Oleh JUARA R. GINTING
Sekarang ini banyak orang Karo yang kenal ungkapan “Ginting Namo Rambe la panna kapak“. Ungkapan ini menjadi sebuah anekdot karena istilah “la panna kapak” bila diterjemahkan harafiah “tidak dimakannya kampak” atau “tidak memakan kampak”.
Padahal, maksud sebenarnya adalah “tidak mempan dikampak”.
Meski anekdot itu dikenal oleh banyak Orang Karo, saya yakin tidak banyak yang mengetahui asal usulnya bahkan banyak yang saya kenal merasa yakin ada Ginting Namo Rambe sebagai sebuah cabang merga Ginting seperti halnya Ginting Munte, Ginting Sinisuka, Ginting Sugihen, dan lain-lain.
Anekdot itu berasal dari seorang penjual obat bermerga Ginting. Dia mengaku Ginting Namo Rambe karena dia tinggal di Namo Rambe (Kabupaten Deliserdang) (Karo Jahe Sinuan Bunga).
Kalau saya sebut dia penjual obat, bisa-bisa orang mengasosiasikannya dengan tukang koyok. Memang, dia pintar bercerita dan cenderung “banyak omong”. Tapi, jangan samakan dia dengan penjual obat yang kebanyakan ceritanya kosong.
Obat yang dijual Ginting Namo Rambe ini laris sekali, terutama sembur yang menghindarkan anak-anak dari ngompol selagi tidur. Ibu saya sendiri sering membeli sembur dan kuningnya untuk salah seorang adik saya.
Dia menjajakan ramuan-ramuannya dengan mengendarai sepeda. Bila berhenti di suatu tempat, dia langsung bersuara lantang:
“Saya ini Ginting Namo Rambe, tidak [akan] makan [di]kampak!”
Jangan pikir orang-orang akan marah merasa dia “anggar jago” atau orang-orang ketakutan karena pikir dia menantang siapa saja bertarung senjata tajam. Orang-orang justru tersenyum atau malahan ada yang tertawa karena paham dia sedang melawak.
Sekian tahun kemudian. Ketika saya baru saja duduk di tahun pertama bangku kuliah (1981), saya berjalan di Jl. Veteran (Berastagi). Dari depan Bioskop Ria, dari kerumunan sebuah keramaian, saya mendengar suara lantang itu lagi.
Tapi, kali ini, dia tidak berkata apa-apa mengenai “tidak makan [di]kampak”. Saya dekati kerumunan itu. Saya lihat dia sedang mengusuk tengkuk ibu-ibu dengan minyak kusuk.
Dia “berkhotbah” tentang beban hidup sebagai ibu rumah tangga dan lain sebagainya hingga ibu yang diurutnya terkulai dibawa khayal. Entah karena kusukannya atau karena “khotbahnya”.
Entahlah. Aku hanya tersenyum.
“Memang kami Ginting ini selalu mengesankan para perempuan di profesi apa saja. Apalagi kalau ditemani minyak Karo,” bisikku dalam hati dan, saat ini, kubayangkan tunduk malu-malunya Anthony Sinisuka Ginting kalau dia sudah memetik satu poin hasil smash tajamnya.
Bibir menyimpan senyum mata tertunduk malu-malu, sambil mengelus-elus suttlecock mengambil posisi service berikutnya. Sekeliling berteriak “Ginting ….. Ginting ….. Ginting ….. Ginting …..”
Sampai nanti di youtube, Ting. Kita Ginting ini memang tidak makan [di]kampak, tapi soto babat dimakan ludes.