Kolom Eko Kuntadhi: KETIKA DIAM ADALAH BUNUH DIRI

Minggu pagi, kita dikagetkan dengan berita sedih. Pada suatu misa di sebuah gereja di Jogja, datang orang membawa pedang. Orang ini menyerang jemaah yang ada di sana, lalu masuk ke dalam gereja, menyerang Romo Prier yang sedang memimpin misa.

Untung saja aparat cepat bertindak. Si penyerang dilumpuhkan dengan ditembak. Sementara korban jemaat dan Romo Prier kini dibawa ke rumah sakit karena luka akibat serangan itu.




Kita tidak tahu motif penyerangan. Tapi, yang pasti, kebencian telah mewujudkan dirinya dalam tindakan.

Sebelumnya, juga di Jogjakarta, sebuah acara kemanusiaan Gereja Katolik dibubarkan sekelompok orang yang tergabung dalam Front Jihad Islam. Alasannya karena acara tersebut ditenggarai menjadi ajang Kristenisasi. Padahal itu sekadar acara rutin, dan tidak ada juga orang yang masuk Kristen karena sebuah bakti sosial.

Di Lebak Tanggerang, seorang Bikshu didatangi gerombolan orang dari FPI. Mereka meminta Bikshu tersebut tidak melayani umat Budha yang datang ke rumahnya. Sebagai pemimpin agama sebetulnya wajar saja seorang Bikhsu didatangi umatnya. Ada yang meminta doa, meminta nasehat atau sekadar ngobrol.

Tapi, kaum gerombolan selalu ngotot rumah tidak boleh dijadikan tempat ibadah. Padahal banyak pengajian yang digelar di rumah, sholat jemaah yang digelar di rumah. Acara keagamaan yang menutup jalan. Bahkan sholat Jumat di Monas, yang jelas-jelas fugsinya bukan tempat ibadah. Biasa saja tuh.

Mereka mempersekusi Bikshu untuk menyatakan permohonan maaf karena aktivitas agamanya, videonya diviralkan dan membuat heboh.

Menurut kaum gerombolan, Bikshu Budha yang beribadah di rumahnya dapat menganggu iman masyarakat setempat. Makanya sang Bikhsu diminta untuk menyingkirkan patung dan simbol-simbol agama Budha lain dari rumahnya.

Di Cicalengka, Bandung (Jawa Barat) lain lagi. Pengasuh pesantren Kyai Umar Basri diserang seseorang sehabis subuh. Kyai yang biasa menghabiskan waktu untuk wiridan ini dipukuli habis-habisan. Wajahnya babak belur.

Sang penyerang berteriak, ‘ini mah, neraka semua,’ saat melakukan aksinya. Maksudnya apa yang dilakukan Kyai Umar Basri yang juga duduk dalam kepengurusan NU Cicalengka adalah amalan ahli neraka. Sang penyerang tampaknya telah kesusupan doktrin yang membid’ah-kan amalan-amalan NU. Doktrin ini khas Wahabi.

Di Jawa Barat yang sedang menggelar Pilkada Gubernur, isu penyerangan kyai langsung digoreng. Umat ditakut-takuti. Bahkan untuk menggorengnya mereka menyebarkan isu terjadi penyerangan di pesantren lain. Setelah ditelusuri, isinya cuma berita bohong.

Fenomena apa yang sedang kita hadapi?




Yang pasti, Indonesia kini sedang dilanda darurat toleransi akut. Faktor utamanya adalah makin berkembangnya pemahaman keagamaan yang membenci keyakinan lain. Bukan hanya membenci mereka yang berbeda agama, yang seagamapun jika amalannya berbeda juga dianggap musuh.

Mereka mengalami doktrin tunggal bahwa hanya penafsiran agamanya saja yang mewakili kebenaran. Yang berbeda harus diberantas. Yang berbeda harus dimusnahkan.

Bukan hanya pengajian orang dewasa yang kesusupan doktrin seperti ini. Di majelis-majelis mahasiswa juga mengalami hal serupa. Liqo-liqo sejak dulu beternak para mahasiswa untuk hanya meyakini doktrin dari kelompoknya saja. HTI berkembang marak di kampus. Kader-kader PKS menguasai lembaga-lembaga kemahasiswaan.

Di Riau, kemarin, kita saksikan video seorang anak sedang mengibarkan bendera HTI dalam sebuah kegiatan sekolah. Anak-anak kecil dengan seragam Pramuka diajarkan pengertian jihad yang keliru. Kebencian ditanamkan sejak dini. Sekolah itu sendiri kabarnya milik istri Wakil Walikota asal PKS.

