Flash back ke pertengahan tahun 2017, tepatnya di bulan Agustus. Kala itu, jutaan netizen dihebohkan dengan pengeroyokan seorang laki-laki yang diduga telah melakukan tindakan pencurian alat elektronik berupa ampilifier milik sebuah mushola di Kota Bekasi. Miris, sang korban pengeroyokan bukannya malah diserahkan ke pihak kepolisian, namun para warga yang mabuk agama itu malah memilih untuk membakarnya hidup-hidup. Biadab.
Dan kemudian, di akhir tahun 2018 peristiwa itu terulang kembali.
Seorang pemuda yang diduga ingin menunaikan sholat tahajud di sebuah mushola, malah dikeroyok hingga tewas dan masih dituduh sebagai perusak interior di dalamnya. Mirisnya lagi, sang marbot malah mengumumkan “fitnahannya” lewat speaker mushola.
Sungguh tindakan kehewanan dan di luar batas perikemanusiaan. Dan, baru saja kemarin, ketua Rijalul Ansor Deli Serdang (Gus Muzani) malah dipersekusi dan dicaci maki oleh pengikut dari si ngustad Nur Sugik Raharja.
Padahal, sang ketua hanya datang sendirian, dengan maksut ingin bertabbayun dengan Nur Sugik perihal kenapa Islam NUsantara sering disesat-sesatkan olehnya. Suka tidak suka inilah sebagian cerminan Islam kita.
Pergeseran tatanan Islam yang rahmatan lil alaamin, toleran dan guyup rukun di Bumi NUsantara sudah mulai digerogoti oleh idiologis milik wahabi Saudi Arabia. Suka tidak suka pula, inilah efek dari doktrinasi para preman berjubah Ulama seperti si Riziek, Bahar, Tungkuzul, Dusnur, dll, yang jauh dari kearifan lokal budaya bangsa.
Seruan “ghirah” disalahartikan menjadi seruan untuk menebar hoax, kebencian dan perilaku kehewanan lainnya terhadap mereka yang berbeda. Maka jangan kaget bila di zaman sekarang terdapat manusia- manusia yang ibadahnya tekun, sering berjamaah, sering membaca Al Quran, namun mudah tersulut emosinya.
Miriss, radikal intoleran merajalela hingga merambah di kota yang konon katanya “istimewa”.
Ahsudalah.
“Pakne kota yang katanya istimewa itu kota apa namanya?”
“Hmmm itu lho Bune, Ibu kota Haiti dekate Nganjuk”.
“Wong Ediaaaaaan”.
Salam Jemblem..