KARO BUKAN BATAK*

Oleh : Sada Arih Sinulingga

KARO Bukan Batak disingkat KBB pada akhir-akhir ini menjadi thema menarik dan viral di media sosial khususnya di group-group sosial media. Diskusi yang melahirkan perdebatan antara yang pro dan kontra masing-masing mempertahankan argumentasinya. Perdebatan di media sosial ini tentu juga meluas ke dunia nyata di kedai kopi, di jambur bahkan di rumah dan tempat-tempat lainnya.

Tidak saja di kalangan Karo namun sudah mendapat reaksi dari kalangan luar Karo itu sendiri, terutama dari orang Batak.

Pihak yang kontra KBB ada yang beranggapan membicarakan Karo Bukan Batak tidak urgen dan bahkan ada yang menuduh sebagai kegiatan sia-sia saja dan cenderung memecah belah persatuan Batak yang sudah terjalin selama ini, karena sejak lama sudah banyak di antara Suku Karo dengan Batak saling kawin.

Di lain pihak, bagi yang pro KBB yang juga dikenal sebagai penggiat KBB beranggapan bahwa KBB ini penting untuk dibicarakan atau didiskusikan karena KBB ini merupakan upaya pelurusan terhadap kekeliruan yang telah terjadi selama ini atas adanya pendapat atau anggapan dari kalangan luar Karo bahkan dari kalangan internal Karo itu sendiri yang mengatakan Karo merupakan “Batak atau sebutan Batak Karo”. Karo ya Karo, tanpa embel-embel Batak. Karo memiliki jatidiri sebagai identitasnya yang berbeda dengan Batak.

Kilas Balik Munculnya Gerakan Karo Bukan Batak (KBB)

Orang Karo juga tidak tau sejak kapan, atas dasar apa, sehingga dikelompokkan atau diklasifikasi sebagai orang Batak. Apabila dilakukan pengamatan di kampung-kampung asli Suku Karo di Tanah Karo, tidak pernah disebut sebagai Tanah Batak maupun Tanah Batak Karo, tetapi yang ada disebut sebagai Tanah Karo atau Taneh Karo. Tanah Karo sebagai teritorialnya orang Karo.

Penyebutan Karo sebagai Batak atau sub Batak berawal dari tradisi tulisan dalam buku-buku atau literatur yang dilakukan oleh penulis atau peneliti di dunia akademis secara liar dan belum teruji, atau masih bersifat asumsi-asumsi. Namun kemudian diikuti terus-menerus oleh penulis-penulis berikutnya, seolah-olah sudah sebuah kebenaran.

Sedangkan tulisan itu tentu tidak diketahui oleh kalangan Karo sendiri, kecuali sejak belakangan ini ketika orang Karo sudah mulai masuk sekolah. Pembatakan orang Karo berdasarkan Tarombo Siraja Batak yang ditulis oleh WM. Hutagalung dalam bukunya Tarombo Batak dohot Turi-turianna, terbit tahun 1926, tanpa disadari telah berlangsung masif dan sistematis sejak lama namun tidaklah diketahui oleh umumnya orang Karo.

Selain itu, dari sekian banyak organisasi yang mengatasnamakan Karo yang lahir oleh orang Karo sendiri tidak ada yang menyebut sebagai Batak atau Batak Karo, misalnya ada HMKI (Himpunan Masyarakat Karo Indonesia), PMS (Pemuda Merga Silima), KAMKA (Keluarga Muslim Karo), MAKA MULIA (Masyarakat Karo Muslim Indonesia), IMKA (Ikatan Mahasiswa Karo), ICK (Ikatan Cendikiawan Karo) dan lain -lain.

Munculnya gerakan Karo Bukan Batak juga tidak diketahui dimulai sejak kapan, hanya saja, setelah banyaknya kalangan Orang Karo yang terpelajar dan merantau menyebabkan adanya tumbuh kesadaran akan perlunya sebuah identitas sebagai jatidiri sukunya. Dirasakan ada kekeliruan atas sebutan Batak Karo atau sebagai Batak yang menunjukkan bukan kepada ciri identitas Karo, namun tertuju kepada kelompok masyarakat lain, yaitu yang dikenal sebagai Batak Toba dalam tulisan buku-buku dan disebut sebagai Batak oleh mereka yang asalnya dari Tanah Batak yang meliputi wilayah Toba, Samosir, Humbang dan Silindung.

