Cerpen: KAIN PANJANG MURAH

kain panjang murah 2

 

Oleh: Ita Apulina Tarigan (Surabaya) 

 

ita-13.jpg

kain panjang murah 2Orang-orang kampung seperti aku ini pasti punya kisah tersendiri tentang hal atau peristiwa di kampungnya, terutama kejadian yang tidak umum. Maksudku tidak umum adalah, peristiwa itu jarang terjadi atau mungkin hanya terjadi di kampungku atau kampungmu saja.

Cerita kampung yang sekali ini memang cukup berbekas di hatiku. Sebenarnya sudah lama sekali terjadi, tetapi sampai sekarang masih saja menjadi percakapan warga kampung, paling tidak dipakai sebagai pengingat agar kejadian serupa tidak terulang. Seperti biasa, kisah yang bertahan lama pasti soal cinta. Demikian juga kisah legendaries yang mau kuceritakan ini, kisah cinta. Soal berakhir bahagia atau tidak, kisah cinta manapun memang selalu menggetarkan. Begini ceritanya.

***

Bulan Mei. Sebentar lagi Maria akan tamat SMA, kata ibunya dia akan dikirim ke Yogyakarta meneruskan kuliah. Di pemandian sungai ibu-ibu sudah ramai membicarakan keberuntungan Maria. Pintar, cantik, orangtua berkecukupan dan akan bersekolah di Yogya. Bagi warga kampung di lembah ini mendengar kata ‘Yogya’ itu seperti buain mimpi. Kota yang menjadi cita-cita tetapi tidak pernah terwujud.

Menurut, bapak-bapak yang sering membaca koran di kedai kopi, Yogya itu kota terpelajar, orang yang tinggal dan bersekolah di sana pasti jadi pejabat, kalau anak perempuan pasti dinikahi pejabat atau anak orang kaya. Bisa memperbaiki derajat sosial. Soalnya, yang mampu pergi dan tinggal di kota itu pasti orang-orang kaya juga. Kesimpulannya masa depan cerah ceria. Dan, Maria adalah orang yang beruntung menjemput hari depan itu.


[one_fourth]Nande Maria selalu sinis terhadap kedatangannya[/one_fourth]

Semua orang bersemangat membicarakan keberuntungan Maria. Bagaimana tidak, anak-anak lain paling jauh bersekolah ke Medan, itu saja sudah dramatis. Kebanyakan dari mereka setamat SMA harus membantu orangtua ke ladang, setahun atau dua tahun kemudian akan menikah. Maria akan menyeberang lautan, ke Pulau Jawa. Di antara keriaan ini, ada seorang yang gelisah dan tidak suka dengan keberuntungan Maria. Baginya, jika Maria pergi maka cita-citanya untuk hidup berumahtangga dengan Maria hanya tinggal mimpi. Sebenarnya gejala ini sudah lama dirasakan Johan, sejak tahun baru Nande Maria selalu sinis terhadap kedatangannya. Kadang-kadang dia menyela diantara mereka berdua dan berkata: Johan, agindu Maria ini sebentar lagi tamat SMA dan ikut ujian, biarkan dia belajar supaya lulus dan bisa kuliah. Lalu, Johan dengan dada kempis hanya bisa menyahut bodoh: Ue, Mami.

kain panjang murah 3Semakin memikirkan keberangkatan Maria, semakin gila rasanya Johan. Dia sudah habis akal membujuk gadisnya agar mengurungkan niatnya pergi kuliah. Walaupun Maria sudah bersumpah setia akan kembali kepadanya, bagi Johan itu mustahil. Dulu Johan sempat mencicipi sekolah di kota, walau cuma sampai kelas 2 SMA. Dia tahu, begitu sampai di Yogya, Johan terhapus sudah dari kepala Maria, walaupun saat ini Maria sungguh-sungguh mencintainya. Tidak, tidak bisa. Aku tidak bisa. Berkali-kali kepala Johan berbunyi.

Di atas uruk di pinggir kampung, akhirnya Johan memutuskan akan membujuk Maria terakhir kalinya. Jika dia masih menolak, Johan ikhlas diputus, ikhlas ditinggal. Ya, malam ini harus selesai, pikirnya sambil menyusuri punggung senja di uruk itu. Malam itu mereka bertemu di teras rumah Maria. Johan mengatakan supaya Maria menimbang lagi keputusannya dan bersedia menikah dengannya. Dengan jelas dan lancar Maria menjawab:”Tidak bisa bang, nande sudah memutuskan aku harus kuliah dan menurutku juga begitu. Kalau abang memang mau menikah, menikah sajalah, aku tidak bisa.” Johan hanya ternganga dengan hati yang luka, tetapi dengan garang dan tegar dia mengucapkan selamat tinggal dan berjanji akan mengabari dan mengundang Maria ke pernikahannya.


