Kolom Aspipin Sinulingga: BANJIR MEDAN

Apa yang menyebabkan banjir Kota Medan tetap saja parah walau Walikota Bobby Nasution sudah bekerja keras membenahi drainase Kota Medan? (jangan tutup mata atas fakta upaya Walikota membenahi sistem drainase Kota Medan). Banjir ini adalah hasil kolaborasi apik tiga pihak:

1. Oknum Korup, 2. Pengusaha Tamak, 3. Masyarakat Apatis tapi Cengeng.

Untuk tidak membuang sampah ke got, selokan, drainase, atau bahkan sungai saja seperti menjadi hal sederhana yang sangat sulit dipraktikan oleh warga Medan. Maunya bebas buang sampah di mana saja, tapi Medan Sehat Nyaman dan Aman dari Banjir.

Ketika kita bicara soal “tanggung jawab” akan dengan santai mereka menjawab, “itu kan tanggung jawab pemerintah”. Yap, mentalitas warga Medan mungkin masih sekelas dimana dia mau berak pun harus walikota yang urus.

Selanjutnya?

Ya itu, kolaborasi apik antara oknum birokrasi pemerintahan, kelengahan pucuk pimpinan Kota Medan, dan ketamakan pengusaha yang hanya berorientasi pada keuntungan.

Tasbi (perumahan setia budi indah) kebanjiran!!

Jujurlah, areal perumahan itu mayoritas (70an %) adalah rawa yang ditimbun untuk dijadikan perumahan elit. Bahkan Pak Walikota Bobby sendiri akui ketika beliau adakan acara pesta pernikahan, untuk lapangan parkir tamu undangan beliau dibantu salah satu tokoh Masyarakat Karo Sumut menimbun salah satu areal rawa untuk dijadikan lahan parkir.

Air itu ndak punya Otak saudara – saudara sekalian. Jadi air ndak bisa mikir pindahan yang pas dan tidak merugikan manusia ketika tempatnya tinggal digusur. Lha, manusia yang katanya punya etika saja bakal anarkhis kalau digusur tanpa solusi, apalagi air yang tunduk pada Qodho nya Illahi.

Mau protes?

Noh sono protes sama Tuhan, Allah SWT, Yusus Kristus, Budha Gautama, atau Sang Hyang Widhi. Curah hujan tinggi di bulan-nulan September – Januari itu hukum alam, ciptaan Sang Causa Prima.

Heran jika sosok – sosok yang “katanya” beriman kepada Tuhan malah menyalahkan Walikota saat banjir melanda di kala hujan datang dengan intensitas tinggi. Lha, rumah kalian sendiri berdiri di atas rawa yang ditimbun, dan Qodho nya rawa adalah salah satu rumah air yang melimpah di musim hujan agar tidak membanjiri lokasi yang lebih tinggi.

Kenapa ente malah protes atas kerusakan yang ente sendiri berkontribusi?

Birokrasi?

Yah, equivalen lah dengan proses masuknya yang juga butuh pelancar lewat jalur alternatif, maka otak para birokrat juga akan berpikir jalur alternatif memperlancar uang masuk.

Ga ada yang ga bisa diatur selama uang mengalir lancar. Jadi RTRW Kota Medan cuma teori yang menghadirkan ruang untuk pengusaha mengajukan lobby – lobby pelancar rejeki para birokrasi.

Terakhir ya pengusaha tamak. Mampus situ Medan tenggelam dengan banjir, toh koko-koko genteng ndak merasa kebanjiran di apartemen – apartemennya di Singapura dan Malaysia.

Trus masalah buat mereka apa? Ketika rawa mereka timbun, air kehilangan tempat berkumpul saat curah hujan tinggi yang akibatkan Medan kebanjiran? Yang banjir kamu warga Medan, warga negara Indonesia? Bukan kokoh-lokoh yang amphibia; biasa hidup di dua negara.

Sama seperti gambar terakhir, rawa seluas 9000 M² ditimbun kokoh-kokoh developer tanpa peduli sejak jaman nenek moyangnya belum sampai ke Indonesia, wilayah itu sejatinya merupakan rawa yang berfungsi sebagai daerah resapan air di kala musim penghujan tiba.

Nah kalau akhir tahun Simpang Pemda kebanjiran bagaimana? Lha, si kokoh pinpin kan tinggal di Singapura, mana dia tahu banjir melanda.

Pembenahan Drainase Kota Medan oleh Pak Walikota ibarat membenahi nadi tapi membiarkan jantung ditimbun lemak. Ke mana darah akan mengalir? Ujung mati juga kan si empunya jantung.

Ibarat menyehatkan tenggorokan dan usus, tapi membiarkan lambung dipenuhi cacing atau tukak lambung. Mampus juga kurang gizi atau kena angin duduk.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.