KIPRAH PETANI KECIL DALAM MENINGKATKAN KEBERLANJUTAN DAN KESEJAHTERAAN

LORETA KAROSEKALI. MILAN (Italy) — Keterlibatan petani kecil dalam rencana keberlanjutan yang bersifat “top-down bottom-up” dan ambisius memerlukan kebijakan dan investasi ekspansif yang disesuaikan dengan kekuatan produktif berskala kecil dan menengah. Kebijakan baru Uni Eropa tidak boleh mengabaikan peran penting petani kecil dalam kegiatan produksi pangan. 

Jika kalangan ini diabaikan dalam proses penyusunan kebijakan Uni Eropa (UE), artinya kemiskinan dan gejolak sosial akan timbul.

Bahkan hasil positif apa pun tidak akan tercapai dalam konteks keberlanjutan: dialog adalah kunci penting, sementara, isu keberlanjutan menyangkut aspek kepercayaan dan kerja sama antara negara-negara penghasil dan konsumen minyak kelapa sawit.

Hal tersebut merupakan pesan dari petani kecil yang terlibat dalam rantai pasok kelapa sawit, motor penggerak dalam produksi global, yang disampaikan dalam sebuah konferensi “Small-Holders: Drivers of Prosperity and Sustainability“, dipromosikan Competere.

Gert van der Bijl, Senior EU Policy Advisor dari Solidaridad, “Produksi berkelanjutan tidak akan tercapai tanpa melibatkan para petani kecil dan perkembangan sosio-ekonomi mereka. Di satu sisi, deforestasi tidak akan terhenti jika petani kecil tidak memiliki sarana untuk melakukan produksi secara berkelanjutan.”

Bagi para petani kecil di Nelsy Vega dan Teresa Pena, Kolombia, budi daya kelapa sawit menjadi sumber kehidupan, harapan, dan peluang pengembangan diri, baik bagi mereka sendiri dan anak-anaknya. Kalangan ini juga meminta UE agar tidak membuat stigma terhadap kegiatan produksi berkelanjutan yang dijalankan petani kelapa sawit tersebut. 

Djono Burhan dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, berkata, “Petani kecil memperoleh manfaat sosial dan ekonomi dari perkebunan kelapa sawit. Sektor ini menopang perkembangan seluruh masyarakat, bahkan jika rantai pasok yang lebih panjang menurunkan pendapatan petani.”   

Transisi efektif menuju produksi berkelanjutan menghadirkan tantangan, dan program pelatihan menjadi kunci penting. 

Maria Goldameir Mektania, seorang petani kecil, menekankan, “Kalangan petani memerlukan pelatihan yang tepat agar mampu melalui transisi menuju metode produksi yang ramah lingkungan. Jika kebijakan dan tingkat harga komoditas terus berubah, petani kecil mendapat imbas negatif yang paling banyak di antara pelaku sektor ini.”

Adzmi Hassan, dari National Association of Smallholders Malaysia (NASH), menjelaskan, tantangan utama dalam penerapan standar keberlanjutan terletak pada insentif pendapatan.

Sementara Juan Alberto Lemus Silva, Agroindustria Palmera San Román, Guatemala, menyasar kebijakan UE dan berkata bahwa kebijakan ini “berpotensi menghambat, alih-alih memberikan insentif terhadap kegiatan produksi di Guatemala, sebab mengakibatkan kenaikan harga, serta memperumit aturan dan regulasi ekspor.”

Pietro Paganini, President, Competere, menutup diskusi tersebut, “Aspirasi pihak-pihak yang bekerja di rantai pasok kelapa sawit berkelanjutan menuntut kita mempertimbangkan kampanye negatif dan tidak kondusif yang menghambat sektor ini. Kami mengemukakan rantai pasok global yang memiliki transparansi dan inovasi, serta telah lama berkomitmen melaksanakan proyek-proyek berkelanjutan.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.