Kolom W. Wisnu Aji: KAUM TANI DAN MARHAENISME SOEKARNO — Refleksi Kritis Hari Tani Nasional

Hari Tani Nasional merupakan momentum terbaik untuk perbaikan kesejahteraan kaum tani Indonesia, karena kaum tani merupakan pondasi ketahanan pangan nasional. Bung Karno meletakkan narasi tertinggi Petani lewat simbol Marhaen yang dijadikan pendobrak perubahan bangsa saat itu.

Momentum sejarah Hari Tani Nasional berawal dari proses pemikiran Soekarno dalam hak-hak rakyat akan tanah sebagai basis produksi demi menopang ketahanan pangan nasional.

Petani bagi Bung Karno ditempatkan dalam narasi tertinggi dimana Petani merupakan kepanjangan dari Penyangga Tatanan Negara Indonesia dengan disingkat PETANI. Petani yang merupakan upaya turunan dari proses pembelaan hak-hak rakyat akan tanah yang diatur dalam UU tentang pokok-pokok agraria tahun 1960.

Petani semakin diberi ruang hak pengolahan tanah dengan dijamin negara demi menopang Ketahanan Pangan Nasional. Petani semakin punya tempat khusus dimata Bung Karno ketika keluarnya Keppres Nomor 169 Tahun 1963 yang memaknai Petani sebagai kekuatan penyangga negeri yang akhirnya setiap tanggal 24 Septemper ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional.

Lalu, berbicara antara Hari Tani dengan Marhaenisme maka di sinilah peran nilai idiologis pemikiran Bung Karno tentang Kaum Tani Indonesia.

Cerita bermula ketika Bung Karno jalan-jalan pagi ke Bandung. Saat melihat situasi di Bandung itu berkenalanlah Bung Karno dengan figur bernama Marhaen, sosok petani sederhana dengan rumah yang sederhana tapi terus giat kerja untuk tanah pertaniannya yang cuma sepetak.

Dari hasil interaksinya dengan Marhaen maka muncullah sebuah gagasan pemikiran tentang Perjuangan Kaum Tani. Pemikiran tersebut dimaknai sebagai nilai ajaran Marhaen.

Dalam bahasa Bung Karno nilai ajaran Marhaen ala Bung Karno kemudian dikenal sebagai nilai-nilai MARHAENISME. Nilai Marhaenisme bagi Bung Karno bukan sosok petani miskin yang mendapat belas kasihan orang lain. Atau dalam bahasa narasi Karl Marx sebagai kaum proletar atau dalam Bahasa Islam dimaknai sebagai Kaum Mustad Afin.

Bagi Bung Karno, Kaum Marhen selalu punya posisi tertinggi sebagai pemantik perubahan. Kaum Marhaen dalam perspekstif Bung Karno adalah seperti gambaran kaum petani yang ditemui saat di Bandung.

Kaum Marhaen adalah kelompok rakyat kecil dengan kesederhanaannya tapi tetap bergerak kerja keras demi menghidupi keluarganya lewat basis produksi yang dipunyainya.

VIDEO: Pertanian Durian di Langkat Hulu (Karo Hilir)

Marhaenisme adalah faham idiologi yang diajarkan sebagai pemantik nasib wong cilik bangkit menggerakkan ekonomi lokal lewat potensi yang dipunyainya.

Maka momentum Hari Tani Nasional adalah momentum bergeraknya serta bangkitnya seluruh potensi rakyat kecil untuk sinergi bersama wujudkan pendobrakan perubahan berbasis lokal.

Hari Tani momentum para petani hijrah dari proses tani konvensional menuju Tani Hub demi adaptasi perubahan yang kian pesat di negeri ini.

Hari Tani Nasional juga merupakan kebangkitan Kaum Tani Nasional di tengah semakin sempitnya lahan pertanian di tengah upayanya menyangga ketahanan pangan nasional yang terus diserbu produk pangan impor.

Hari Tani Nasional juga dijadikan momentum mendorong kaum muda kembali menyukai aktivitas pertanian modern lewat penguatan strategi Tani Hub.

Semoga lewat Hari Tani Nasional jadi mengingat kembali nilai-nilai idiologis yang diajarkan oleh Bung Karno tentang pemaknaan nilai Marhaenisme.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.