Penyebutan sebagai Batak Karo terasa kabur dan janggal karena hal itu hanya menjadikan Karo akan hilang terkubur pada akhirnya.

Pada tahun 70-an, menurut Juara R. Ginting yang lahir dan besar di Titi Rante (Medan), yang di sekitarnya banyak ditemui tempat kos para mahasiswa, sesungguhnya sudah ada reaksi para mahasiswa saat itu dengan mendiskusikan Karo Bukan Batak, namun karena tidak ada media dan forum terbuka, sulit melakukan komunikasi dan tidak tersebar luas.

Pada tahun1980-an, muncul Jamalludin Tarigan. Saat itu beliau sebagai seorang tokoh Karo yang juga Anggota DPR RI dari Partai PPP. Beliau pernah melakukan konsolidasi serta mengumpulkan tokoh-tokoh Karo dan melakukan komferensi pers di Jakarta. Dia menyampaikan ke publik tentang jatidiri Karo bukanlah Batak. Kemudian oleh Drs Roberto Bangun seorang Tokoh Pendidikan, Pers, dan Tokoh Masyarakat Karo di Jakarta yang juga pernah sebagai Anggota DPRD DKI fraksi Golkar, pemilik Yayasan Pendidikan Bangun di Tanjung Priuk, juga pernah menuliskan dan menerbitkan buku yang berjudul “Mengenal Orang Karo”, terbit pada tahun 1989. Dia adalah jemaat GBKP saat itu.

Di dalam bukunya itu, Roberto Bangun menyatakan Karo Bukan Batak. Beliau juga melampirkan beberapa pernyataan Karo Bukan Batak oleh tokoh terkemuka Suku Karo di Tanah Karo maupun di perantauan, seperti dari Dr. Masri Singarimbun (Akademisi), Ingan Pulung Sinulingga (Kepala Desa Perbesi), TK Purba (Tokoh Masyarakat), H. Djamaluddin Tarigan (Anggota DPR RI), Drs. Teridah Bangun (Budayawan), HG. Tarigan (Akademisi), Biak Ersada Ginting (Budayawan), dan banyak lagi.

Selain itu, ada peristiwa pembatalan nama Tahura Sisingamangaraja XII di Tongkeh, Berastagi pada tahun 1988 yang ditolak karena dirasakan melukai hati Masyarakat Karo, karena Pahlawan Nasional Sisingamanga XII berasal dari Orang Batak bukan dari Orang Karo. Penolakan saat itu dilakukan besar-besaran oleh kalangan Karo dan pemuka Karo seperti Dalan Nggit Sembiring dikenal sebagai Nanggalutu yang seorang pejuang Karo angkatan 45, Mimbar Tarigan saat itu Ketua Pemuda Pancasila Kabupaten Karo dan lain-lain; dan kalangan Mahasiswa yang salah satunya adalah Joy Harlym Sinuhaji.

Pada tahun 1990-an, gerakan Karo Bukan Batak berlanjut diskusi di internet melalui Yahoo Group oleh Juara R Ginting di Belanda, Malem Ukur Ginting di Swedia, Pa Canggah Ginting di USA dan lainnya. Kemudian pada tahun 2010-an berlanjut di Facebook melalui group-group FB seperti group Sapho Holand, Jamburta Merga Silima, Rumah Masyarakat Karo dan lain-lain.

