Urgensi Executive Review bagi Perda di Sumut

Oleh: Michael Putra Tarigan*

 

Michael TariganSebanyak 3.143 Perda (Peraturan Daerah) telah dibatalkan oleh Pemerintahan Jokowi, lewat Menteri Dalam Negeri (Tjahjo Kumolo). Sejumlah Perda dan Peraturan Kepala Daerah ini dibatalkan karena dianggap keadaannya berakibat pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi daerah dan jalur birokrasi, sebagaimana dikutip dari laman kompas.com.

Selain itu, peraturan tersebut dianggap menghambat proses perizinan dan investasi serta menghambat kemudahan berusaha. Ada pula peraturan yang bertentangan dengan UU. Hal ini jelas tidak mengindahkan amanat UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan yang di dalamnya mengatur hierarki peraturan perundang-undangan.

Di Provinsi Sumatera Utara sendiri telah dicabut 127 Perda. 6 darinya adalah Perda Produk Provinsi Sumatera Utara. Sisanya berasal dari 31 kabupaten/ kota di Sumut. Sumut pula merupakan provinsi ke tiga setelah Jawa Timur (142 Perda) dan Jawa Barat (135 Perda) yang paling banyak mengalami Perda bermasalah. Mayoritas Perda yang dibatalkan adalah karena inkonsistensi dengan peraturan yang di atasnya (Baca UU 12/2011).

Hal ini tentu menjadi sebuah jawaban mengapa Sumut terkhusus bagian kabupaten/ kotanya mengalami pertumbuhan ekonomi daerah yang lamban. Juga birokrasi daerah yang terkesan “menyulitkan” kaum marginal. Dengan dibatalkannya 127 Perda di Seluruh Sumut ini tentu muncul harapan besar akan adanya percepatan pertumbuhan ekonomi di Sumut secara komprihensif. Juga diharapkan agar tidak ada lagi birokrasi yang terkesan menyulitkan jika tidak ada pemulus.

Namun, beberapa Perda yang dibatalkan tentunya akan berimbas kepada munculnya area hukum tanpa adanya aturan yang jelas. Mengapa saya katakan beberapa?

Perda 2Tidak semua Perda mengatur halnya masing-masing. Selalu ada Perda yang overlapping. Pertanyaan, mengapa sampai terjadi overlapping (tumpang tindih) adalah karena demi memuluskan jalan koruptif segelintir elit-elit daerah yang kita ketahui sangat minim akan pengawasan.

Tidak sampai pada titik itu saja, dengan adanya pembatalan Perda seperti ini tentunya kita ingin hal tersebut tidak terulang kembali ke depan hari. Sebelum saya membahas lebih lanjut, saya akan memberi informasi bagaimana mekanisme secara umum pembentukan Perda di Daerah.

Pembentukan Perda menurut UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah hasil kajian dari Eksekutif daerah (Gubernur, Bupati/ Walikota) dengan Badan Legislatif Daerah yaitu DPRD. Dalam hal ini Kepala Daerahlah yang memiliki wewenang untuk mengajukan RUU Perda lalu diserahkan kepada DPRD untuk dikaji bersama-sama demi mencapai persetujuan bersama. Namun, sebelum itu akan mengalami pembahasan 4 Tahap yang tidak semua tahapnya melibatkan Kepala Daerah.

Biaya pembuatan draft Perda memerlukan biaya sekitar Rp. 500 juta. Dihitung sejak dari penyiapan draft, pembahasan oleh Pansus sampai ketok palu pengesahan sebuah Perda bisa menghabiskan biaya kurang lebih Rp 1 milyar hingga Rp 1,5 milyar.

Dalam pembuatan Perda, idealnya Pemerintah dan DPRD menyerap aspirasi rakyat mulai tingkat bawah melalui musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) tingkat RW, lalu kelurahan, dan kecamatan sampai nantinya dibawa ke tingkat dewan untuk dibahas. Namun, banyak kasus yang terkuak bahwa dalam Pembentukan Perda itu sendiri banyak oknum yang tidak melakukan kajian dengan benar dan mendalam. Hal ini justru merugikan rakyat selaku pembayar Pajak yang merupakan sumber dari APBD yang dipakai Pemda untuk membuat suatu Perda.

