Kolom Eko Kuntadhi: ATURAN SPEAKER MASJID

Kementerian Agama mengeluarkan surat edaran No. 05/2022 yang mengatur soal penggunaan sepaker di masjid dan musholah. Sebetulnya pada Tahun 1978 ada aturan dari Dirjen Bimas Islam soal ini. Jadi, surat edaran baru itu sekaligus pembaruan.

Dalam edaran itu misalnya diatur, maksimal suara speaker masjid 100 desibel.

Dan ada aturan speaker yang diarahkan ke luar maupun ke dalam. Misal. Speaker luar hanya bisa digunakan saat masuk waktu sholat atau panggilan adzan. Waktunya 10 menit sebelum subuh, bisa didahului dengan tarhim atau bacaan Al-Quran. Setelah itu adzan.

Nah, aktifitas sholat gak perlu pakai speaker di luar. Karena orang yang sholat jemaah kan, di dalam masjid. Bukan di luar.

Sedangkan untuk Juhur, Share, Magrib, Isya speaker luar bisa digunakan 5 menit sebelum adzan. Bisa dengan baca sholawat atau baca kitab suci.

Selesai sholat, mau dzikir atau baca doa, gunakan saja speaker dalam. Jadi ibadahmu yang mau bermesra dengan Tuhan, tidak harus membisingkan orang lain.

Begitu juga saat ceramah. Gak perlu dipasang speaker luar. Seolah orang yang di jalan dipaksa mendengar omongan si ustad.

Soal speaker ini memang khas Indonesia. Bahkan di Saudi, Mesir atau negara lain, kita jarang dengar ada speaker masjid mengumandangkan ceramah sampai ke luar. Jemaah pengajian di sana mungkin gak mau pamer, bahwa mereka sedang mengaji. Jadi cukup pake speaker dalam saja.

Bukan hanya itu. Kadang suara speaker yang terlalu keras juga mengganggu sekitarnya. Bayangkan orang yang tinggal di dekat masjid tapi sedang sakit keras. Butuh istirahat. Atau ada anak bayi. Betapa tersiksanya mereka.

Masjid yang semestinya jadi rumah ibadah yang menentramkan, gegara mau pamer pengajian dan keshalehan, justru jadi pengganggu tetangganya.

Padahal, kata Nabi, umatku adalah mereka yang tetangganya selamat dari gangguan dirinya.

Iya, mungkin ada yang bilang. Speaker luar itu untuk dakwah. Untuk syiar. Biar isi ceramah didengerin orang.

Begini, Drun.

Kamu pernah kan, ada undangan pengajian tetapi gak bisa datang karena ada urusan lain? Pasti pernah. Nah, begitu juga orang lain. Mungkin dia sedang belajar mempersiapkan ujian kuliah atau sekolah buat keesokan harinya? Suara speakermu bisa menjadi pengganggu belajar dia.

Mungkin ia sedang sakit gigi dan butuh ketenangan. Suara speaker mungkin bisa menyiksa dia. Meskipun isinya kebaikan.

Mungkin ada bayi yang butuh tidur. Tapi terusik dengan suara speakermu.

Akibatnya justru suara itu menyiksa dia.

Saya pernah ke Saudi. Bahkan di Mekah sekalipun suara adzan tidak seberisik di sini. Saya juga pernah ke Iran. Negeri yang menyatakan diri sebagai Republik Islam itu, sama juga. Tidak ada suara speaker masjidnya yang menganggu orang di sekitar masjid.

Tapi ini Indonesia. Negeri dengan sejuta masjid dan mushola. Suara speaker itu saling bersahutan gak ada habisnya.

Saya ingat ibu Meliana. Ia adalah korban keganasan masyarakat yang mentang-mentang. Bu Meliana seorang Buddha yang tinggal dekat dengan masjid di Pematang Siantar.

Suaminya sedang sakit.

Ia pernah mengeluhkan suara speaker masjid yang terlalu keras membuat suaminya tidak bisa istirahat. Keluhan itu disampaikan di sebuah warung. Bukan protes. Sekadar obrolan ibu-ibu.

Tapi di lingkungan itu, masyarakatnya jumawa. Omongan Meliana digoreng sedemikian rupa. Ia malah dituduh menista masjid.

Ia, istri yang sedang merawat suaminya, didemo berjilid-jilid. Dihantam. Rumahnya dirusak. Ada vihara yang dibakar. Meliana akhirnya dihukum penjara.

Kesalahan Meliana hanya satu. Ia memohon belas kasian kepada pengurus mesjid agar suaminya bisa istirahat. Itupun sekadar disampaikan ke ibu-ibu di warung. Sekadar keluhan seorang perempuan lemah di tengah masyarakat yang sombong dalam beragama.

Mungkin banyak orang yang punya masalah yang sama seperti Meliana. Tersiksa oleh kebisingan.

Mereka berharap, seperti harapan kaum Quraisy dulu. Bisa mendapatkan kedamaian dan perlindungan di masjid.

Tapi itu jaman Nabi. Ketika Masjid masih jadi tempat yang memberikan rasa adem. Ketika rumah ibadah memberikan ketenangan.

Jaman ini mungkin sudah berubah. Meliana merasakan perubahan itu. Ia dipersekusi dan masuk penjara. Karena speaker masjid berteriak dengan sombong. Tidak mengindahkan telinga orang lain.

Surat edaran Menteri Agama itu luar biasa. Tapi seperti biasa, PKS menolak. Bagi PKS speaker masjid memang harus bisa menjadi menekan orang di sekitarnya. Suara speaker masjid tidak boleh dikecilkan. Sebab masyarakat butuh suara yang pekak. Butuh suara oengajian yang saling bersahutan dari ribuan masjid yang berdiri di lingkungan kita.

Jangan heran. Jika mau menjual rumah dekat masjid, harganya kurang bagus. Bahkan ada bank yang menolak memberi KPR kalau posisinya terlalu dekat dengan masjid.

Karena semua orang punya telinga. Semua orang butuh ketenangan di rumahnya sendiri.

“Mas, speaker luar itu bagusnya untuk memberi pengumuman infaq. Disebutin namanya satu-satu. Agar kita tahu, siapa yang duitnya banyak untuk diutangin,” ujar Abu Kumkum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.