Dari diskusi-diskusi di dunia maya ini telah melahirkan keberanian yang luar biasa oleh 5 pemuda Karo, yaitu Alfonso Maranatha Ginting, Aspipin Sinulingga, Adi Surbakti, Iwa Brahmana dan Edison Gerneng yang mengatasnamakan Forum Runggu Masyarakat Karo (FRMK), dengan membentangkan spanduk Karo Bukan Batak di beberapa titik strategis di seputar Kota Medan

Diskusi-diskusi ini kemudian melahirkan banyak pegiat KBB, seperti Bode Haryanto Tarigan, Joy Harlim Sinuhaji, Edi Sembiring Meliala, Paulus Jepe Ginting, Wara Sinuhaji, Adrianus Terulin Ginting, Elkana Gurusinga, Cinor Kaban, Pengulu Barus Pinto, Pati ginting Sugihen, Muksin Alatas Sitepu, Serpis Karo Karo Kaban, Pranoto Pandia, Sabari Barus, Raidi Barus, Agnes Ginting, Jonathan Tarigan, Donny Putra Penawar Bangun, Nuansa Kaban, Timotius Ariesta Purba, Suyato Tarigan, Julius Randi Sinulingga, Heston Sinuraya, Sri Ulina br Karo dan lainnya.

Karo Dengan Batak Tidak Memiliki Hubungan Kontiniutas

Dalam aktifitas budaya secara nyata di tengah-tengah warga Suku Karo, sebenarnya tidak ada hubungan kontiniutas antara Karo dengan Batak. Tidak ada kesinambungan keduanya dapat kita lihat misalnya:

  1. Dalam Perkawinan Orang Karo Dengan Orang Batak

Apabila Orang Karo dengan Orang Batak saling kawin, maka harus dilakukan dengan dua adat. Tidak bisa dilaksanakan hanya dengan cara salah satu adat, baik adat Karo atau adat Batak (Toba / Batak Toba) atau alternatif lain seperti gabungan kedua tata cara perkawinan itu.

Jika hanya satu adat, misalkan adat Karo saja yang dilaksanakan, maka perkawinan itu hanya sah dan diakui di Suku Karo saja dan belum atau tidak sah secara adat Batak. Demikian juga sebaliknya.

Jika benar Karo itu adalah Batak, maka seharusnya tidak terjadi seperti kebiasaan yang ada di tengah masyarakat yang harus dilakukan dua adat. Selain itu, tempat pesta bagi orang Karo wajib dilaksanakan di tempat pihak perempuan. Karena bagi Orang Karo, pihak pria yang datang dan pantang pihak perempuan datang ke pihak pria. Sedangkan pada masyarakat Batak, tempat pesta di tempat pria, walaupun bisa juga di tempat perempuan.

Berbeda dengan perkawinan antar Karo dengan Karo. Walaupun beda wilayah, misalnya antara Orang Karo dari Deliserdang menikah dengan Orang Karo Dairi (Tiga Lingga), tetap dilaksanakan dengan satu cara, yaitu adat Karo.

Coba saja kita bayangkan bagaimana suasana kondisi alam dahulu yang memisahkan antara Orang Karo yang di kampung Gunung Merlawan di Karo Jahé (Deliserdang) dengan orang Karo di Batu Erdan Tiga Lingga (Dairi) yang jaraknya cukup jauh dengan jarak tempuh berhari -hari yang dahulu ditempuh dengan jalan kaki. Namun, jika terjadi perkawinan antar daerah yang berjauhan ini tetap dilakukan dengan satu cara, yaitu adat Karo. Bahkan perkawinan yang tanpa surat kawin itu bisa berlaku dan diakui oleh masyarakat Karo di mana ia tinggal, karena Karo sebagai sebuah “society” punya kesinambungan (kontinuitas) meskipun wilayahnya dibagi-bagi berdasarkan sistim klasifikasi wilayah secara radisional.

Ada memang variasi peradatan di Karo Hilir (Karo Jahe) dengan Karo Gugung (Karo Pegunungan), tapi adat perkawinan yang manapun dilakukan tetap diakui sebagai sebuah perkawinan Karo oleh warga wilayah lainnya. Tidak demikian halnya bila perkawinan antara Karo dengan suku-suku tetangganya seperti Simalungun, Pakpak, Alas, Melayu, dan Batak.

