Kolom Eko Kuntadhi: CAPRES PEMALAS, CAWAPRES CAPER, LOGISTIK CEKAK

Andi Arief menyindir Prabowo sebagai Capres pemalas. Gak mau terjun ke masyarakat. Cuma duduk diam di Hambalang. Kelakuan politisi seperti ini, kata Andi Arief, tidak akan menambah suara Prabowo. Padahal Pilpres tinggal beberapa bulan lagi.

Tapi, harus diakui Prabowo bukan anak muda lagi. Usianya sudah senja. Wajahnya capek. Kantongnya juga bobol.

Motivasi untuk menjadi Presiden dikalahkan oleh kondisi obyektif yang gak bisa dilawan. Jangan harapkan Prabowo pagi di Bogor, siang di Padang lalu malamnya sudah ada di Kalimantan seperti yang sering dilakukan Jokowi. Bawa badan sendiri saja sudah susah.




Sebetulnya, kelesuan sudah tempak sejak awal penentuan Capres dan Cawapres. Masing-masing partai pendukung Prabowo saling kunci untuk mendapatkan jatah Cawapres. Akhirnya, Prabowo berfikir simpel. Pilpres urusan belakangan yang paling penting adalah Pemilu Legislatif.

Dia gak peduli dengan partai-partai koalisinya. “Emangnya gue pikirin?”

Gerindra main sendiri. Capresnya dari Gerindra. Cawapres Gerindra. Ketua Tim pemenangan Gerindra. Toh, ujung-ujungnya semua biaya nanti dilimpahkan pada Gerindra. Partai lain hanya dibutuhkan rekomendasinya buat mendukung Capres-Cawapres. Setelah itu nafsi-nafsi. Urus diri masing-masing.

Sekalipun di media masih terkesan ada saling dukung, itu cuma dipermukaan saja. Di dalam mereka jalan sendiri-sendiri.

Lha, iyalah. Siapa yang mau kerja gratisan. Bagi partai-partai koalisi Prabowo, suara Prabowo hanya akan menambah suara Gerindra. Tidak untuk PKS, PAN apalagi Demokrat. Buat apa mereka kerja keras di Pilpres?

Lihat saja pasukan PKS kini lebih diarahkan untuk ngurusin Pileg. Demikian juga PAN. Demokrat malah membebaskan kadernya untuk mendukung Jokowi. Bagi oposisi, Pilpres 2019 ini cuma urusannya Gerindra doang.




Bukan hanya tidak menguntugkan secara politik Kemalasan partai-partai lain bekerja untuk Prabowo juga karena logistik cekak. Oli pergerakan mandeg. Sandi yang diharapkan bisa membawa bensin banyak untuk bahan bakar, nyatanya cuma bertindak jadi pengusaha. Modal sedikit mau dapat banyak. Kardus yang dijanjikan isinya juga cuma secuil.

Prabowo yang tahu gak mungkin bergerak kalau logistiknya cekak, akhirnya lebih memilih leyeh-leyeh. Malas bertemu masyarakat. Paling hanya sesekali saja keluar kandang, misalnya konprensi pers soal Ratna. Lalu masuk lagi.

Beberapa pengusaha kaos, topi, atau alat peraga kampanye lain sudah mencium gelagat ini. Kabarnya kini setiap order dari pasangan Prabowo-Sandi mereka minta uang muka 80%. Kalau gak dipenuhi order gak akan dijalani.

“Pengusaha konveksi sudah paham situasinya. Gak akan ada yang mau kerjakan orderan dari pendukung Prabowo-Sandi kalau DP-nya hanya 50%,” ujar seorang teman yang terbiasa mengerjakan pembuatan kaos kampanye.

“Gimana kalau order dari partai pendukung Jokow?” tanyaku.

“Sehabis pencoblosan, Jokowi tetap Presiden. Sampai Oktober. Jadi jauh lebih aman. Kalaupun DP hanya 25%, saya pasti ambil.”

Para pendukung Prabowo yang tidak berafiliasi dengan partai juga mulai teriak. Kemarau panjang. Berbeda dengan 2014 lalu dimana logistik dan biaya operasional melimpah. “Kali ini seret banget,” ujar mereka.

Wajar sih. Pada 2014 lalu Prabowo masih yakin menang. Mafia Minyak seperti Reza Chalid berdiri di belakang mereka. Pengusaha besar juga gak ragu-ragu menggelontorkan duitnya buat membantu Prabowo. Anggap saja menanam jasa. Tapi nyatanya toh, Prabowo keok sama Jokowi.




Nah, pada Pilpres kali ini, gak seperti dulu. Pengusaha yang mau bantu juga setengah hati. Buat apa membantu Capres yang sudah menyatakan kalah, meskipun tidak pernah diucapkan.

“Kok, kalah?”

Iya, coba lihat saja. Gerindra sama sekali tidak berbagi peran dengan partai lain. Semua mau digarap sendiri. Itu artinya tidak efektif untuk menambah suara Prabowo. Ke dua, kemalasan Prabowo keluar kandang itu juga indikasi yang nyata.

“Mungkin mereka mengandalkan Sandi? Buktinya Sandi yang keliling menemui orang.”

Sandi itu gak dikenal orang. Posisinya cuma Wagub DKI Jakarta. Sementara Indonesia itu luas. Dia harus menaikkan popularitasnya dulu. Balum bisa diandalkan untuk menggaet suara.

Makanya wajar saja kalau kelakuannya aneh. Segala pete dijadikan wig. Atau lompat-lompat. Tujuannya caper. Biar diomongin orang terus. Karena gak bisa memamerkan karyanya, akhirnya belagak gila. Atau ngomong ngaco.

Tujuan omongannya agar direspon oleh orang lain. ltu namanya dibicarakan. Apakah Sandi tahu harga Warteg di Jakarta lebih murah dibanding Singapura? Tahu.




Kenapa dia ngomong sebaliknya? Agar banyak orang yang merespon omongannya.

Apakah Sandi tahu belanja Rp100 ribu sudah mendapat bahan makanan berlimpah? Tahu.

Dia bicara belanja Rp. 100 ribu cuma dapat cabe-bawang dengan tujuan agar direspon dan diprotes orang. Dengan begitu namanya akan dibicarakan.

Sandi ini memainkan strategi mirip Ratna Sarumpaet. Ngomong sebakul untuk jadi perhatian orang. Belagak gila agar ditertawakan. Sama kayak anak kecil caper, kelakuannya aneh-aneh.

Ok, dalam kondisi seperti itu, kenapa Prabowo jadi pemalas seperti yang disampaikan Andi Arief?

“Orang malas mana mungkin naik ke puncak Everest. Iya, kan, mas?” ujar Abu Kumkum.

Dia melanjutkan. “Wajar kalau Prabowo gampang dibobongi nenek-nenek. Seperti kata pepatah malas pangkal bodoh…”




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.