Kolom Joni H. Tarigan: FILOSOPI KOPI DAN KARTU KUNING JOKOWI

Trending pembicaraan kopi di tingkat Nasional sepertinya semakin meningkat. Banyaknya acara festival kopi, baik tingkat daerah maupun tingkat nasional dapat dijadikan sebagai bukti. Di situs International Coffee Organization, pasar konsumen kopi juga semakin berkembang. Tidak hanya di Eropa dan Amerika, tetapi  pertumbuhannya juga sedang  terjadi di Asia.

Masih, tentang kopi, ada satu quote dari film Filosopi Kopiyakni “walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya”. Saya tidak bermaksud menabur kata tentang prospek kopi, walaupun saya sangat tertarik untuk melakukannya. Saya hanya ingin mencoba menuangkan sebagian pemahaman kopi ini untuk dipahami juga dalalam konsep pendidikan.




Tiwus menjadi nama produk kopi yang punya cita rasa spesial. Begitulah digambarkan dalam film Filosifi Kopi yang pertama. Tiwus, anak kesayangan pemilik kopi, telah meninggal. Akan tetapi rasa kasih sayang kedua orangtuanya, tidak pernah luntur. Abadinya kasih sayang itu diwujudkan dengan memberi nama kopi, yang mereka buat sendiri, dengan Kopi Tiwus. Mereka merawat kopi itu, sama seperti mereka merawat Tiwus ketika masih hidup.

Kopi, Tiwus, yang mempunyai cita rasa spesial, adalah hasil dari sebuah proses panjang. Ia diawali dengan niat baik yang teramat tulus. Ketulusan itu kemudian menjadi modal untuk memilih biji terbaik untuk dijadikan benih. Tanah dan sekitarnya pun disiapkan untuk menyemai biji menjadi benih. Ia disiram, dan dijaga. Ketika sudah tiba waktunya, benih yang tumbuh akan siap sebagai bibit kopi. Kopi yang terbaiklah yang akan ditanam.

Dengan tanah yang subur, serta lindungan pohon pelindung, kopi pun menghasilkan buah, setelah waktu yang lama. Kopi spesial tidak berhenti di situ saja. Nikmatnya kopi kemudian menjadi berbeda setelah disangrai dengan rasa. Mungkin sedikit ngawur, karena mengolahnya dengan rasa, kopi itu memiliki jiwa ketika diminum. Kopi nikmat tidak ada dengan sendirinya.

Kebiasaan saya kali ini terulang lagi, bukan menikmati kopi tentunya. Saya termenung, berjalan-jalan dalam alam pikiran. Saya melihat folosofi kopi ini memang pantas disematkan filosopi. Ia memiliki makna di balik nama kopi itu. Saya melihat filosofi kopi ini kedalam suatu proses menjadikan insan yang memiliki kualitas yang spesial. Menjadikan insan yang hidup dengan kesadaran bahwa ia adalah anugerah untuk menggandakan dan membagi anugerah itu. Proses itu, bagi saya, adalah  PENDIDIKAN.




Pendidikan, apakah itu sekolah? Atau jika mendengar pendidikan, apa yang secara spontan anda bayangkan? Apakah itu sebuah tempat? Ataukah itu adalah sebuah proses? Jika anda membayangkan tempat mungkin, tempat itu adalah sekolah. Jika anda membayangkan proses, maka itu bisa menyangkut rumah, sekolah, lingkungan dan masyarakat.

Kemarin malam di acara Mata Najwa- Trans7, tentang Kartu Kuning Jokowi, ada hal yang sangat serius saya perhatikan. Mungkin anda akan berfikir bahwa itu tentang politik. Saya memang senang dengan politik, tapi kali ini bukan itu yang mau saya tuliskan. Kegigihan Jokowi-Jk untuk membangun Indonesia? Bukan juga, walau saya memang respect dengan perjuangan mereka. Lalu apa lagi?

Cara mahasiwa mengkritisi pemerintah? Walau saya juga berharap agar mahasiswa bertindak nyata terhadap masyarakat, tapi bukan itu yang saya ingin kemukakan. PENDIDIKAN inilah hal yang sangat menarik bagi saya dalam acara ini.

Hal yang saya ingat dalam debat tadi malam adalah, bahwa hendaknya pemerintah menjadikan mitra kritis pemerintah. Berkaitan dengan keterlibatan mahasiwa agar mencium aroma keringat rakyat, mahasiswa itu menjawab dengan memaparkan kenyataan bagaimana mereka bisa menderita bersama rakyat, jika dalam proses akademis, mereka dipaksa sepanjang hari berada di kampus.

Atau, apakah ini merupakan sebuah design membungkam mahasiswa?

Tidak cukup di situ, seorang dosen yang hadir dalam cara itu mengatakan bahwa, konsep pendidikan perguruan tinggi dibentuk tanpa melibatkan para pelajar atau mahasiwa. Padahal yang menjalankannya kemudian adalah mahasiwsa. Dalam debat ini juga sangat jelas dipaparkan oleh Ketua BEM UGM, bahwa pendidikan itu dijalankan dengan logika kompetisi, dan hilangnya logika kemanusiaan, dan kemudian inilah yang membuat mahasiwa tidak mampu menjadi mediator antara negara dan rakyat.




