Antara Jatidiri dan Prestasi

Oleh: Robinson Ginting Munthe (Jakarta)

 

robinson g. muntheSetiap tahun pada bulan Juni, organisasi kami mendatangkan Shihan Aikido (guru beladiri) dari Jepang untuk melatih sekaligus menguji mereka yang mengambil sabuk hitam (termasuk yang ujian kenaikan Dan). Semua biaya perjalanan dari Jepang sekaligus biaya selama di Jakarta harus kita tanggung.

Mulai dari tiket, penginapan, makan, dan lain-lain, termasuk penterjemah karena shihan ini hanya bisa bahasa Jepang. Hal ini terjadi di setiap negara yang dikunjunginya. Bisa dibayangkan keistimewaan yang diterima shihan ini dari keahlian yang dimilikinya.

Melalui beladirinya, kebudayaan Jepang diperkenalkan (mau tak mau kita pelajari) ke seluruh dunia. Dari hal ini kita bisa lihat, bagaimana orang Jepang sangat menjaga dan memegang teguh jatidiri kebudayaannya, tak terkecuali bahasanya.

aikido 1Pada sisi lain, keahlian yang dimiliki menjadi topang menopang dengan penguatan jatidiri kaum (bangsa). Keteguhan akan jatidiri di satu sisi akan menimbulkan kehormatan diri (dignity) sehingga haus akan prestasi. Sementara prestasi (keahlian) akan menjadi saluran (jembatan) pengenalan jatidiri suatu kaum karena berguna (dibutuhkan) untuk orang lain.

Jatidiri dan prestasi saling menopang.

One thought on “Antara Jatidiri dan Prestasi

  1. ”Jatidiri dan prestasi saling menopang” (RGM). Formulasi ini sangat tepat dan aktual dalam era globalisasi abad 21. Abad 21 adalah adalah abad identitas (jati diri) menggantikan abad ideologi dari abad 20 kata prof Moisi dalam bukunya The Clash of Emotions. Semakin kuat jati diri semakin kuat rasa percaya diri atau confidence dan itu pada gilirannya pastilah juga menopang prestasi tidaklah diragukan.

    Bagi tiap orang Jepang terasa kalau diterima dan diakui oleh dan dalam kultur Jepang, dan ini merupakan dukungan mental tak ternilai bagi kesuksesan perorangan bagi tiap orang Jepang, terutama disini dalam memperkenalkan budaya Jepang ke luar keseluruh dunia. Ini termasuk juga dalam kultur ’hope’ (salah saru dari ’fear, humiliation, hope’ yang dikemukakan oleh Moisi dalam bukunya. RGM memberikan contoh bagus ini bagi kita orang Karo, dimana kita juga sekarang dalam tingkat ’hope’ ini dibandingkan dengan keadaan kita dalam tingkat ’humiliation’ ketika dibawah tekanan Orba.

    Kultur ’hope’ ini bagi Karo sekarang sejak era reformasi telah memberikan confidence tinggi bagi Karo dan kulturnya dan telah menyatakan kesigapan kulturnya dengan keterbukaan dan penuh ketulusan demi kepentingan bersama semua kultur dan seluruh nation negeri ini.

    MUG

Leave a Reply to MUG Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.