Penyusunan rancangan sebuah Perda sebenarnya adalah sebuah kondisi yang sangat menentukan kelancaran dan keoptimalan Perda itu nantinya. Perlu adanya naskah akademik terlebuh dahulu dengan analisis yang mendalam agar  tujuan dari Perda tercapai. Faktanya di lapangan, banyak Perda yang dibuat “kejar tayang” atau bahkan terkesan dipaksakan, bahkan yang lebih mengerikan ada Perda yang dibuat Copypaste dengan Perda sebelumnya. Hal ini jelas sangat merugikan masyarakat sebagai Wajib Pajak dan mengharapkan kontraprestasi Infrastruktur dan Layanan masyarakat yang baik malah mendapat sebuah kenihilan.

Yang diuntungkan jika sebuah Perda dibuat dengan Kejar Tayang, tanpa Naskah Perda 3Akademik yang mendalam, Analisi masalah masyarakat yang terjenjang dan Copypaste jelas adalah oknum di dalamnya. Bayangkan sebuah Perda akan menghabiskan cost 1 Milyar Rupiah dan tidak diefektikan pembentukannya, jelas oknum-oknum tersebut menguntungkan diri sendiri dan merugikan keuangan negara. Jelas ada unsur koruptif di sini.

Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai masyarakat yang sadar dan punya harapan agar Daerah kita dapat mengalami Percepatan pertumbuhan ekonomi dan Peningkatan layanan dan Birokrasi sehingga akan berimbas kepada meningkatnya kesejahteraan masyarakat?

Jawabannya adalah Pengawasan. Pengawasan yang dimaksud melingkupi Pengawasan oleh masyarakat (Kesadaran dan Tindakan) serta Pengawasan oleh Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Menteri dan Gubernur.

 


[one_fourth]Pengawasan berjenjang dengan sanksi (Amanat UU 23 Tahun 2014)[/one_fourth]

UU Pemerintahan Daerah (UU 23 Tahun 2014) memberi kewenangan pengawasan kepada Menteri dan Gubernur sampai dengan kewenangan pembatalan melalui instrumen berupa keputusan menteri dan keputusan gubernur (Pasal 251). Menteri berwenang membatalkan Perda provinsi sedangkan gubernur berwenang membatalkan perda kabupaten/ kota. Apabila gubernur tidak membatalkan Perda maka Menteri yang akan membatalkan Perda tersebut (Pasal 251 ayat (3)). Keputusan pembatalan ini pun akan harus direpon dengan pemberhentian pelaksanaan Perda dan pencabutan Perda yang dibatalkan. Apabila pemerintah daerah tidak merespon, UU Pemerintahan Daerah telah menyiapkan sanksinya.

Ketentuan adanya sanksi bagi pemerintah daerah ini merupakan pengaturan baru yang tidak terdapat dalam undang-undang sebelumnya(UU 32 Tahun 2014). Ada 2 bentuk sanksi yang akan diterima oleh pemerintah daerah yaitu sanksi administratif dan sanksi penundaan evaluasi rancangan perda. Sanksi administratif dikenakan kepada kepala daerah dan anggota DPRD berupa tidak dibayarkannya hak-hak keuangan selama 3 bulan (Pasal 252 ayat (3)). Khusus untuk Perda retribusi dan pajak daerah, apabila pemerintah daerah masih memberlakukan Perda yang dibatalkan maka akan dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan dana alokasi umum dan/ atau dana bagi hasil (Pasal 252 ayat (2)).

Pemerintah daerah diberi hak berdasarkan UU Pemerintahan Daerah untuk mengajukan keberatan apabila tidak menerima keputusan pembatalan Perda (Pasal 251 ayat (7) dan ayat (8)). Gubernur dapat pula mengajukan keberatan atas pembatalan perda provinsi kepada presiden. Sedangkan, bupati/ walikota mengajukan keberatan kepada Menteri Dalam Negeri. Selama pengajuan keberatan, sanksi yang diatur dalam Pasal 252 ayat (3) tidak diberlakukan.


