Antara Nama Organisasi dengan Nama Suku

Oleh: Matthew Brealey (London)

 

Semestinya orang tidak anggap nama perusahaan atau yayasan atau gereja atau nama-nama formal lainnya untuk menentuhkan identitas masyarakat. Apalagi, nama-nama itu sangat tergantung pada zamannya dan, ketikan zaman berubah, sudah tidak sesuai lagi.

Ada banyak contoh, antara lain adalah sebagai berikut:

1. NAACP (National Association of Colored People) di America berjuang bukan untuk orang-orang ‘colored’ tetapi untuk orang ‘African American’, karena istilah ‘colored’ sudah tidak lagi boleh dipakai.

2. Spastics Society (yayasan untuk orang Down Sindrome) masih lama pakai nama ‘Spastics Society’ sesudah tidak lagi boleh memanggil orang ‘spastic’

3. GBKP ya memang punya nama ‘Gereja Batak Karo’ walaupun sebetulnya Gereja Karo, bukan Batak.




Dasar memang dulu dianggap oleh Marco Polo atau siapa, bahwa semua orang di sekitar Danua Toba itu ‘Batta’. Dasar mereka untuk menyebut semua suku-suku itu Batta tidak begitu mereka pedulikan karena mereka tinggal jauh dari sana. Mungkin sampai sekarang pemerintah yang di Jawa juga tidak begitu peduli, karena memang masih ada sedikit sifat kolonial walaupun sudah 72 tahun sejak Proklamasi Kemerdekaan.

Sepertinya sifat kolonial itu bukan hanya dipakai oleh suku yang terbesar, tapi dimanfaatkan juga oleh suku lebih kecil untuk angkat status lebih tinggi dengan pernyataan bahwa mereka juga punya kekuasaan untuk suku-suku di sekitarnya.

Batas suku memang jelas. Yang sebetulnya Batak pasti berjuang untuk yang Batak dan memang berhasil. Dengan pernyataan tersebut mereka mendapat Rp. 21 Triliun uang negara untuk membangun Danau Toba atas nama ‘Batak’. Tetapi, kalau Batak itu memang termasuk Karo, ya semestinya sekian triliun dipisahkan khususnya untuk yang ‘Batak Karo’ (kalau memang mengakui adanya Batak Karo). Kenyataannya, Rp. 21 triliun dipakai untuk membangun Toba, sedangkan Sinabung meletus dengan ribuan korban pasti tidak akan dapat program semewah itu.

Para artis Sanggar Seni Sirulo saat baru selesai tampil di seminar mengenai Adat Kematian yang dilaksanakan oleh Museum GBKP di Sibolangit.

Jadi kesimpulan ini: Kalau Karo adalah Batak kenapa pada umumnya yang Batak berjuang khususnya hanya untuk Tanah Batak? Begitu juga orang Karo, berjuang hanya untuk Tanah Karo (walaupun pasti gagal karena dalam sistem kolonial, yang diwariskan sampaisekarang ke pemerinthan RI, dibandingkan Batak yang dianggap meliputi seluruh Sumatera Utara).

Selain identitas kebudayaan sendiri (Batak atau tidak) ada pertimbangan praktis, yaitu kalau ikut tetangga yang lebih banyak, apakah ada manfaat atau tidak? Di Indonesia pada umumnya tidak bermanfaat sama sekali. Itu sebab kenapa selalu dibentuk kabupaten dan propinsi baru (pemekaran, red.).

Bhinneka Tunggal Ika itu tidak berfungsi kalau menghilakan Bhinnekanya dengan menggabung etnis-etnis yang berbeda. Memperhatikan identitas masing-masing supaya bisa bersama di bawah satu bendera.

FOTO HEADER: Ayam merupakan alat pertukaran adat yang terpenting di dalam berbagai ritual Karo selain Kerbau dan kambing. Walaupun orang-orang Karo memakan daging babi dan terkenal dengan sebut BPK (Babi Panggang Karo), babi tidak pernah dipergunakan sebagai alat tukar adat seperti halnya di Suku Batak (Foto: RUDY C. PINEM).








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.