2. Dalam Hal Pemberian Merga atau Beru

Orang Karo memiliki tradisi memberi merga atau beru kepada orang luar Karo. Sudah sangat sering media elektronik maupun media cetak memberitakan pelaksanaan sebuah acara pemberian/ penabalan merga kepada tokoh penting di Kabupaten Karo, bahkan tokoh Nasional.

Akan tetapi, pemberian merga/ beru oleh organisasi Karo atau Pemerintah menurut saya tidak memiliki otoritas serta legalitas berdasarkan sistim adat budaya Suku Karo. Boleh sebuah organisasi turut berperan. Namun, terasa janggal jika yang memberikan merga/ beru seharusnya lebih tepat sebagai fasilitator saja.

Penabalan merga sesungguhnya tidak dikenal di dalam adat budaya Suku Karo. Yang ada hanya pengangkatan anak, pengangkatan orangtua dan pengangkatan senina. Pengangkatan ini biasanya terjadi ketika ada seseorang perantau dari luar Suku Karo. Namun, ada juga dilakukan kepada seseorang yang berjasa terhadap kampung itu.

Sebuah perkampungan Suku Karo di tahun 1989. Foto: Juara R. Ginting

Dahulu, sering perang antar kampung, sehingga perlu teman yang banyak dan tanah pun masih luas, sehingga pendatang mudah diterima sebagai saudara. Diangkatlah dia menjadi anak, senina atau menjadi anak beru karena dinikahkan dengan salah satu perempuan di kampung itu dan kedudukannya disesuaikan karena pernikahannya.

Pengangkatan ini dilakukan dengan acara ”kahkah bohan”, dihadiri sangkep nggeluh sipemberi “status”. Dengan hadirnya sangkep nggeluh maka dia sudah diterima secara sah menjadi bagian dalam keluarga serta diberikan salah satu merga. Biasanya, menjadi merga simantek kuta (pendiri kuta) atau anak beru simantek kuta. Setelah merga atau beru itu melekat pada dirinya, ada sebuah tanggungjawab secara adat kepada sangkep nggeluh tersebut. Dia memiliki kerabat yang kedudukannya sebagai sembuyak, senina, kalimbubu atau anak beru.

Begitu juga dengan mengangkat anak karena perkawinan antar suku di adat budaya Suku Karo. Sudah sejak dahulu Suku Karo terbuka sifatnya untuk melangsungkan perkawinan dengan suku-suku lain. Letak geografis yang dikelilingi wilayah tanah ulayat suku-suku lain, maka Suku Karo di ulayat Taneh Karo (Medan, Deliserdang, Binjai, Langkat, Kabupaten Karo, sebagian Kabupaten Dairi, sebagian Kabupaten Simalungun, hingga sebagian wilayah Aceh Tenggara) membuat orang warga Suku Karo berinteraksi dengan Suku-suku Batak, Simalungun, Pakpak, Aceh, Melayu, Jawa, Minang, Tamil/ India, Pakistan, Cina dan lainnya selaku pendatang. Ketika seorang bersukukan Karo melaksanakan adat perkawinan, satu hal yang sering dilakukan adalah memberikan merga atau beru kepada salah satu pasangan dari luar Suku Karo termasuk dari Suku Batak.

Hal ini dimaksudkan agar proses adat dapat berlangsung dengan baik seperti halnya antara sesama orang Karo. Suku di luar Karo tentu tidak paham prosedural dan tata adat perkawinan Karo. Di dalam bahasa sehari-hari.

Orang luar Suku Karo tersebut tidak tahu apa yang harus dijalankannya atau diterimanya sebagai keluarga ataupun kerabat dalam prosesi adat. Oleh karena itu, dibuatlah kerabat atau disebut sangkep nggeluh baginya. Untuk mendapatkan Sangkep Nggeluh, harus ada merga atau beru dari pengantin yang bukan dari Suku Karo.

Apabila telah memiliki kerabat/ sangkep nggeluh, diangkatlah dia sebagai anak sebelum pesta berlangsung. Setelah dia menjadi anak, maka kedudukannya dalam adat sudah kuat, sudah memiliki sangkep nggeluh (ada merga/ beru, bebere, binuang, entah, enté, kampah, soler). Sudah pula ada Anak Beru, Senina, Sembuyak dan Kalimbubu di kehidupannya sebagai bagian dari masyarakat Suku Karo.