Saya sangat yakin bahwa semua masalah ini berpangkal pada adanya proses yang tidak berjalan dengan baik. Proses itu adalah PENDIDIKAN. Jika dalam debat ini yang dibicarakan adalah pendidikan di perguruan tinggi, maka saya ingin sekali menyampaikan bahwa sebaiknya kita merenungkan kembali FILOSOPI KOPI. Bahwa  proses yang kurang baik itu harus kita lihat secara utuh. Dengan kata lain, untuk memperbaiki sistem pendidikan yang kurang baik di perguruan tinggi, tidak cukup hanya melihat perguruan tingginya saja. Kita harus melihatnya secara proses keseluruhan. Sama serperti kopi yang terbaik, maka perbaikan pendidikan itu harus kita mulai sejak dini.

Maria Montessori memandang bahwa setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk cerdas. Ia tidak tergantung dimana dan dari keturunan mana ia dilahirkan. Setiap anak juga terlahir merupakan sosok pejuang dan pembelajar. Seroang anak itu tidak cerdas atau tidak maksimal dengan anugerah yang ia miliki adalah karena talenta yang mati oleh orang dewasa. Matinya talenta itu karena orang dewasa mengekang kebebasan seorang anak untuk memahami kehidupan dan dunia ini.

Mahasiswa sedang melakukan penelitian lapangan.

Maria Montessori berkeyakinan bahwa pendidikan seharusnya berpusat pada anak. Guru berfungsi sebagai pengamat atau pengawas, sehingga kemudian membantu memaksimalkan pertumbuhan karakter,kecerdasan kerohanian, serta fisiknya. Seorang anak harus mendapatkan kebebasan untuk berkembang, akan tetapi ia juga harus paham bahwa kehidupan ini ada aturan mainnya. Benar dan salah dalam mendidik anak harus jelas, tegas, dan konsisten.

Jika saat ini kita merasa ada yang salah dengan pendidikan di negeri kita, ibarat kopi yang hanya pahit tanpa nyawa, maka cara terbaik untuk berjalan ke arah yang lebih beradap, agar generasi penerus bangsa ini memiliki logika kemanusiaan yang tinggi, maka jika dalam kopi yang pertama kali disiapkan adalah biji yang terbaik, dalam pendidikan dari rumahlah perubahan itu segera kita lakukan. Pendidikan pertama kali adalah di rumah. Jika kita hanya menuntut sekolah untuk melakukannya, maka tidak adil kita sebagai masyarakat berharap agar anak kita menjadi insan yang berkarakter.

Dalam prosesnya, sekolah dan rumah itu merupakan mitra untuk pendidikan yang konsisten. Agar nilai pendidikan yang konsisten itu menjadi karakter anak- anak kita, maka tidak banyak yang bisa kita lakukan ketika mereka di perguruan tinggi. Pendidikan sejak usia dinilah menjadi pondasi logika kemanusiaan itu. Jika mengacu kepada Montessori, maka  proses pembentukan pondasi itu mulai dari 0-12 tahun. Setiap periode juga memiliki bagian-bagian tertentu untuk bertumbuh maksimal.  Mitra antara sekolah dan rumah harus kuat dan konsisten pada usia kritis ini.




Saya mencoba memulai diskusi singat dengan rekan kerja saya, ketika makan siang  hari ini. Saya menanyakan apa yang dikethuinya tentang pendidikan usia dini. Rekan saya ini dengan jujur mengatakan bahwa ia belum banyak tahu. Ketika saya tanya tentang Montessori, ia juga tidak tahu. Akan tetapi ia menyadari bahwa ada ketakutan dalam dirinya jika tidak mendidik anaknya dengan benar. Apa yang dialami teman saya ini, mungkin, merupakan masalah bagi kita orang tua secara umum.

KITA BEGITU RIBUTNYA BERDEBAT TENTANG BANYAK HAL. KITA PROTES PENDIDIKAN YANG BURUK,HUKUM YANG TIMPANG, PEMERINTAH YANG TIDAK ADIL. AKAN TETAPI KITA LUPA ATAU TIDAK TAU BAGAIMANA MENDIDIK ANAK KITA DI RUMAH.

Apa  yang kita lihat saat ini adalah hasil dari proses pendidikan yang tidak membebaskan rasa kemanusiaan. Pendidikan yang kita jalankan justru mengekang rasa kemanusiaan itu dan merubahnya mejadi kebengisan.

AKANKAH KITA TERUS BEGINI? APAKAH KITA MENGHENDAKI ANAK KITA TERDIDIK??. MARI KITA RUBAH PENDIDIKAN ITU DARI RUMAH.

Dari rumah ia sudah bunya bekal pendidikan kebaikan, bekerjasama dengan mitra sekolah, maka lingkungan yang kita pandang suram akan berubah. Saya tidak menyampaikan bahwa sistem pendidkan itu tidak perlu ditata pemerintah, tetapi rumahlah tangga pertama pendidikan.

Salam semangat dan perjuangan.










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.