Oleh: Simson Ginting Sinisuka
Ketika dulu di saat masih SMA, saya tinggal di rumah bibi (saudari ayah) yang menikah dengan merga Perangin-angin. Mereka tinggal di Delitua dan memiliki 2 anak; 1 ptra dan 1 putri. Anak bibi yang laki laki (impal) merupakan senior saya di sekolah, satu tahun di atas saya. Karena begitu kompak, terkadang hampir tidak terasa kalau kami itu adalah bersepupu (erimpal).
Hampir semua kepribadiannya saya ketahui. Begitu juga dengan keperibadian saya hampir semua dia ketahui. Ketika dia naik ke kelas 2, dia jatuh cinta pada seorang gadis satu kelas dengannya. Gadis itu juga tinggal di Delitua.
Tak lama berselang mereka pun berpacaran. Dalam perjalanan hubungan asmara mereka, banyak hal positif yang saya lihat. Sepupu saya semakin giat belajar, semakin rajin, dan prestasinya jauh meningkat. Bukan sepupu saya saja, gadis itu juga jauh lebih baik prestasinya.
Tapi, tidak lama kemudian, masalah datang melanda hubungan mereka. Pasalnya, teman satu kelas mereka mengejek hubungan asmara mereka. Alasannya, mereka dianggap erturang (bersaudara). Gadis tersebut adalah seorang dari Suku Simalungun boru Damanik. Konon katanya, Damanik kalau dimasukkan ke merga Suku Karo adalah Perangin-angin.
Pacar sepupu saya sangat terpukul dengan keadaan itu. Satu sisi mereka sangat salaing mencintai, di sisi lain dia malu dengan hubungan yang mereka jalani. Mereka tidak tahu harus berbuat apa, begitu juga dengan saya.
Jujur, saat itu guru saya menyatakan kalau Suku Karo adalah bagian dari Suku Batak, tidak mudah buat kami untuk membantah argumen tersebut.
Akhirnya, sebelum tamat sekolah hubungan asmara mereka berakhir karena malu terus menerus diejek. Setelah saya gabung di dalam Karo Bukan Batak, baru saya sadari cinta mereka tidaklah salah. Di saat saya cuti tahun lalu, saya pulang kampung. Saya sempat berbicara mengenai hubungan asmara mereka dulu tidak lah salah.
“Ya, benar tidak salah memang. tapi, sekarang sudah salah. Dia sudah punya suami,” katanya.