Kolom Edi Sembiring: BUTET

edi sembiring 2Teringat si Butet peraih emas, teringat aku dengan Butet si penjual barang kebutuhan dapur di Tebing Tinggi. Aku enggak tahu siapa dari ketiga perempuan tersebut yang salah satunya dipanggil Butet. Pastinya ketiganya matanya sipit. Ini ingatan sekitar tahun 84.

Yang aku ingat, mamak bilang, tunjukkan saja daftar belanja ini ke kedai si Butet. Waktu itu aku masih duduk di Kelas 5 SD. Sedang liburan sekolah dan mamak tetap bekerja.

Ikutlah aku dengan bis perkebunan bersama ibu-ibu dari perkebunan. Memang disediakan bis untuk 1 kali dalam seminggu menghantarkan ibu-ibu berbelanja. Lamanya perjalanan 45 menit menuju kota Tebing Tinggi. Lumayan jauh.

Sesampainya di Pasar, aku minta petunjuk tempat kedai Butet. Ternyata kebanyakan Butetibu-ibu juga menuju ke kedai si Butet. Aku berjalan bersama mereka.

Kedai si Butet tak lah begitu luas, tak beda dengan kedai lainnya. Yang dijual seperti minyak goreng, gula, garam, telur dan bahan-bahan dapur yang kering. Yang basah seperti sayur, ikan dan daging tak dijualnya.

Aku menyerahkan daftarnya. Si Butet tersenyum dan menyebut nama mamakku. Ya, ada di kertas itu. Ligat sekali ia kemas barang-barang pesanan. Lalu ia bilang, sayur dan ikan akan dicarinya di kedai yang lain. Aku disuruhnya menunggu di situ saja.

Ada kursi panjang kayu sederhana disediakan. Butet yang lain menanyakan apakah aku lapar? Aku ingin mie pansit, kataku. Butet yang lain mengajakku ke warung mie yang tak jauh dari situ dan menitipkan aku ke si penjual.

Tak sampai 1 jam Butet datang menghampiriku. Menyelesaikan pembayaran mie dan minuman. Lalu mengajak ke kedainya. Dan diambilnya bungkusan barang-barang pesanan lalu kami berjalan ke arah bis. Memasukkan pesanan barang ke dekat tempat dudukku di dalam bis.

Mengapa orang-orang senang ke kedai Butet bersaudara? Pastinya ramah dan ketiganya bersedia mencarikan apa yang dibutuhkan pelanggannya walau itu tak ada di kedainya. Tukang-tukang sayur, ikan dan daging senang kepada Butet bersaudara. Mereka tahu si Butet dapat pesanan. Dan menurut mamakku, Butet bersaudara tak mengambil untung dari sayur, ikan dan daging. Ia sudah berkali-kali mengecek kebenaran harga dan timbangannya. Di sini terjadi hubungan yang sangat baik antara Butet bersaudara dengan para penjual itu.




Aku tak membawa uang untuk pembelian barang-barang itu, mamak akan mampir ke kedai Butet untuk melunasinya. Karena pasar ini memang pasar pagi. Sore hari tukang sayur, ikan dan daging sudah tutup.

Mei 1998 aku melewati pasar ini. Suasana gaduh. Orang ramai hilir mudik. Seorang ibu ketakutan dan meminta pak Supir berjalan pelan-pelan. Jangan sampai taksi yang kami tumpangin menyerempet orang lalu lalang.

Silih berganti ada yang menatap ke arah kami. Untung taksi kami ber plat hitam. Karena plat kuning sudah ketakutan bersembunyi di garasi pool taksi.

Kulihat di seberang sana. Sepertinya itu kedai Butet bersaudara. Aku cuma bisa berdoa semoga mereka baik-baik saja di rumah. Rugi hari itu semoga tak membuat resah panjang. Karena kegigihan mereka tetap àkan berbuah manis. Kepercayaan pelanggan dan kerjasama yang baik dengan pedagang lainnya.

Kedai penjual pangsit terbuka. Penuh bukan dengan pembeli. Orang-orang yang membawa kasur kapuk tua hingga peralatan memasak. Botol-botol kosong kecap dan sambal terhampar pecah berserakkan di kaki limanya.

Kami meninggalkan pasar itu dengan nafas kencang. Melewati jalan yang panjangnya 500 meter namun ditempuh 30 menit lebih. Seperti menonton turunnya setan-setan ke bumi.

3 jam sebelumnya pun kami menyaksikan hal yang sama. Di Kota Lubuk Pakam, Kota Perbaungan yang terbakar, Sei Rampah dan kota-kota kecil sebelum Tebing Tinggi.

Mengingat nama Butet si peraih medali emas, teringat aku pada kegigihan Butet bersaudara. Mungkin yang tertua yang bernama si Butet. Tapi aku tak tahu siapa yang paling tua karena ketiganya cantik-cantik.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.