Ilmu Pengetahuan dan Demokrasi

Oleh: Dedy Nur ST

Caleg DPR RI no 2 PSI Dapil Bali

Andi Safiah500 tahun lalu, ketika peradaban manusia di Eropa masih di bawah kendali otoritas keagamaan yang sangat kuat dan punya segalanya dalam urusan pembungkaman atas kebenaran, orang-orang tercerahkan seperti Copernicus harus bermain sedikit cerdik dalam urusan pengetahuan. Soalnya, pengetahuan yang berseberangan dengan dogma yang beredar pada zaman itu jelas adalah sebuah pelanggaran serius yang efek sampingnya bisa membuat nyawa anda terancam hilang. Tapi ancaman itu tidak membuat takut orang-orang tercerahkan terus bermunculan secara alamiah.

Bisa jadi, itulah sifat alami dari species manusia.

Mereka adalah mahluk yang penasaran terhadap hal-hal yang mengusik akal pikirannya. Dari sanalah Ilmu Pengetahuan lahir, sifat penasaran dan rasa ingin tahu yang begitu besar yang membuat orang-orang seperti Copernicus berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental.

Penolakan diam-diam seorang Copernicus atas keyakinan manusia pada saat itu bahwa bumi adalah pusat dari alam semesta adalah semacam sinyal bahwa bisa jadi apa yang diyakini oleh manusia pada umumnya adalah sesuatu yang keliru. Berangkat dari hasil observasi beliau terhadap “heavenly body” dengan menggunakan perangkat science sederhana, bahwa bisa jadi bumi hanyalah sebuah planet biasa yang jumlahnya begitu banyak di luar sana.

copernicus 1

Asumsi sederhana seperti itu jelas pada zamannya akan menjadi persoalan serius karena, secara terbuka, bisa dicap menantang otoritas keagamaan yang berkuasa secara absolut dalam urusan klaim kebenaran. Tanpa stempel dari agama bisa dinyatakan tidak sah sebuah pengetahuan walaupun itu terbukti benar.

Bagi saya, yang hidup dalam ruang dan waktu yang berbeda, tentu saja membaca sejarah tersebut memahaminya sebagai sebuah tindakan yang sangat berani. Bahkan jejak-jejak mental sejarah 500 tahun yang lalu masih beredar hingga dewasa ini. Pertentangan antara ilmu pengetahuan dan klaim agama masih menjadi polemik yang belum beres. Ketidakberesan itu saya kira akibat kesalahpahaman yang diwariskan secara konsisten turun temurun. Padahal, 2 elemen ini berkerja pada 2 wilayah berbeda.

Pada posisi itu, demokrasi kemudian muncul menawarkan sebuah pendekatan agar kedua elemen tersebut bisa dijembatani secara terbuka di atas prinsip-prinsip “Kebebasan, Kesetaraan dan Pemahaman bahwa kita adalah saudara dalam DNA Homo Sapiens” walaupun sepanjang sejarahnya perbedaan cara kita dalam memandang realitas telah menjadi semacam “pemicu” atas konflik yang tidak penting dan, parahnya pula, itu terus menerus kita lakukan secara berkala.

Dalam pandangan saya pribadi, kebencian yang sering dijadikan alat propaganda politik atas golongan yang kita cap berbeda adalah pola mental berulang yang sebenarnya bisa kita jawab jika saja kita mau membuka diri atas berbagai kemungkinan yang eksis di luar kesadaran kita; bahwa dogma, doktrin telah membatasi cara pandang kita terhadap realitas yang beredar dalam peradaban manusia sejak lama.

copernicus 3

Ini bisa dijelaskan lewat pendekatan psikologi bahwa pada dasarnya manusia tidak ingin diusik ketika kesadarannya sudah nyaman berpelukan dengan sebuah konsep. Misalkan tentang keyakinan dimana sebuah entitas besar di luar diri kita yang terus menerus kita bayangkan, walaupun itu hanya eksis dalam imaginasinya sendiri.

Perbedaan itu sudah disadari sejak lama. Cuman saja, yang menjadi persoalan adalah gaya berkomunikasi kita yang masih terbatas dalam urusan-urusan yang dicap sensitif. Padahal, dengan membuka ruang dialektika seluas-luasnya terhadap topik “sensitif” tersebut, kita akan menjadi terbiasa merasakan pahitnya sebuah keyakinan yang selalu ditutup rapat.

Sementara kita sedang hidup dalam dunia dimana tidak ada satupun konsep yang bisa bersembunyi dari yang namanya critical thinking. Inilah zaman dimana, suka atau tidak suka, harus berani membuka diri atas informasi-informasi baru yang terus diproduksi oleh kesadaran manusia.

Kesimpulan saya simpel saja, bahwa yang kita butuhkan adalah masyarakat yang terbuka dan secara aktif mencari tahu informasi-informasi yang valid, sesuai dengan fakta dan masuk akal. Bukan informasi HOAX yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena ilmu pengetahuan dan demokrasi bisa dijadikan alat paling ampuh dalam melawan pembodohan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.