Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Gelar Seminar Technopreneurship dan Open Science for Scholars on Facing Rapid Globalization

JANNER SIMARMATA. JAKARTA. Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Jabodetabek adakan seminar yang bertemakan Technopreneurship & Open Science for Scholars on Facing Rapid Globalization [Minggu 29/10] di Jakarta Selatan. Acara seminar dibuka oleh Ketua ADI Jabodetabek Prof. Dr. Mts. Arief, M.M, MBA, CPM, dihadiri oleh dosen-dosen yang juga tergabung dalam asosiasi ini.


“Seminar ini penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kompetensi dosen di era globalisasi yang sangat dinamis,” kata Arief saat membuka seminar.

ADI adalah wadah yang independen serta tidak membawa atribut apapun sehingga dapat diikuti oleh seluruh dosen di Indonesia.

Arief mendorong agar para dosen segera melanjutkan pendidikannya hingga ke tingkat doktoral, mengingat saat ini banyak beasiswa dan dapat diakses, baik beasiswa dari pemerintah maupun swasta.

Pembicara utama dalam pertemuan ini adalah Dr. Darmawan Napitupulu ST MKom (LIPI). Dalam orasinya, Darmawan menyampaikan pentingnya publikasi ilmiah bagi dosen dan pengenalan Open Science Framework.




Dikatakannya, publikasi ilmiah sangat erat kaitannya dengan reputasi dosen atau peneliti, dilihat dari sudut pandang komunitas ilmiahnya.

“Kepakaran seorang ilmuwan bukan lagi ditentukan oleh banyaknya gelar atau jabatan yang dimiliki, namun bagaimana publikasi ilmiahnya diakui telah memberikan kontribusi yang signifikan pada “body of knowledge” dari bidang riset yang digelutinya,” imbuhnya.

Darmawan mengungkapkan bahwa publikasi ilmiah adalah salah satu luaran penelitian yang bersifat wajib. Penelitian yang tidak menghasilkan publikasi ilmiah bisa dikatakan penelitian tersebut belumlah selesai.

“Bahkan tidak hanya publikasi karya ilmiah, tetapi termasuk juga jumlah sitasi serta H-index telah menjadi indikator kinerja riset dosen atau peneliti dan hal ini juga menjadi dasar evaluasi atau penilaian portal Sinta (Science & Technology Index) yang dikembangkan oleh Kemristekdikti khususnya terhadap publikasi ilmiah dosen yang terindeks Scopus dan Google Scholar,” bebernya.

Selanjutnya, peneliti dari LIPI ini juga memaparkan tentang Open Science Framework dan Ina-Rxiv kepada peserta seminar, dimana prinsip berbagi dan kolaborasi dapat dilakukan sedini mungkin bahkan pada fase-fase awal penelitian.

“Hasil penelitian bisa berupa data mentah, hasil pengolahan data, analisis maupun karya ilmiah lengkap yang dapat disampaikan secara terbuka dan transparan ke publik,” tutur Darmawan.

Di samping itu, dunia akademik kita telah lama terkungkung oleh pola pemikiran barat bahwa publikasi ilmiah yang bagus adalah yang terindeks Scopus atau Thomson. Akibatnya secara masif orang mengejar publikasi ilmiahnya agar terindeks oleh lembaga bereputasi.

Pandangan ini sebenarnya tidak salah namun akhirnya banyak yang terjebak dan berpikiran sempit yaitu lebih baik tidak menulis daripada menghasilkan karya ilmiah yang tidak berkualitas karena tidak terindeks.




“Padahal kualitas sebuah karya ilmiah pada akhirnya ditentukan oleh pembaca atau komunitas ilmiah, bukan tergantung pada indeks-indeks tersebut,” sambungnya.

Apalagi dengan hadirnya Ina-Rxiv yang dapat memberikan solusi berupa layanan preprint di Indonesia untuk makalah yang belum menjalani proses peer-review di jurnal ataupun conference. Ina-Rxiv merupakan repositori yang membantu dosen atau peneliti untuk menyimpan dan mendiseminasikan karya ilmiahnya dengan cepat serta mudah diakses oleh publik.

“Selain gratis, Ina-Rxiv juga punya kapasitas yang besar. Makalah yang diunggah ke Ina-Rxiv diberikan DOI oleh OSF sehingga dapat disitasi bilamana memang relevan,” tutupnya sekaligus diadakan workshop mini cara mengunggah artikel ilmiah di Ina-Rxiv hingga memperoleh DOI.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.