Ekonomi Keluarga Petani Karo: Jangka Panjang atau Nasib-nasiban?

Friens Tarigankiranting.1.FRIENS TARIGAN. BARUSJAHE. Satu keluarga  yang tinggal di satu desa Kecamatan Barusjahe menikmati pahit getirnya masa-masa suram petani Karo saat ini. Keluarga ini memiliki 4 anak. Anak tertua sedang mengenyam pendidikan di sebuah universitas (Semester 8), anak ke dua kelas 3 SMA, anak ke tiga di SMP kelas 3 dan si bungsu mengenyam pendidikan di SD kelas 6. Sungguh masa-masa yang sangat sulit bagi keluarga ini membiayai kebutuhan anak-anaknya, belum lagi kebutuhan rumah tangga sehari-hari seperti makanan, iuran listrik/PAM dan belum lagi kebutuhan pulsa HP bagi keluarga tersebut.

Sebagai pemasukan, keluarga ini memiliki lahan pertanian seluas 5000 m2. Setengahnya (2500 m2) ditanami jeruk yang, sekarang ini, sudah hampir mati. Sebagian yang masih berbuah telah pula menjadi makanan lalat buah. Tanaman jeruk ini diselang-selingi (tumpang sari) dengan sayur-sayuran. Setengah lainnya dari lahan itu lagi ditanami kopi yang telah berumur 7 tahun.

Penghasilan keluarga ini bisa dibilang lumayan besar. Sayuran yang ditanamnya di sela-sela pohon jeruk, jika harga baik, bisa mencapai jutaan rupiah dalam 3 bulan. Sebagai contoh, untuk panen sayur pahit, jika panen mencapai 1 ton (1000 kg ) x Rp. 4.000 (harga cukup tinggi) bisa menghasilkan Rp. 4.000.000 selama 3 bulan. Untuk tanaman kopi, jika harga baik (Rp. 25.000 ) dengan panen 10 kg/ minggu x 4 minggu = 40 Kg x Rp. 25.000 = Rp. 1 .000.000/ bulan.

Jika dijumlahkan dari lahan keluarga tersebut seluas 5000 m2 diperoleh penghasilan rata-rata Rp. 1.350.000 + Rp.1.000.000 = 2.350.000 setiap bulan. Bagaimana dengan pengeluaran keluarga?

Biaya makan setiap hari paling sedikit Rp. 30.000 untuk satu keluarga kecil; sebulannya Rp. 900.000. Rekening listrik/PAM rata-rata Rp. 60.000/bulan. Pemakaian pulsa Hp rata-rata Rp. 50.000/ bulan untuk 1 ponsel. Jika dijumlahkan, maka pengeluaran keluarga tersebut sebesar Rp. 1.010.000/ bulan. Ini belum termasuk uang kos/biaya makan anak kuliah yang wajib setiap bulan, ongkos dan jajan anak SD sampai SMA serta untuk membeli keperluan lain seperti pakaian.

Dengan uang sebesar Rp. 1.000.000, apakah cukup untuk keperluan tersebut? Tentu tidak.

Pada masa-masa tanaman jeruk masih baik dan tanaman kopi keluarga tersebut masih berumur sekitar 4 tahunan, ceritanya pasti berbeda. Tanaman jeruk bisa memberikan penghasilan yang banyak dan tanaman kopi masih berbuah banyak. Pada saat itu, keluarga tersebut bisa membeli kendaraan roda dua dan membangun rumah. Belum ada anaknya yang kuliah jadi saat itu. Bisa dikatakan, saat itu, keluarga tersebut makmur. Bagaimana sekarang?

Ketika pengeluaran sudah sangat besar, penghasilan menjadi sangat kecil, apa yang terjadi? Beginilah keadaan pada umumnya  petani di Tanah Karo sekarang ini. Bagaimana jalan keluarnya?

Keadaan tersebut membuat petani harus berpikir keras melaluinya. Banyak petani melakukan peminjaman ke berbagai tempat seperti Bank, CU dan, bahkan, lintah darat. Banyak bank mengucurkan pinjaman kepada nasabahnya dengan bunga rendah dan sistem bunga tetap (flat) untuk perbulannya dengan biaya administrasi sekian persen. CU yang memberikan pinjaman kepada anggotanya juga dengan bunga ringan sistem bunga menurun serta biaya administrasi peminjaman.

Dengan adanya peminjaman, untuk sementara keluarga tersebut mendapat keringanan beban. Pada bulan-bulan selanjutnya, keluarga tersebut akan terbeban angsuran dan bunga setiap bulannya. Apabila hasil dari lahan pertanian tidak memuaskan, mereka akan lebih terpuruk lagi. Mau terus “berjudi” dengan naik turunnya harga pasar pertanian atau membuat perencanaan yang nilai “nasib-nasibannya” tidak terlalu tinggi?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.