Kolom Sanji Ono: BALADA MINYAK GORENG

Gua ingat di Oktober 2008, harga TBS (tandan buah segar) terjun bebas sampai Rp. 600/ kg. Apa penyebabnya? Saat itu SBY lewat Menteri Kehutanan mengobral izin pembukaan lahan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit kepada korporasi.

Ditambah pembiaran pembalakan lahan secara ilegal oleh cukong-cukong untuk perkebunan sawit.

Bisa ditebak, produksi sawit tinggi tapi penyerapan pasar rendah. Belum lagi penolakan CPO dari negara tujuan ekspor seperti Eropa Dengan menjual isu lingkungan hidup, jadilah harga TBS dan CPO tak pernah stabil.

Belajar dari kasus tersebut, setelah resmi menjadi presiden, Jokowi membuat gebrakan dengan menerapkan moratorium atau tidak menerbitkan izin baru bagi perusahaan perkebunan untuk membuka lahan. Jokowi juga fokus menciptakan hilirisasi di Dalam Negeri untuk pengolahan turunan CPO.

Mulai dari program B20 -B30 yg menyerap hampir 10 juta CPO. Membangun puluhan kawasan industri khusus sehingga ribuan pabrik minyak goreng berdiri, menyerap hampir 7 juta ton CPO per tahun. Serta munculnya pabrik-pabrik lainnya seperti sabun, cosmetics, dan lain-lain.

Imbas dari suksesnya program-program Jokowi di atas, harga TBS mulai merangkak naik dari tahun ke tahun. Sebelum Jokowi membuat pengumuman pelarangan ekspor CPO kemarin, harga TBS menyentuh rekor tertinggi sepanjang sejarah yakni Rp. 3.200/Kg.

2,67 juta petani sawit di dalam negeri pun sujud syukur. Perlahan kehidupan mereka membaik. Kesejahteraan mereka mulai meningkat.

Tapi, namanya juga kehidupan, hidup ini seperti 2 sisi mata uang.
Di saat petani kecil mulai menikmati berkah kenaikan harga sawit, para cukong mulai muncul rasa culasnya. Muncul keserakahannya.

Alih-alih memenuhi kewajiban/ DMO, kebutuhan minyak goreng dalam negeri sebesar 20%. Mereka lebih senang menjualnya ke Luar Negeri. Tanya kenapa?

Karena perbedaan harga yang begitu besar. Di Dalam Negeri, Pemerintah hanya menetapkan HET sebesar Rp. 14 ribu/liter. Kalau diekspor bisa Rp. 45 ribu/liter. Para banjingan ini tak mau sendikitpun berempati dengan kondisi rakyat yang baru pulih dari pandemi.

Dalam otak mereka, yang penting cuma uang, cuma …. cuan… dan cuan. Masalah emak-emak demo mah itu urusan pemerintahan. Itulah yang ada dalam otak mereka.

Kondisi itulah membuat Jokowi geram. Jokowi terlihat sangat marah. Pidato kurang dari 1 menit kemarin menggelegar bak petir di siang bolong. Menghancurkan keserakahan dan kesombongan para cukong. Jokowi akan menghentikan ekspor CPO mulai tanggal 28 nanti sampai waktu yang tidak ditentukan.

Apakah ada efek pidato tersebut?

Coba kita lihat berita hari ini, harga minyak goreng mulai turun hampir di semua pasar dan supermarket. Para penimbun panik kalau sampai penyetopan ekspor berlangsung lama, akan ada banjir minyak goreng di dalam Negeri. Karena dipastikan ada kelebihan pasokan jutaan ton yang nggak tahu ke mana mau dibuang. Terpaksa mereka bongkar gudang penimbunan Mereka.

Apakah Ekspor CPO akan lama? Filling gua nggak, Jokowi cuma mau memberi shock therapy, kalau dalam 2 minggu ke depan apa yang dimau Pakde terpenuhi semuanya akan kembali normal. Jokowi pasti juga sudah memperhitungkan nasib jutaan petani sawit juga sudah menghitung potensi kehilangan devisa jutaan dollar dari pelarangan ekspor CPO ini.

So, sekali lagi, bravo buat Pak Jokowi. Buat yang masih nyinyir ngatain Jokowi nggak tegas, plonga plongo, cepatlah tobat kembali ke jalan yang benar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.