Gereja dan Budaya Lokal (2)

Oleh: Bastanta P. Sembiring (Medan)

 

gereja 3
Stasiun lama (kiri) dan stasiun baru (kanan) di Delft

bastanta

Seiring dengan berkembangnya gereja dan pemahaman teologis yang dianutnya, maka tak jarang pemikiran-pemikiran untuk mempertentangkan keberadaan budaya dalam tubuh gereja muncul dan semakin hari semakin keras.

Ada yang beranggapan ini imbas dari tumbuh dan bangkitnya semangat dan kesadaran iman, yang mana kekafiran yang menodai tubuh gereja, salah satunya adalah tradisi lokal, dianggap harus dihindari bahkan sebisa mungkin dilenyapkan dari sekitar gereja, agar semua umat tidak tersesatkan lagi oleh kekafiran tersebut.

Namun, pertanyaannya, benarkan ini kebangkitan iman? Atau hanya alasan untuk menutupi kelemahan dan kegagalan gereja dalam merangkul dan menyempurnakan budaya lokal, serta menguatkan iman jemaat? Atau, kedewasaan iman yang masih dangkal imbas dari kekristenan yang terkesan pragmatis, sehingga yang bukan saya adalah setan?

Kini kereta lokomotif uap dengan bahan bakar batu bara diganti dengan lokomotif listrik yang lebih kencang walau masih juga melaju di atas dua rel yang sejajar. Demikian juga halnya gereja konservatif yang dianggap lamban karena terlalu memikirkan harmonisasi dengan budaya dan alam dianggap lamban dalam proses kristenisasi dunia, sehingga harus diganti dengan gereja baru. Inilah salah satu alasan lahirnya aliran-aliran dan reformis gereja.


[one_fourth]Lokomotif listrik dengan dua rel tadipun kemudian di-upgrade[/one_fourth]

Gereja baru inilah yang seringkali berusaha keras memisahkan Injil dan budaya dalam mengartikan keselarasan antara gereja dan budaya, sehingga para reformis yang terus haus dengan kemurnian gereja berinovasi dalam doktrin dan ritual untuk benar-benar mentiadakan unsur budaya dalam tubuh gereja. Lokomotif listrik dengan dua rel tadipun kemudian di-upgrade dengan kereta listrik mono rel (rel tunggal) agar dapat melaju lebih kencang dan cukup berdiri di atas satu rel saja, yakni gereja yang hanya berbicara soal ketuhanan.

Cuma, muncul kembali pertanyaan. Benarkan kereta itu akan dapat melaju lebih kencang dengan aman di atas satu rel saja? Dan, nyamankah jemaat yang terbiasa duduk di atas bangku kereta dengan dua rel tetapi kini harus duduk di atas kereta dengan rel tunggal? Jika kita kembali ke masa-masa kejayaan gereja Khatolik-Roma dan juga gereja Asia hingga memasuki Abad 15 dimana kemerosotan itu terjadi, maka benarkah gereja ini menuju kemajuan atau hanya mengulang cerita lama dan kemudian suatu saat harus kembali dari titik dasar lagi?

BERSAMBUNG


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.