Oleh: Tiara Sutari (Bandar Lampung) Waktu kecil dan saat liburan sekolah, saya banyak ikut nenek yang masih menganut kepercayaan Perbegu. Kebetulan, salah satu besan nenek dipercaya sebagai guru (dukun Karo) yang memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan pengobatan.Setiap saya tanya mengapa nenek tidak pindah saja ke salah satu agama, selalu dijawab bahwa semua agama itu sama; mengajarkan perbuatan baik dan nenek juga percaya adanya Dibata sebagai pencipta langit dan bumi beserta isinya.Walau samar-samar, tapi ada beberapa kegiatan nenek dan besannya yang masih saya ingat. Menurut saya, tatacaranya beda dan tidak serumit Hindu Bali. Saya pernah menyaksikan upacara pemanggilan roh orang-orang yang sudah meninggal, erpangir (upacara keramas), dan lain sebagainya. Sayang, saya tidak bisa menyaksikan saat nenek dikubur dan beberapa tahun kemudian ada upacara pengangkatan tengkorak dari kuburannya.Saat mengunjungi Nini Biring di Pancur Ido (Binjai) (1982). Penulis ke 2 dari kiri.Sama seperti Hindu Bali, setiap memimpin upacara, sang guru memakai pakaian dan tutup kepala serba putih. Upacara berlangsung diiringi musik tradisional Karo dan tarian, setelah itu memberikan persembahan ke tempat keramat yang dipercaya mempunyai kekuatan lain yang bisa membantu mereka selama hidup di dunia.Saya perhatikan, nenek sangat dekat dengan alam. Pohon-pohon, tanaman dan binatang yang hidup di sekitarnya semua diperlakukan dengan kasih sayang, bahkan diajak bicara. Setiap pulang dari kebun, tak pernah lupa meletakkan persembahan di bawah pohon yang dikeramatkan yang tumbuhnya persis di atas pancuran.Inilah sekilas kenangan bersama nenek. Post navigation15 Caleg Karo Lolos ke DPRD Langkat Valentino Tarigan Dilantik Sebagai Ketua Kei Shin Kan Sumut