Kolom Aspipin Sinulingga: GAPURA MASUK KOTA MEDAN (SiruloTV)

Bobby Nasution awak pikir adalah Wali Kota Medan jaman baru yang penuh gebrakan dan visioner. Salah satu kebijakannya yang harus diapresiasi adalah ketegasan beliau memanageman sumber pendapatan daerah dari sektor pajak dan retribusi yang tegas tapi persuasif.

Kita sama – sama tahu, beberapa mal/ pusat perbelanjaan besar di Medan sempat disegel oleh Wali Kota Termuda di Kota Medan ini karena menunggak pajak.

Hasilnya, para pengusaha mal itu pun jadi patuh pajak dan berimbas positif pada pemasukan daerah sektor pajak. Begitupun keberanian satu – satunya mantu laki – laki Presiden Jokowi ini merevolusi perparkiran di Sumut dari manual dan dikuasai pihak ke tiga menjadi parkir elektronik dan sepenuhnya dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah.

Bukan perkara mudah mengambilalih satu aspek bisnis yang sudah puluhan tahun lamanya jadi salah satu sumber pemasukan utama bos – bos OKP dan Ormas di Kota Medan ini. Seluruh Indonesia tidak akan asing dengan lebel “Kota Preman & Kota Katua” bagi Kota Medan tercinta, dan Parkiran adalah bisnis madu bagi mereka – mereka yang hidup di jalanan.

Soal Banjir? Awak tegas nyatakan “bajingan” bagi persona atau pihak yang berupaya menyalahkan Bobby Nasution terkait banjir yang masih melanda Medan ketika hujan melanda. Apa terlalu buta mata mereka untuk melihat perbedaan jauh terkait intensitas hujan dan banjir?

Jangan membohongi diri sendiri dengan menyatakan Bobby Nasution gagal mengatasi banjir Kota Medan. Padahal faktanya dengan intensitas hujan yng deras dan sering, kini wilayah langganan banjir besar seperti Jl dr. Mansyur dan Gatot Subroto bisa terminimalisir bahkan tidak lagi mengalami banjir.

Lagi pula, soal banjir Kota Medan, Bobby Nasution layaknya diberi tugas menyembuhkan pengguna narkoba akut dari kerusakan psikis dan fisik secara sempurna. Ente kadang – kadang ente…..

Panjang lebar, awak takut ndak klimaks di inti topik yang mau awak bahas; Gapura Masuk Kota Medan.

Selayaknya Rumah, Gapura Perbatasan Kota adalah “pintu masuk” yang harusnya memberi informasi akurat bagi siapa pun yang akan memasuki Kota Medan. Kota pasti memiliki identitasnya sendiri, baik secara kultural maupun secara historis.

Lalu, jika kita analogikan sebagai persona, kira – kira Siapa Kah Kota Medan ini sehingga memasuki pintunya orang tidak akan salah memahami identitasnya?

Hal itu awak pikir menjadi dasar bagi Bobby Nasution untuk membangun dan melanjutkan pola kepemimpinan visionarinya yang sangat harus diapresiasi. Memutus kekeliruan dan penyimpangan dengan sistem dan sikap yang jujur serta terbuka adalah prestasi besar yang mungkin tidak akan kita dapatkan 10 tahun ke depan dari seorang Walikota seperti Bobby Nasution.

Jika masuk ke Tarutung, Balige, Sibolga kita akan segera tahu bahwa kita sedang berada di Tanah Batak. Jika masuk ke kota Padang kita akan segera sadar, akh ini Ranah Minang

Lalu ketika masuk ke Kota Medan identitas apa yang seharusnya dengan penuh kejujuran harus kembali kita persembahkan ke permukaan?

Akh, Pemko Medan pasti punya koleksi foto-foto Kota Medan era 1950 – 1970an. Bobby Nasution bisa lihat itu dan kembali menata Kota Medan tercinta dengan simbolitas aslinya demi kejujuran hakiki. Kan tidak etis, menegasikan pemilik demi mengakomodir ambisi pihak tertentu untuk sebuah eksistensi yang bermuara ambisi hegemoni tak beretika.

Setidaknya Bobby Nasution sudah menyaksikan sendiri, Hari Ulang Tahun Kota Medan dirayakan dengan pagelaran Merdang Merdem Kota Medan di depan Istana Maimun, dan Pak Walikota disambut dengan salam Mejuah – juah serta sapaan Ahoii, sekaligus disemati Tanjak Melayu Deli dipadu Uis Beka Buluh Karo.

Pak Wali juga bisa menatap sosok besar di Patung Tugu Guru Patimpus yang berada sangat dekat dengan Kantor Pak Walikota dan Bapak – bapak Dewan Kota Medan. Bahwa Tugu itu sendiri menjelaskan secara gamblang dan kongkret identitas Kota Medan yang harus di tunjukan secara jujur.

Toh Lapangan Merdeka Medan jadi saksi, pembacaan Proklamasi Kemerdekaan NKRI Kota Medan dikawal Panglima Rakyat Bernama Mayor Selamat Ginting yang sampai detik ini sama sekali tidak mendapat apresiasi selayaknya Sisingamangaraja di depan Teladan yang faktanya: TIDAK PERNAH BERJUANG UNTUK KOTA MEDAN.

Ini rasis? Ini primordial? Ini Chauvinism? Jika pun iya, ini lebih baik daripada harus jadi manipulator kebenaran sejarah. Lebih baik daripada harus jadi pemberangus identitas kultur asli demi ambisi eksistensi. Lebih baik dari pada TIDAK BERETIKA.

Hanya ada dua pilihan Bobby Nasution ketika merencanakan pemugaran kembali Gapura Masuk Kota Medan:

1. Mendasarkan pada Pruralism Metropolitan Kota Medan atau

2. Menekankan pada aspek historis dan kultural Medan sebagai Indentitas Kota Medan.

Jika pilihannya jatuh pada perspektif yang pertama, maka Gapura Kota Medan harus mampu mengakomodir semua pihak yg menghuni Kota Medan tanpa ada penonjolan salah satu kelompok.

Misalnya, sapaan Horas di Gapura Kota Medan bagian manapun jika dimuat, harus tidak lebih besar dan di depan sapaan Ahoi, Mejuah – juah, Yahowu, sapaan etnis Jawa, Tionghoa, dan India di Kota Medan.

Jika perspektif yang ke dua jadi acuan, maka jelas Gapura Masuk dan Keluar Kota Medan harus secara tegas menyambut siapa pun yang datang dan masuk ke Kota Medan dengan Sapaan Mejuah – juah dan Ahoi (Kebetulan Pilar Gapura Kota kan ada dua, sesuai dengan dua salam Kota Medan yang Seharusnya dipakai).

Terakhir, jika perspektif sejarah dan kultural yang dijadikan acuan, Gapura dan Tugu-tugu Kota Medan harus memuat identitas kelompok: Karo, Melayu Deli, Tionghoa, dan India sebagai empat Kelompok yang berkontribusi membangun cikal – bakal Kota Medan saat ini.

Awak yakin, Bobby Nasution sosok yang jujur dalam bersikap.

Mejuah-juah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.