Kolom M.U. Ginting: Cih ……

cih 5M.U. Ginting 2Gulai cih (siput sungai) adalah makanan tradisional Karo. Pastilah sudah ribuan tahun, selama adanya kultur dan budaya Karo. Sangat masuk akal bagi kehidupan Karo karena hidupnya yang selalu dekat dengan alam, hutan, sungai, bukit, pegunungan. Dari alam sekeliling ini juga muncul dialektika alam Karo, seperti pantarei Karo, ‘aras jadi namo, namo jadi aras’.

Orang Karo kuno sangat memperhatikan di mana ada lubuk dan aras sebuah sungai. Mencari cih (siput) selalu di bagian aras bukan di lubuk. Karena itu juga cih ini lebih bersih dan lebih nikmat rasanya.

Dari kontradiksi sosial dalam masyarakat maupun karena kontradiksi dengan alam itu sendiri, muncul juga dialektika pikiran ‘tes-antites-syntes’ Karo yaitu ‘seh sura-sura tangkel sinanggel’. Seperti halnya aras dan namo silih berganti dalam proses terus menerus aliran sungai. Sura-sura dan sinanggel juga silih berganti tak pernah berhenti dalam proses kehidupan.

Asyiik memang makan hidangan tradisi cih ini. Lebih asyik lagi kalau cihnya lebih kecil-kecil hehehe . . .  Cih lebih besar lebih disukai, tetapi tidak harus lebih nikmat.



Dulu kita menikmati karena kebutuhan. Tetapi di era modern kita bisa ubah dan menikmatinya sebagai ‘royal kuxury food’. Masakan cih hanya ada di Karo. Cara masaknya maupun  cara makannya dan menikmatinya hanya ada di Karo dan hanya orang Karo yang mengerti bagaimana caranya dan menikmatinya.

Punya seni dan pengetahuan tersendiri. Tetapi bukanlah seni dan pengetahuan yang susah dipelajari, sehingga semua kultur lain juga bisa bikin dan bisa menikmati.

Ini harus jadi bahan pemikiran bagi industri turisme. Nanamna ras adumna bisa selalu diubah dan dikembangkan sesuai dengan permintaan zaman. Makan cih ini akan jadi atraksi tersendiri yang tak ada bandingannya di kultur lain.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.