Kolom Eko Kuntadhi: BAGAIMANA CARA MENGHITUNG KERUGIAN?

Bagaimanakah memghitung harga kerugian? Rupanya gak gampang. Gubermur Anies sempat bilang kerugian Jakarta karena demo anarkis kemarin Rp 35 miliar. Lalu jadi Rp 55 miliar. Kemudian stafnya bilang Rp 65 miliar. Tapi mungkin berbeda cara memghitung kerugian kios buku yang ikut terbakar di sekitar Senen.

Itu adalah usaha satu-satunya. Sebagian buku adalah kredit dari penerbit.

Jika mau dihitung kerugian, mungkin nilainya hampir seluruh hidupnya. Sebab dari sanalah mereka hidup. Mencari nafkah. Memberi makan anak dan istrinya. Demikian juga dengan karyawan-karyawan toko itu. Berapa kerugiannya?

Nilai kerugian mungkin setara dengan makanan anak-anaknya, bayar listrik dan sewa rumah kontrakan, nafkah istrinya, dan sedikit biaya pulsa. Bulan depan ia gak bisa memastikan lagi, apakah semua itu bisa terbayar.

Tempatnya mencari nafkah kini hangus. Toko buku di seputar Senen, adalah salah satu tempat favorit saya saat kuliah dulu. Di sana saya bisa dapatkan buku bagus dengan harga miring. Kini sebagian tinggal puing. Dibakar oleh orang yang demo demi ‘membela’ rakyat.

Jika ditanya apa harapanmu sebagai rakyat yang kau titipkan ke pundak mahasiswa yang demo? Mungkin jawabannya simpel: “Kami rakyat. Gak perlu Anda bela. Cukup jangan ganggu usaha kami. Jangan bakar tempat cari nafkah kami.”

Barangkali itu juga yang ingin disampaikan pemilik toko dan restoran di Malioboro (Jogja) kemarin. Sebagian kios terbakar. Sebuah restoran hangus menjadi puing. Orang-orang yang mencari nafkah di sana langsung kehilangan mata pencarian. Pemiliknya menangis sejadi-jadinya.

Selama ini mereka coba menahan gempuran pandemi yang membuat usahanya limbung. Tapi gempuran demonstran yang brutal, bukan saja telah membuatnya nyusruk. Juga kini menenggelamkan hidupnya.

Bagaimana cara menghitung kerugian? Saya sendiri gak tahu. Sebab kerugian bukan hanya soal angka-angka. Di sana ada keringat yang tumpah. Kesedihan yang merembes. Rasa khawatir dengan masa depan. Dan air mata yang kering.

Tapi mungkin Gatot Nurmantyo tahu cara menghitungnya. Atau Rizieq dan pentolan 212 Atau Agus Yudhoyono. Atau orang-orang PKS. Atau Said Iqbal. Atau buruh yang ngamuk di jalanan didasarkan kabar hoax.

Atau para mahasiswa yang kemarin meruah ke jalan dan foto-foto ria buat konten IG-nya. Lantas pulang kekosan dengan perasaan bangga sebagai pejuang.

Bagaimana cara menghitung kerugian? Tanyakan pada pemilik kios di Senen atau Malioboro yang tempat usahanya tinggal abu. Tanyakan kepada karyawan yang mengandalkan nafkah dari tempat itu. Tanyakan kepada mereka, berapa kerugian mereka?

Anda akan dijawab dengan memperihatkan foto anak-anak mereka. “Inilah total kerugian kami, yaitu masa depan anak-anak kami.”

Kita perlu bertanya: pasal berapakah dalam UU Cipta Kerja, yang perlu dihapus. Sedemikian pentingnya untuk dihapus, meskipun biayanya harus dengan membakar tempat orang mencari nafkah.

Apakah masa depan anak-anak mereka setara dengan apa yang sedang Anda perjuangkan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.