Kolom M.U. Ginting: BUPATI KARO (2)

Gendang Lesung
GENDANG LESUNG adalah sebuah tradisi menumbuk beras jadi tepung secara bersama-sama dan bersama-sama pula memainkan sebuah komposisi musik sambil menumbuk tepung. Foto ini dijepret tahun 1989 di Dokan saat para ibu dan anak gadis memainkan sebuah komposisi Gendang Lesung yang dikomposisi langsung saat itu oleh Kemberahen Kuta (Foto: Juara R. Ginting)

M.U. Ginting 2Berbagai kalangan akademisi berpendapat  bahwa kepercayaan yang semakin berkurang terhadap pemerintahan dunia pada umumnya banyak dipengaruhi oleh sikap pemerintah terhadap kultur atau seperti Bupati Karo sebutkan kearifan lokalPendapat ini tentu disesuaikan dengan perubahan dunia dalam tingkat sekarang yang mengutamakan kultur. Semua persoalan kemanusiaan sekarang tak bisa dipisahkan dari soal utama ini, yaitu kultur. Karena itu juga disebut abad ini sebagai abad pertengkaran kultur oleh Huntington dengan nama The Clash of Civilization.

Di Indonesia namanya kearifan lokal. Atau bisa juga dikatakan The  Clash of ‘kearifan lokal’, karena tak bisa dipisahkan dari ethnic competition. Ethnic competition pada pokoknya adalah kompetisi budaya, yang juga adalah genetic competition. Kalah menang secara genetis.


[one_fourth]Pakpak Dairi yang sudah didominasi oleh pendatang[/one_fourth]

Kearifan lokal tak bisa dipisahkan dari penduduk lokal (asli penduduk ulayat) yang masih ada landasan kultur dan tradisinya, yang punya kekuatan tertentu dalam mengembangkan dirinya sebagai satu kultur tertentu di daerah ulayat tertentu. Ini sering terganggu oleh pendatang yang berlainan kultur. Karena itu juga, sudah tak berarti lagi misalnya di Pakpak Dairi yang sudah didominasi oleh pendatang. Kearifan lokal Pakpak Dairi sudah tak ada.

Bagaimana kearifan lokal di Karo yang sekarang sedang diangkat ke permukaan oleh Bupati Karo Terkelin Brahmana? Mengapa selama ini tak pernah diungkapkan oleh bupati-bupati lama?

Jawaban yang paling masuk akal ialah, seperti bupati sebelumnya, Karo Jambi, terlalu sibuk dengan persoalannya sendiri. Begitu juga bupati sebelum Karo Jambi juga sangat sibuk dengan problemnya sendiri. Mana sempat mereka ngomong ‘kearifan lokal’.

Terkelin adalah bupati pertama yang mau mengangkat persoalan kearifan lokal, soal yang sangat penting dan aktual bagi kelangsungan satu kultur seperti Karo pada Abad 21 ini. Hanya saja, bagi bupati Terkelin, sangat  penting soal kepercayaan rakyat, soal yang juga selalu berubah dan berkembang.


[one_fourth]era terus terang dan transparansi bagi semua penduduk Karo[/one_fourth]

Bagusnya dia mau dialog soal ini. Ini sudah jadi modal permulaan yang sangat bagus. Berani letakkan soal di atas meja. Inilah era internet, era terus terang dan transparansi bagi semua penduduk Karo, di Karo maupun di luar Karo. Dengan cara itu kearifan lokal tidak hanya akan bertahan tetapi juga akan berkembang.

Kalau ada objek atau projek besar atau terobosan besar yang dikedepankan oleh bupati di hadapan rakyat Karo, akan muncul pro kontra, percaya atau tak percaya kepada trobosan itu. Yang aktual sekarang di Karo misalnya uang masuk dan uang keluar perusahaan energi panas bumi Sibayak dan Aqua Doulu. Ini akan menarik bagi semua orang Karo karena menyangkut langsung kehidupan Karo.

Kematian ikan sekitar Doulu dan ketidakhadiran penduduk setempat dalam penanganan SDM sekitar keberadaan dua perusahaan Sibayak itu. Paparkan ini semua di atas meja, maka kepercayaan akan muncul secara besar-besaran. Lebih gampang jadi Bupati Karo dengan menciptakan kepercayaan berdasarkan tindakan konkrit.

SELESAI


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.