[one_fourth]Berdua di atas uruk, berpelukan, berciuman dan Johan …[/one_fourth]

Bulan Agustus. Maria lulus dan mempersiapkan keberangkatannya ke Yogya, Johan sudah menjalani upacara Ngembah Belo Selambar dan akan menikahi impalnya. Maria sudah menerima undangan. Diam-diam, di dalam kamarnya Maria sering menimang-nimang undangan pernikahan kekasihnya, teringat masa-masa bahagia mereka. Berdua di atas uruk, berpelukan, berciuman dan Johan yang selalu menyukai wangi rambutnya. Diam-diam bertemu di pasar kampung, makan mie sop dan Johan menghadiahinya jepit rambut dan bando berbunga. Maria makin terisak, semua sudah terlanjur. Dia sudah memutuskan Johan, sudah memutuskan jalan hidupnya sendiri.

Lusa, bersama pemuda pemudi kampung mereka akan hadir di jambur di malam Nganting Manuk pernikahan Johan. Mereka mengolok-olok jika dia tidak hadir. Apakah dia akan kuat menatap Johan di pelaminan. Sambil berlinang air mata, Maria memilih sarung dan baju yang akan dikenanakannya. Aku harus bisa bisiknya menguatkan hati.

Foto: Yanta Surbakti (Katengah TEgun Sinatap)

Setiap upacara pernikahan, kampung pasti meriah. Anak-anak seolah bebas dari segala aturan karena orangtua mereka sibuk membantu persiapan upacara atau cepat-cepat mengerjakan urusan ladang dan ternak agak tidak ketinggalan. Demikian juga aku, bersama teman-teman yang menjelang remaja kami menguping pembicaraan orang dewasa sekitar kami. Kadang-kadang kami ke dapur sekedar mengambil kuah gulai untuk menambah nikmat makan. Ketika makan malam mulai, Maria dan teman-temannya sibuk membantu membagikan makanan. Beberapa orang berbisik-bisik, beberapa menggodanya. Maria tidak berucap, dia hanya tersenyum kecut.

Minuman bergulir, musik dan tarian mulai digelar. Semua anggota keluarga kedua belah pihak sudah mendapat giliran menari, beberapa gadis mendorong-dorong Maria dalam barisan. Protokol acara mengacungkan mic, siapa yang menyanyi, teriaknya. Mereka terus mendorong-dorong Maria. Protokol menuju Maria.

“Lagu apa, permen?”tanyanya berwibawa.

“Kain panjang muraaaaahhhh,” teman-teman Maria koor serempak. Protokol mengkode pemain musik memainkan lagu yang diminta. Maria gemetar memegang mik.

Alunan musik dalam tempo Odak-odak berdentam-dentam dalam dadanya. Lupa syairnya, tidak tahu memulainya. Keringat dingin membasahi punggungnya. Intro sudah terlewati, Maria tetap bungkam. Teman yang berdiri di sebelahnya membantunya dengan suara pelan… kam ateku ngena, Ma Iting/ lanai ateku kita sirang/gia sibiakndu la ia senang/perbahan geluhku si la terpandang….

Maria terpaku. Dadanya berguncang, dengan terisak-isak tersedu-sedu dia berlari meninggalkan jambur. Semua orang terpana, musik berhenti. Hening bergelayut di langit-langit. Suasana semakin senyap, ketika tiba-tiba pengantin pria meninggalkan berlari pelaminan dan berteriak-teriak memanggil Maria. Suasana kacau balau. Aku dan teman-temanku juga ikut terpana, walau belum paham apa yang terjadi.

***


[one_fourth]Maria tidak pernah ke Yogya, hingga sembilan bulan kemudian …[/one_fourth]

Ketika aku dewasa, aku akhirnya mengerti malam itu Johan dan Maria meninggalkan kampung dan membuat keributan besar. Dua keluarga dekat akhirnya tidak bertegur sapa karena peristiwa ini. Di luar sana, Maria dan Johan menikah. Maria tidak pernah ke Yogya, hingga sembilan bulan kemudian dia kembali ke kampung bersama Johan dan melahirkan. Orangtua Johan sangat benci pada Maria si anak manja dan dianggap tidak cakap dengan pekerjaan rumah tangga dan ladang. Pertengkaran demi pertengkaran terus berlanjut, hingga suatu hari tatkala anaknya berulangtahun ke-3, Maria meninggalkan kampung dan menceraikan suaminya. Johan terguncang dan mulai suka bicara sendiri.

Kepergian Maria membuat suram lagi kampung kami. Banyak orang yang mengutukinya. Apalagi kemudian Maria menikah lagi dan Johan menjadi gila. Malam-malam sepi, Johan sering duduk di pinggir jambur dan selalu mengucapkan kata-kata yang sama. Katanya,”Begitu beratnya kita berjuang untuk bersama, begitu mudahnya engkau melupakannya. Nde.. padan..”

Kisah cinta mereka sering dikisahkan nandeku kepadaku. Katanya, jangan berpacaran, nande ingin kau jadi orang pintar, bersekolah. Lihat itu, apa kau mau menjadi seperti itu?

Pagi ini, Nande mengantarku ke stasion bis kampung kami yang akan membawaku ke Medan. Kulihat Johan berdiri memandang kosong. Dia menghirup rokoknya dalam-dalam. Seorang anak lelaki berseragam SMP menghampirinya, mengajaknya pulang.

“Pak, ayo sarapan, Bapak ditunggu Nini,” katanya sambil menggandeng tangan Johan.


2 thoughts on “Cerpen: KAIN PANJANG MURAH

Leave a Reply to Ita Apulina Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.