Pemberian merga atau beru ini biasanya juga berlaku kepada orang Batak yang menikah dengan orang Karo. Merga atau beru yang diberikan disesuaikan dengan merga atau beru impal yang dikawininya. Misalnya jika seorang wanita Batak boru Pangaribuan menikah dengan seoarang pria bersuku Karo bermerga Sinulingga beré Ginting (ibunya beru Ginting), maka boru Pangaribuan tersebut diberikan atapun dijadikan sebagai beru Ginting (wanita Batak itu disahkan sebagai Suku Karo), dengan cara diserahkan dulu kepada/siapa yang menjadi orangtuanya. Karena itu ia sudah mendapat beru dari orangtuanya itu, sekaligus sudah punya kerabat (sangkep nggeluh) berdasarkan seperti biasanya sebagai orang Karo.

Di lain waktu jika ada orang lain yang boru Pangaribuan menikah dengan merga Tarigan, maka bisa saja boru Pangaribuan itu diberi beru Sembiring karena Tarigan itu beberé Sembiring, kemudian bisa juga ada marga Pangaribuan diberi marga Tarigan karena menikahi beru Surbakti karena impalnya si beru Surbakti bermerga Tarigan.

Contoh tersebut nyata-nyata banyak terjadi di masyarakat, bahwa pemberian merga atau beru kepada orang Batak tidak konsisten dan tidak kontinuitas, atau tidak berlaku permanen, namun tergantung siapa impal yang dinikahinya tersebut. Oleh karena itu, jelas Tarombo Siraja Batak dan tarombo punguan marga-marga Batak yang memasukkan merga-merga Karo kedalamnya tidak dapat berlaku secara kontiniutas pada Suku Karo, namun berubah-ubah menurut kepentingaannya.

Penulis: Sada Arih Sinulingga (Pemerhati Budaya Karo dan Owner Group FB Jamburta Merga Silima); Editor: Bastanta P. Sembiring.

* Disampaikan pada seminar “Indentitas Karo dalam Perspektif Kebhinekaan”, yang diselenggarakan oleh Program Studi Sejarah S1 dan S2 USU Medan pada tanggal 22 Januari di Raz Hotel Jl. Dr. Mansur, Medan .

One thought on “KARO BUKAN BATAK*

  1. Ini artikel yang menarik, berprinsip dan sangat mencerahkan bagi semua pembaca.

    Pencerahan, pencerahan . . . itulah juga tujuan penting dan utama gerakan pencerahan KBB (Karo Bukan Batak). Pencerahan bahwa Karo bukan Batak secara ilmiah, dari pengalaman hidup dan dari segi ilmu pengetahuan modern soal asal usul (kultural) semua suku-suku bangsa negeri kita, suku besar maupun kecil, suku minoritas maupun mayoritas, dalam tujuan bersama, mempertahankan, mengembangkan dan memajukan Nation Bhinneka Tunggal Ika Indonesia.

    Dari segi akademis, penemuan DNA Karo dan Gayo 2010-2012 di dataran tinggi Gayo oleh arkeolog USU Ktut Wiradnyana dalam fosil yang sudah berumur 7 ribuan tahun, dan membandingkan dengan DNA orang Toba hasil penggalian arkeologi di Pusuk Buhit, DNA orang Toba (Batak) baru berumur sekitar 300 ratus tahun (lihat di Roemah Sejarah Ichwan Azhari WordPress – Karo Bukan Batak). Perbedaannya jauh sekali (waktunya) sesudah exisnya orang Karo/Gayo di dataran tinggi Gayo dan munculnya orang Toba di Taput 7000 tahun kemudian atau baru 300 tahun lalu.

