Bukankah semua ritual-ritual Karo dikuatkan dengan sebuah acara pertukaran? Anak pertama lahir, mendapatkan hadiah gelang dan kalung (bayang-bayang) dan kain gendongan (lada-lada) dari Kalimbubu. Ini adalah pembalasan dari emas kawin (tukur) yang diberikan pihak pengantin ke Kalimbubu.
Pertukaran seperti ini sekarang disebut nggalari utang adat (pelunasan hutan adat) yang dulunya disebut nggalari utang nggeluh (pelunasan hutang hidup). Penggunaan istilah hutang sangat jelas menandakan bahwa ini bersifat ekonomis.
Kebersamaan Atas Dasar Perbedaan
Terbentuknya masyarakat yang dicerminkan di dalam sistim kekerabatan sangat berdasarkan oleh kesadaran dan penerimaan terhadap perbedaan. Ada pertukaran yang terjadi dimana seperangkat hadiah diberikan secara satu arah; misalnya dari kalimbubu (pemberi istri) ke anak beru (pengambil istri) dan nantinya si anak beru memberikan hadian yang sama ke anak berunya lagi. Ada juga yang bersifat bolak balik.
Kami tidak ingin mengalihkan tulisan ini ke pembahasan kekerabatan Karo. Makanya kami membatasi diri tidak terlalu jauh mendiskusikannya. Kami hanya mengajak pembaca menyadari bahwa kebersamaan (hidup bermasyarakat) adalah ditandai dengan adanya pertukaran. Dan pertukaran hanya bisa berlangsung antara orang-orang atau kelompok-kelompok berbeda.
Kebersamaan dalam teori kekerabatan itu agak lain dengan kebersamaan sebagaimana dicita-citakan oleh Karl Marx yang nanti dikenal dengan Komunisme, yaitu bersama-sama melakukan apa saja alias gotong royong. Persamaan menjadi tuntutan utama di dalam Komunisme, sementara perbedaan adalah syarat utama terjadinya pertukaran di dalam masyarakat.
Demikianlah kiranya Wawasan Nusantara prinsip dasarnya bukanlah persamaan sebagaimana diinginkan oleh Komunis maupun Orde Baru. Nasionalisme yang dikumandangkan oleh Soekarno adalah yang berdasarkan pada perbedaan atau, dalam konteks Nusantara, keanekaragaman. Persatuan hanya ada setelah menerima perbedaan.
Perbedaan itu dipertahankan, bukan diupayakan menjadi sama, dengan cara membangun kesadaran saling membutuhkan. Bila persamaan dipaksakan sebagai dasar persatuan maka akan terjadi bentrokan atau setidaknya saling gesek. Seperti halnya di dalam perumpaan Karo: “Bagi singerempu bohan Rumamis piah pecah” (bagai mengikat bambu [lemang] secara terlalu ketat akhirnya pecah sendiri).
Oleh pengaruh Komunisme yang sempat terlalu kuat di dalam Wawasan Nusantara kita, sampai sekarang seolah-olah tabu membicarakan perbedaan apalagi kalau ditunjukan misalnya Karo Bukan Batak (KBB). Apa sih yang ditakutkan dengan perjuangan Karo Bukan Batak?
Nah, kami bukakan sedikit pengakuan-pengakuan nasionalisme sehingga menuduh pergerakan KBB adalah pemecah belah dan bahkan ada yang menuduhnya gerakan separatis. Alasan terselubung adalah bahwa Batak kecuali Mandailing dianggap Kristen yang harus menggalang persatuan dalam bersaing dengan kelompok-kelompok Islam di Sumatera Utara. Ini terutama muncul ketika Pemilihan Gubsu dimana calon yang bersaing adalah Batak dengan seseorang yang mendapat dukungan muslim.
KBB dianggap sebagai pengkhianat karena membuat Batak lemah dalam bersaing dengan Islam. Jadi, Batak itu dianggap sinonim dengan Kristen. Sehingga para penggerak KBB dianggap pengkhianat. Sangat mirip dengan tuduhan orang-orang Batak terhadap Jamin Ginting sebagai pengkhianat hanya karena di saat pemberontakan M. Simbolon, Jamin Ginting memihak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan bukan mengikut atasannya Simbolon.
Apakah karena tidak mau mengaku Batak dianggap sebagai pengkhianat bangsa? Iya, kalau bangsa yang dimaksud adalah Bangso Batak.
Bagi banyak penggerak KBB, peduli amat dengan persaingan politik? Mereka yang mengaku nasionalis justru anti Islam yang jelas-jelas tidak menerima perbedaan. Kami tidak mengatakan kaum muslim sama sekali tidak bersalah dalam hal ini karena banyak juga kaum muslim di Sumut yang anti Kristen.
Kiranya telah cukup luas dan mendalam kami paparkan bagaimana kita Bangsa Indonesia selama ini tidak lagi menghargai perbedaan. Mulai dari sebagian petani yang memaki-maki pemasok tomat atau cabe dari luar ke Pasar Induk Lau Cih (Medan). Mereka tidak menyadari kalau mereka juga sudah diuntungkan oleh adanya pengiriman dari Medan atau langsung dari Dataran Tinggi Karo ke daerah-daerah lain.
Menurut hemat kami, bukan adu gagasan yang penting dalam kampanye Pilpres 2024 ini, tapi adu data. Gagasan sering terlalu banyak diturunkan dari grand theory belaka sementara pengetahuan mengenai keanekaragam Indonesia sangat minim karena “enggan” langsung melihat ke lapangan praktek. Seringkali pula, orang-orang yang berpengalaman di lapangan tidak dianggap bisa memberikan sumbangan apa-apa terhadap bangsa dan negara.