Kolom M.U. Ginting: KASUS HAM MASA LALU

M.U. Ginting 2HAM 3Usaha Pemerintahan Jokowi menuntaskan 7 kasus HAM, yang masih jadi beban berat negeri ini, merupakan usaha terpuji tingkat tinggi yang pernah terjadi di Indonesia. Ada 7 kasus yang tersisa: Kasus-kasus Talangsari, Wamena, Wasior, penghilangan paksa orang, peristiwa ‘Petrus’, peristiwa G30S, kerusuhan Mei 1998.

Pemerintahan sebelumnya belum berani mengkedepankan 7 soal HAM ini. Sebabnya, berbagai hal yang belum matang dalam pikiran penguasa dan juga belum matang dari segi situasi dunia maupun tingkat perkembangan kesedaran dunia yang dipahami oleh elit politk dan penguasa pemerintahan sebelum Jokowi.

Diantara 7 kasus berat itu, yang paling sering diingat orang walaupun paling lama ialah korban G30S. Ini tentu tak lepas dari jumlah korban yang paling banyak dan juga tak terpisahkan dari penggulingn pemerintahan Soekarno sebagai founding father dan juga Bapak Proklamator Kemerdekaan RI.

Dalam benak orang banyak, G30S terkait nama-nama seperti Letkol Untung, PKI, Sam, CIA, China, USA dan Inggris. Rusia (Soviet) tak diikutkan karena ketika itu orang-orang komunis lain (pengikut China) sejak awal tahun 1960an telah mencap Soviet sebagai ’revisionist’ atau ’jalan damai’ dalam melaksanakan revolusi proletar dunia. China cs menuduh PKUS (Partai Komunis Uni Soviet) merevisi jalan revolusi Marx, Lenin, Stalin dan Mao Tze Tung menjadi revolusi jalan damai.

Karena itu, yang disangkutkan sangat berat dalam G30S ialah pemerintah China (bukan Soviet), termasuk dikaitkannya dengan Hari Kemerdekaan China.

Kontradiksi Pokok dunia ketika itu ialah kontradiksi 2 blok; Blok Barat dan Blok Timur. Semua kontradiksi lainnya mengabdi kepada kontradiksi pokok ini. Mana yang adil dan yang tidak adil tergantung berada di pihak mana dalam dua blok itu. Soal keadilan ketika itu sangat memihak, walaupun keadilan mestinya universal bagi keamanusiaan.

Sekarang, kontradiksi pokok dunia ialah perjuangan untuk keadilan. Karena itu, soal keadilan sudah bisa dicapai dengan pemikiran bersama. Tidak lagi per Blok Barat atau Blok Timur. Itulah juga yang memungkinkan sekarang membikin penilaian yang ’adil’ dalam soal-soal HAM berat di masa lalu. Tak terlihat lagi kepentngan membela Barat atau Timur, karena Kontradiksi Pokok dunia sudah berubah.

“Intinya, bagaimana supaya kasus pelanggaran berat HAM ini bisa tuntas sehingga semua selesai dan tidak perlu saling mengadili satu sama lain”. Dan, juga, “Beban harus berakhir agar tidak jadi warisan setelah kita,” ujar Jaksa Agung Prasetyo.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.