    Tambahan berita menarik lainnya ialah seperti yang pernah diberitakan di koran-koran, bahwa ketika meresmikan jalan tol, Medan-Kualana Namu-Tebing Tinggi, (13/10/2017), Presiden Jokowi, menyebut bahwa dirinya sebentar lagi akan menjadi orang Batak. Ini dalam kaitan putrinya akan kawin dengan seorang bermarga Nasution, orang Mandailing. Bagi Jokowi merupakan kebanggan ‘jadi Batak’ bisalah dimaklumi, tetapi bagi sebagian orang Mandailing banyak juga yang tidak pernah menerima dan memasukkan Mandailing sebagai Batak. Banyak pendapat bermunculan soal Mandailing Bukan Batak.

    Pada umumnya, di Jawa atau di pusat, dikalangan pejabat-pejabat NKRI terutama memang pengetahuan soal istilah ‘Batak’ masih sangat terbatas dengan suku Toba saja atau semua suku-suku lainnya termasuk pengertian ‘sub-etnis’ Batak. Sekarang pengetahuan ini semakin berkembang meluas dan lebih mendalami, atau setidaknya semakin dipelajari istilah ‘Batak’ itu. Banyak positifnya pembelajaran ini. Pencerahan tadi!

    Pengakuan terhadap keragaman itu, dan menghormati tiap suku bangsa dan sesama suku bangsa, besar atau kecil, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, itulah kunci keharmonisan dalam kehidupan berbangsa Bhinneka Tunggal Ika itu.

    “Menurut peneliti sejarah dari Unimed, Erron Damanik yang juga menjadi pembicara di seminar “Mandailing Bukan Batak”, Senin (23/10/2017), Mandailing telah menolak disebut Batak sejak 1922. Sedangkan Karo menolak disebut Batak sejak 1952. Sementara Simalungun menolak disebut Batak sejak 1963. Menyusul Pakpak menolak disebut Batak sejak 1964, juga Nias menolak disebut Batak sejak 1952. Hanya Toba dan Angkola yang sampai saat ini tetap kukuh menerima disebut Batak.” (medanbisnisdaily, 2017/11/15).

    Kata Erron Damanik juga pembagian sub-etnik Batak (6 suku bangsa, Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, Pakpak dan Angkola) itu ditulis juga oleh prof Payung Bangun, yang kemudian di jadikan dasar oleh Koencaraningrat dalam bukunya “Manusia dan Kebudayaan”.

    Kelihatannya bisa dipahami memang kalau di jamannya Payung Bangun dan Koencaraningrat adalah tidak mungkin menulis secara pasti dan ilmiah semua teori soal suku-suku bangsa di Sumut seperti sekarang setelah adanya penemuan-penemuan baru soal DNA Karo dan Gayo yang sudah berumur ribuan tahun itu, sedangkan Toba baru 300 tahun. Sudah jelas tidak masuk akal sekarang ini bahwa Karo adalah bagian dari Batak, atau yang disebut oleh Payung Bangun dan Koencaraningrat soal 6 sub-etnis Batak itu.

    Di Jokjakarta awal Januari ini saya cari-cari makanan BPK (Babi Panggang Karo), dan menemukan salah satu warung BPK agak diluaran kota. Disamping makanan ditemukan, juga menjadi perhatian saya di warung itu tertulis jelas dan huruf besar-besar di dinding, ‘warung Batak Toba’, yang pemilik warung itu memang orang-orang Toba. Ingat saya selama ini orang-orang Toba ngakunya orang Batak. Tetapi di warung BPK itu malah ngaku ‘Batak Toba’ he he he . . . pengakuan yang memang betul dan tulus menuju perubahan berikutnya jadi suku Toba saja tanpa embel-emberl ‘Batak. Kalau sudah sampai ke sebutan dengan istilah suku Toba saja, setingkat dengan suku-suku lainnya, suku Karo, suku Mandailing, Pakpak, Simalungun, Angkola, meninggalkan pengertian suku dari Payung Bangun maupun Koencaraningrat yang sudah tidak sesuai dengan keilmiahan akademis penemuan arkeologi USU di dataran tinggi Gayo 2010-2012.

    MUG

Leave a Reply to MUG Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.