Kolom Eko Kuntadhi: HATI-HATI ANGKAT PAHLAWAN

Saban tahun, biasanya tepat Hari Perayaan Kemerdekaan 17 Agustus, pemerintah kerap menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada orang yang telah berjasa bagi bangsa. Tujuannya jelas bahwa bangsa kita sangat menghargai para pendahulunya. Orang yang keringat dan darahnya mengalir menjadi pondasi bagi bangsa ini.

Setiap tahun juga, Keluarga Sultan Hamid Alkadrie II, seorang pemegang Kesultanan Pontianak, mengajukan nama ini untuk diangkat sebagai pahlawan nasional.

Tapi, tentu kita harus hati-hati juga menelusuri jejak sejarah, agar tidak salah mengangkat orang. Sebab pada akhirnya anak-anak muda harus tahu siapa yang benar-benar berjasa pada bangsa ini. Dan siapa yang belum cocok diangkat sebagai pahlawan.

Mengenai usulan itu, Prof. Hendropriyono, misalnya, mengingatkan bahwa sangat tidak tepat jika pemerintah pemberikan anugerah pahlawan nasional kepada Sultan Hamid II. Menurutnya, karena peran Sultan Hamid II justru pernah berseberangan dengan para pejuang kemerdekaan RI.

Pandangan Prof Hendroproyono ini sesuai dengan apa yang pernah dikisahkan Hamengkubuwono IX, saat memegang tampuk Menteri Pertahanan RI. Raja Jogja itu naik sebagai Menteri Pertahanan menggantikan posisi Sultan Hamid II.

Sultan Hamid II

Hamengkubowono IX mencurigai Sultan Hamid II lebih berafiliasi kepada Belanda daripada NKRI.

Memang, ketika Indonesia masih bayi, gejolak masih kerap terjadi. Di militer misalnya, ada tarik menarik apakah TNI yang dilebur ke KNIL buatan Belanda. Atau jusrtu KNIL yang harus dilebur dalam TNI. Sultan Hamid II sebagai Jenderal KNIL menginginkan TNI yang harus mengikuti organisasi KNIL.

Tarik menarik ini sepertinya lumayan kuat. Sampai pernah ada rencana aksi penyerangan terhadap rapat Kabinet yang tujuannya untuk membunuh Hamengkubuwono IX dan beberapa petinggi lainnya.

Penyerbuan direncanakan akan dilakukan pasukan Westerling. Belanda memang masih berharap dapat menguasai Indonesia.

Nah, dalam penyelidikan saat itu, Sultan Hamid II dicurigai terlibat. Ia ditangkap dan ditahan 10 tahun penjara.

Model Sora Sirulo: Re Keliat

Pertanyanya kemudian, bagaimana mungkin Indonesia menyematkan status pahlawan nasional kepada orang yang pernah ditahan oleh pemerintah Indonesia sendiri, dengan tuduhan penghianatan?

Apa yang diingatkan Prof. Hendropriyono hanyalah sekadar warning agar bangsa ini tidak salah jalan. Bayangkan ketika anak-anak sekolah membaca sejarah bangsa dengan klir. Lalu mengetahui bahwa seorang yang pernah terbukti hendak berkhianat diangkat menjadi pahlawan nasional.

Sialnya, ketika peringatan itu disampaikan Prof. Hendropriyono, justru dia dituding rasis hanya karena mengingatkan agar bangsa ini tidak salah mengambil keputusan. Iya, Sultan Hamid II adalah warga keturunan Arab.

Karena itu juga Prof Hendro dituding rasis. Padahal bukan soal keturunan siapa, tapi peran sejarah yang sedang didiskusikan.

Musikalisasi puisi Chairil Anwar: SIA-SIA (Mampus Kau Dikoyak-koyak Sepi)

Saya rasa peringatan seperti itu penting agar kita gak salah jalan. Bagaimana mungkin, kita punya pahlawan nasional yang justru terindikasi sebagai boneka Belanda. Repot banget kan…

Saya sih, setuju. Sebaiknya bangsa ini kalau mau menganugerahkan orang sebagai pahlawan. Sejarahnya yang klir-klir saja. Jangan yang abu-abu. Apalagi buram…

Model Cover Photo: Re Keliat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.