[one_fourth]Permasalahannya[/one_fourth]

Model pengawasan berjenjang yang memberi kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri dan melibatkan pemerintah provinsi merupakan prosedur lama yang tidak berjalan efektif. Persoalan yang muncul terutama terkait dengan pelaksanaan kewenangan pemerintah provinsi dalam melakukan pengawasan. Beban pengawasan Perda merupakan beban yang tidak mudah baik terkait dengan jumlah perda maupun substansi yang harus dikaji. Kapasitas dan penugasan yang jelas bagi pelaksana pengawasan merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengatur pengawasan berjenjang ini.

Mekanisme yang diatur dalam pengawasan yang lama adalah dengan membentuk tim yang bersifat temporer baik untuk pengawasan oleh Kementerian Dalam Negeri maupun pemerintah provinsi. Padahal pengawasan ini merupakan tugas yang rutin dengan beban yang besar.

Kritik lain terkait dengan pengawasan perda oleh pemerintah ini adalah ketiadaan mekanisme pelaporan atau pengaduan dari masyarakat untuk mengadukan adanya Perda-Perda bermasalah. Hal ini juga berkaitan dengan pengawasan Perda hanya dirasakan efektif bagi Perda-Perda pajak dan retribusi daerah. Perda di luar bidang tersebut jarang terdengar dibatalkan oleh pemerintah. Padahal, berbagai pemberitaan banyak menyorot keberadaan Perda yang bermasalah, di luar Perda pajak dan retribusi daerah.




UU Pemerintahan Daerah telah mengatur pengawasan berjenjang terhadap Perda dengan dilengkapi ketentuan sanksi administratif bagi pemerintah daerah yang tidak menjalankan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Namun, implementasi  UU Pemerintahan Daerah membutuhkan sebuah keseriusan dari Kementerian Dalam Negeri sebagai pelaksana utama pengawasan Perda.

Pemerintah Daerah pula harus transparan dan akuntabel dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat, setidaknya meliputi informasi Perda-Perda yang dibatalkan dan penerapan sanksi bagi pemerintah daerah. Informasi ini dibutuhkan sebagai kontrol masyarakat terhadap tindak lanjut pemerintah daerah untuk menghentikan pelaksanaan Perda yang dibatalkan serta pencabutannya.

Di pihak, pemerintah pusat juga perlu melakukan pengawasan pemerintah daerah terhadap tindak lanjut keputusan pembatalan Perda. Pemerintah juga harus aktif merespon pemberitaan atau laporan masyarakat tentang adanya Perda bermasalah, baik itu Perda yang berhubungan dengan pajak dan retribusi daerah maupun Perda materi lainnya yang menimbulkan persoalan baru di masyarakat.

Untuk mengefektifkan peran ini, pemerintah juga harus membuka akses bagi masyarakat untuk malaporkan adanya Perda-Perda yang dianggap bermasalah.

Semoga bermanfaat.

* Penulis adalah mahasiswa FH-UGM 2014.








2 thoughts on “Urgensi Executive Review bagi Perda di Sumut

  1. Bagus dan lengkap tulisan ini menggambarkan bagaimana perda jadi sumber korupsi di seluruh negeri Indonesia.

    “Untuk mengefektifkan peran ini, pemerintah juga harus membuka akses bagi masyarakat untuk malaporkan adanya Perda-Perda yang dianggap bermasalah.” Inilah yang kurang atau tidak ada selama ini, kecuali beberapa kabupaten/kota seperti Jakarta Ahok misalnya.

    Ini jalan bagus untuk mengajak pemda untuk menaruh soal diatas meja dan mengajak publik untuk turut aktif membicarakan dan mengikutkan publik demi perubahan nasib mereka sendiri.

    MUG

    1. Benar Pak. Partisipasi seluruh elemen masyarakat harus diberi ruang, biar jelas demokrasinya. Namun sebelum itu haruslah terlebih dahulu kita mendapatkan semacam info dr Pemda setempat terkait Perda2 yang lama dan baru yg masi aktif di daerah tsb. Agar kita bisa baca dan paham isi Perda, baru kedepannya dapat kita kritisi apabila ada yg bermasalah dan sebagainya..

      Mohon dibagikan apabila kam anggap tulisan ini penting, hehe. Bujur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.