Doktrin puritan dan kaku ideologi Wahabi, bersatu dengan kepentingan politik para penjaja agama, pada akhirnya membuat kekacauan dalam masyarakat. Hampir semua organisasi teroris berbasis Islam, menjadikan Wahabi sebagai pegangan doktrin agamanya. Lihat saja ISIS, Al Qaedah, Al-Nusra, Boko Haram, atau Taliban. Semuanya berpaham Wahabi.

Kenapa doktrin agama yang meresahkan dan membuat gaduh masyarakat itu bisa tumbuh subur?

Ada kepentingan politik yang memelihara kelompok-kelompok garis keras seperti ini. Mereka berharap merebut kekuasaan dengan memanfaatkan kegoblokan beragama yang makin tumbuh subur dalam masyarakat muslim. Karena Islam adalah agama mayoritas di Indonesia, maka isu yang berkenaan dengan agama sangat mudah dimainkan lalu dipetik manfaat politiknya. Apalagi menjelang Pilkada.

Skenario paling buruk, Indonesia ingin dijadikan seperti Syuriah. Diadu antar-kelompok masyarakat dengan konflik agama. Di Ambon atau Poso kita pernah menyaksikan percobaan seperti ini.

Skenario ke dua, seperti di Pakistan. Kekuatan-kekuatan politik yang ada di Indonesia memanfaatkan gerombolan untuk melancarkan kepentingannya.




Lalu, bagaimana reaksi aparat kita? Coba kita perhatikan. Jika sebuah kasus terjadi, dan tidak mendapat sorotan publik, aparat cenderung pasif. Memang sih, dalam konteks keamanan, jika aparat bekerja terlalu reaktif terhadap kasus-kasus intoleransi, yang mungkin terjadi adalah isu itu akan digoreng membesar dengan memperhadapkan umat Islam dengan negara.

Istilah ‘Jangan Kriminalisasi Ulama’ misalnya, adalah salah satu upaya membenturkan aparat dengan umat Islam. Apalagi disambungkan dengan isu pemerintahan Jokowi memusuhi umat Islam. Ini sengaja ditiupkan untuk menjadi penekan bagi gerak aparat keamanan. Wajar saja jika sikap aparat amat sangat hati-hati agar reaksinya tidak malah menjadikan ekskalasi konflik lebih besar.

Tapi, apakah kejadian intoleransi seperti ini kita biarkan saja? Tidak juga. Yang bisa kita lakukan adalah terus menekan pihak keamanan dan meyakinkan mereka bahwa sebuah kasus intoleransi harus ditangani dengan lebih tegas. Mengumbar kekecewaan secara terbuka kepada aparat keamanan bukan langkah bijak. Justru yang penting memberikan kepercayaan diri pada mereka untuk melakukan tindakan serius terhadap semua kegiatan intoleran di masyarakat.

Intinya begini. Kini sedang terjadi perang opini dan idologi dalam masyarakat kita. Jika kaum intoleran menguasai panggung opini, maka aparat akan lebih bersikap hati-hati. Tapi jika kelompok moderat yang lebih mendominasi, hal itu akan memaksa aparat untuk bertindak lebih serius terhadap kasus-kasus intoleransi.

Karena itu jadikan semua lini kehidupan kita sebagai sarana memenangkan opini, bahwa Indonesia sekarang terjadi darurat toleransi. Bahwa aparat sangat dibutuhkan untuk menangani kasus-kasus intoleransi. bahwa rakyat Indonesia ada di belakang mereka. Terus kita suarakan. Jangan hanya diam. Bahkan hanya dengan sekadar sebuah status di media sosial. Atau ikut menyebarkan opini untuk memerangi radikalisme.




Ramaikan status medsosmu dengan mengutuk semua sikap intoleran, ramaikan group-group WA dengan menyebarkan opini positif dan perlawanan pada intoleransi. Yang kita lawan adalah sikap intoleransi sebagian orang. Jangan salah menjadi justru menyebarkan pikiran negatif pada sebuah agama.

Jika menulis status saja kita malas. Jika menyebarkan opini perlawanan pada kegilaan mereka saja kita takut. Sebaiknya tidur saja. Jangan malah ikut menyebarkan sikap skeptisme dan apatis.

Tidak ada lagi silent majority. Di tengah situasi seperti ini, sikap diam sama saja bunuh diri. Kita bantu aparat keamanan dengan terus menyuarakan suara kita. Suara tentang Indonesia yang plural, beragam dan berdasarkan Pancasila. Suara tentang toleransi dan anti kekerasan. Suara tentang beragama yang semakin membuat sejuk, bukan membuat gerah.

Aktiflah sekuat tenaga sebagai agen-agen toleransi.

Cuma ini yang bisa kita lakukan. Maka lakukanlah untuk masa depan anak-anak kita.


















Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.