DALAM DEKAPAN REMBULAN DI TEPI SERDANG (KARO JULU) — Bagian 1

Laporan SALMEN KEMBAREN dari Karo Julu

Camping perdana ini dihantarkan oleh gerimis di tengah Purnama Raya padahal sudah beberapa hari tidak hujan di desa. Saya teringat dengan istilah peridi anak bulan atau mburihi anak bulan yang sama sekali saya tidak mengerti arti dan maksudnya sampai sekarang.

Yang jelas, sekemarau-kemarau panjang di desa ini, tatkala purnama tiba, sering mendapat gerimis tipis.

Mungkin karena tepat di tepi hutan di kaki gunung saja. Bulan itu ternyata indah karena ia memberikan cahaya yang ia dapatkan. Bahkan, tatkala ia Purnama, menyejukkan dengan mendatangkan embun yang membasahi bumi.

Kebanyakan warga Sumut saat mendengar Serdang tergambar dalam pikirannya Kabupaten Deli Serdang atau Kerajaan Serdang. Padahal, Serdang yang satu ini lebih tua dari Kabupaten Deli Serdang maupun Kerajaan Serdang.

Serdang adalah desa paling Timur (julu) di Kabupaten Karo (Bukan Taneh Karo ya). Posisi desa ini memiliki ketinggian dari 1100 – 1200 meter dari permukaan laut (mdpl). Sedangkan areal perladangan warga pada ketinggian 1200 – 1500 mdpl.

Tentu bisa Anda bayangkan betapa sejuknya hembusan angin pegunungan di sini.

Serdang tepat berada di kaki dua gunung atau sebutan setempat deleng, yakni Deleng Ganjang dan Deleng Simacik. Puncak tertinggi berada di Deleng Simacik sekitar 1950 mdpl.

Nah, karena berada di ujung Kabupaten Karo atau sebut saja Dataran Tinggi Karo (Karo Gugung), di sini terdapat tapal batas yang mempertemukan tiga kabupaten; Karo, Deliserdang dan Simalungun.

Meski terpisah secara administrasi, sesungguhnya masyarakat sekitar titik batas tiga kabupaten ini adalah Suku Karo. Rumah Liang dan STM Hulu di Kabupaten Deliserdang, misalnya, atau Tanjung dan Bawang di Kecamatan Silima Kuta (Kabupagten Simalungun) adalah desa-desa Karo yang berpenduduk asli Suku Karo.

Secara potensi, di atas 90% warganya bergerak di sektor pertanian. Warga di sana seperti warga Karo sekitarnya sangat terbuka terhadap perkembangan dan permintaan pasar. Tahun 1980an, misalnya, termasuk banyak petani cengkeh. Saya masih sempat melihat sisa tanaman cengkeh pada 1990an.

Tahun 1990an adalah era jeruk, sampai harus diakhiri dengan bencana lalat buah pada tahun 2000an. Tahun 2000an sampai 2020 adalah kejayaan kopi di sini dan harus berakhir dengan tragedi Covid 19 yang ditandai dengan harga gabah kopi terendah dalam era kejayaan kopi Karo, sekitar Rp. 14 ribu/Kg.

Pada masa pandemik, godaan menanam wortel adalah terberat di tengah kacaunya harga Kopi saat itu. Tak terbendung, akhirnya 80% lebih lahan kopi beralih menjadi lahan wortel hari ini. Namun, demikian tanaman sayuran lain juga cukup banyak dari Desa Serdang.

Beberapa warga juga mencoba peruntungan dari sektor lain. Sektor Pariwisata. Sektor ini adalah hal baru bagi warga. Meski hanya 20 menit perjalanan ke Kota Berastagi yang merupakan pusat wisata di Sumut sepertinya belum menarik hati warga untuk mencoba peruntungan baru tersebut.

Secara potensi begitu cukup, mulai dari pemandangan alam, hutan, sungai, air terjun, agrowisata, kuliner khas dan tradisional, pengobatan tradisional dan lainnya sangat mendukung menjadi desa wisata. Hanya saja, ini belum terhubung dan belum terbina. Saat ini baru sekitar 3 warga yang bergerak dengan membuat camping ground dan mulai kedatangan tamu.

Setiap Hari Minggu misalnya, bisa kita lihat orang-orang yang mengendarai trail menelusuri bukit-bukit dan hutan. Seharusnya ini dapat ditangkap sebagai peluang usaha oleh warga. Nah, di sinilah peran penting pemuda desa yang telah mengecap berbagai ilmu di luar untuk memberikan sedikit kontribusi.

Kontribusi yang kita berikan bisa saja hal kecil namun akan berdampak besar; baik ide, kehadiran maupun dukungan lainnya.

Kendala lainnya seperti desa lain yang hendak memulai bisnis pariwisata adalah infrastruktur dan kelembagaan. Terlebih dengan pengalihan dana desa ke penanganan Covid-19 maka pembangunan infrastruktur pendukung wisata sangat terhambat. Belum lagi secara kelembagaan mereka begitu membutuhkan dampingan dari dinas terkait dan NGO.

Hari berikutnya [Minggu 15/5], kami kedatangan Asosiasi Pengusaha Desa Indonesia dan Yayasan Desa Wisata Nusantara Cabang Kabupaten Karo. Mereka melihat potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata baru di Karo agar wisatawan tidak hanya mendapat udara sejuk saja tapi lebih dari itu.

Diskusi panjang untuk saling mendukung memberi kemajuan desa. “Edukasi lingkungan dan pertanian bagi wisatawan, pengembangan kuliner tradisional dan khas daerah begitu penting yang dikemas dalam konsep ecoedutourism”.

Jadi, ketika wisatawan datang, ia bisa menikmati keindahan alam yang masih asli, belajar dan bertukar pikiran terkait pertanian Karo dan mendapat kenangan dari makanan khas, hasil pertanian, kerajinan dan sebagainya.

Usai makan siang, awan mendung memenuhi langit sebagai pertanda kami harus mengakhiri diskusi “Bahagia dengan memberi” kali ini. Tepat ketika kami meninggalkan area camping hujan deras turun. Jagat raya tampaknya bahagia dengan memberi hujan bagi tanaman padi yang sedang “rumpah” di sana.

BERSAMBUNG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.