Kolom Aletheia Veritas: ATHEIST

aletheia-4Setiap Minggu pagi, saya misa di sebuah gereja kecil tidak jauh dari universitas. Gereja selalu tampak lengang, sepi, tanpa kehadiran kaum muda. Setiap deretan bangku hanya diduduki oleh beberapa orang tua yang tampak sibuk memutar buliran Rosario di tangannya.

Saya pun berandai-andai, bagaimanakah kelak ‘nasib’ gereja kecil ini? Akankah ia sama sekali kosong? Mungkinkah ‘nasib’nya menjadi sama seperti gereja-gereja lainnya di kota-kota besar yang menjelma menjadi museum, cafe bahkan bar?

“Gereja-gereja itu tak akan pernah kosong,” kata teman saya.

“Mengapa? Bukankah yang tersisa hanya para orang tua saja? Bagaimana seandainya bila mereka tiada?” tanya saya

“Coba kamu lihat orang tua yang duduk di depan itu. Ia adalah seorang professor bidang sejarah yang di masa mudanya tak pernah ke gereja. Coba kamu lihat orang tua yang memegang Rosario itu, dia adalah professor bidang ekonomi politik. Konon katanya dia tak percaya akan Tuhan. Nah, kamu lihat perempuan tua itu. Dia adalah professor saya,”,kata teman saya dengan bersemangat.




“Saya tak tahu, apakah ini kabar baik untukmu,” katanya lagi sambil menatap saya.

“Saya tak mengerti,” jawab saya singkat.

“Memang saya pun baru tersadar bahwa Heidegger yang dicap ateis itu pun ternyata pernah kedapatan sedang berdoa di kapel kecil di sebuah desa di Jerman, di masa tuanya,” kata saya setengah frustasi.

“Sudahlah. Tak perlu menghitung jumlah manusia setiap kali misa,” katanya lagi sambil tertawa riang.

Let it be…
Let it be…







One thought on “Kolom Aletheia Veritas: ATHEIST

  1. Let it be . . .
    Ada masanya percaya agama asli . .
    Ada masanya percaya agama import . . .
    Ada masanya percaya keduanya, seperti orang Karo atau orang Jawa.
    Seorang China bawa makanan ke kuburan nenek-kakeknya, seorang Amerika bawa bunga ke kuburan orang tuanya. Orang China berpikir dan bilang ‘apa dia kira kakeknya akan bangun mencium bunganya? Sambil jalan orang Amerika pikir, apa dia kira kakeknya akan bangun mau makan?
    Semua masa ada orangnya, semua orang ada masanya . . . let it be . . . and perhaps learn why . . .

    MUG

Leave a Reply to MUG Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.