Kolom Boen Syafi’i: DEMO 98 DAN SAAT INI JAUH BEDA, MAS DAN MBAK MAHASISWA

Akhir tahun 1997, ekonomi ambruk sedunia, dan saat itu bukan hanya Indonesia yang mengalaminya. Tapi, dengan semangat baja dan etos kerja penghuni dunia, lambat laun banyak negara yang pulih kembali dari hantaman krisis ekonomi meskipun dengan langkah gontai dan terseok-seok jalannya. Celakanya, Indonesia kala itu adalah negara yang paling lambat penanganannya.

Mau bangkit ambruk lagi. Bangkit ambruk lagi. Begitulah seterusnya.

Kenapa lambat pemulihan ekonominya? Itu terjadi karena birokrasi ala preman yang diterapkan oleh rezim Soeharto Orba semasa berkuasa sangat masif dan menggurita. Hingga pada akhirnya membuat para investor banyak lari ke luar negeri.

Pengangguran di mana-mana. Penjarahan karena perut lapar tidak bisa dihindarkan lagi. Pejabat makan enak, rakyatnya menderita karena memang tidak adanya perhatian yang datang dari negara. Akhirnya, tanpa dikomando, demo pun meledak di mana-mana.

Ketidakpuasan atas sikap pemerintah Orba ditambah sikap otoriter serta represif membuat semakin bersemangatlah mereka menyuarakan aspirasinya. Jatuh korban dari mahasiswa, ya itulah puncak kebencian demonstran terhadap rezim yang sedang dihadapinya.

Belum lagi tragedi penculikan yang hingga kini tiada pernah diketemukan. Puncaknya, sebelum perhelatan Piala Dunia 1998 dengan Zinedine Zidane cs yang menjadi juaranya, Soeharto runtuh. Ya, 21 Mei 1998 adalah puncak karma yang telah digores oleh sang koruptor terkeji sedunia itu sepanjang masa.

Kemudian munculah reformasi. Dan Gus Dur, Megawati, SBY serta Jokowi adalah produk dari peralihan jaman yang berbiaya mahal dan tidak sedikit menelan korban.

Soeharto? Atas kesepakatan bersama, Soeharto pun urung diadili. Padahal Gus Dur dan Megawati sendiri adalah tokoh yang merasakan getirnya hidup di kala orang yang dimaafkan itu berkuasa. Soeharto pun bisa mati tenang, meski tangannya berlumuran darah dan nyawa.

Dikatakannya, 40 jam bekerja seminggu berarti 18 jam sehari (5 hari kerja). Padahal yang benar adalah 8 jam seminggu.

Dari sini kalian para mahasiswa itu bisa berkaca, bahwa demo yang kalian lakukan saat ini tidak ada seujung kuku pun dari apa yang dilakukan oleh seniormu dulu. Demo yang kalian lakukan saat ini hanyalah demi kepentingan manusia serakah yang haus kuasa, termasuk Cendana yang dulu pernah dijatuhkan oleh Rakyat Indonesia.

Demo yang kalian lakukan tiada urgensinya sama sekali. Karena perut rakyat tidak kosong dan bahkan masih bisa membeli kuota. Sudahi, dan baliklah ke kampus. Buatlah bangga Ibu Pertiwi ini dengan prestasi, bukan malah berperilaku anarki. Demo 98 dan demo saat ini yang kalian lakukan sangat jauh berbeda.

“Sampean kok bisa tau kalau Soeharto mati tenang, Cak?”

Lah? Yo jelas Soeharto bisa mati tenang toh Di Paidi? Wong saat mati, dia gak gerak apalagi berkata “Piye kabare? Disuruh tidur di luar rumah lagi toh karo bojomu?”

“Weladalah???”

Salam Jemblem..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.