Kolom Alexander F. Meliala: KARO FESTIVAL 2015

merdeka 9
Sebuah bangunan tradisional Karo model Jambur Lige berdiri di Lapangan Merdeka (Medan) di Jaman Kolonial. Ini menandakan pengakuan Kota Medan bercirikan budaya Suku Karo. Belakangan, warga Suku Karo merasa dipinggirkan. Kini, mereka hendak kembali mengingatkan posisi mereka di Kota Medan.

alexanderKaro Festival 2015 akan menjadi acara pentas budaya Karo terbesar di Sumatera Utara. Acara ini akan diselenggarakan di Lapangan Merdeka (Medan) selama 3 hari secara berturut-turut (27 – 29 Agustus 2015). Tampil sebagai penggagas kegiatan adalah DPD Himpunan Masyarakat Karo Indonesia (HMKI) Sumut, didukung penuh oleh seluruh lapisan masyarakat Karo.

Kegiatan yang diadakan di Lapangan Merdeka ini sebenarnya sudah sangat lama dinantikan, bahkan sangat dirindukan oleh sebagian besar kalangan masyarakat Karo. Dari catatan sejarah yang hampir sudah terlupa, kita mengetahui bagaimana dulu  hingga tahun 1960an orang Karo masih kerap melaksanakan kegiatan Guro-guro Aron di Lapangan Merdeka.

Seperti yang diceritakan oleh antropolog Karo, Juara R. Ginting, melalui kolomnya pada Oktober 2013 lalu di Sorasirulo.com, sebelum pelaksanaan Guro-guro Aron di Lapangan Merdeka kala itu, ratusan warga Karo, khususnya para aron, terlebih dahulu melakoni kegiatan ngerintak lige-lige dari Padangbulan ke Lapangan Merdeka.

Juara menambahkan, lige-lige adalah kenderaan kebesaran Karo berbentuk mirip rumah si empat ayo bertingkat-tingkat terbuat dari kayu, beratap ijuk dan dilengkapi dengan beberapa roda kayu. Kenderaan bergerak ketika ditarik dengan tali secara beramai-ramai. Kebesaran lige-lige sedikit lebih rendah dari kalimbaban yang bentuknya mirip lige-lige tapi jumlah tingkatannya lebih banyak.

Dari gambaran semangat warga Karo tempo dulu melaksanakan kegiatan Guro-guro Aron di Lapangan Merdeka, tentu menjadi kerinduan tersendiri bagi warga Suku Karo. Setelah era tahun 1960an itu hingga kini Karo tidak pernah lagi melaksanakan kegiatan-kegiatan serupa di tempat ini.

merdeka 8
Kantor Pos di Pusat Kota Medan, berdampingan dengan Lapangan Merdeka.

Kerinduan ini bukan tanpa alasan. Ini dapat dibuktikan dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang Karo, khususnya para pemuda dan mahasiswanya dalam 10 tahun terakhir. Ketika Monumen Guru Patimpus Sembiring Pelawi sebagai pendiri Kota Medan telah diresmikan pada tahun 2005, pada tahun berikutnya (2006) tepatnya bulan Juli, sekelompok pemuda dan mahasiswa Karo (penulis juga turut ikut di dalamnya) langsung menggelar bakti sosial di monumen tersebut. Adapun tujuan bakti sosial  waktu itu adalah sekaligus memperingati HUT Kota Medan yang didirikan oleh Guru Patimpus.

Kegiatan HUT Kota Medan yang diperingati di monumen Guru Patimpus Sembiring Pelawi yang bermula pada tahun 2006 ini, kemudian berlanjut dari tahun ke tahun setiap bulan Juli hingga tahun 2009. Kegiatan tahunan ini tetap dilaksanakan oleh para Pemuda dan Mahasiswa Karo.

Karena kesibukan dan alasan-alasan lain, mulai tahun 2010 kegiatan ini sempat terhenti hingga tahun 2013. Dalam 4 tahun secara berturut-turut tak ada lagi kegiatan Pemuda dan Mahasiswa Karo dalam rangka memperingati HUT Kota Medan di Monumen Guru Patimpus.

Peringatan HUT Kota Medan oleh Pemuda dan Mahasiswa Karo kembali digelar 5 tahun kemudian, tepatnya di bulan Juli tahun 2014. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pemuda Karo Medan (PKM) yang berkolaborasi dengan Sanggar Karo Indonesia (SKI).

merdeka 10
Jalan tanjakan dan banyak tikungan yang menghubungkan Medan (Karo Jahe) dengan Berastagi (Karo Gugung) dan Kutacane (Tanah Alas) (Aceh Tenggara)

Pada tahun 2015, kegiatan Refleksi HUT Kota Medan masih tetap dilakukan oleh PKM di Monumen Guru Patimus. Sementara kegiatan lainnya, yakni Kerja Tahun Kota Medan yang dilaksanakan di tempat terpisah, yaitu di Gedung Medan Club juga memiliki spirit yang sama dalam rangka ingin menunjukkan eksistensi Suku Karo di tengah-tengah Kota Medan, khusus untuk kegiatan Kerja Tahun tersebut, penulis juga menyebutnya sebagai salah satu momen sejarah bagi masyarakat Karo di Kota Medan.

Meski serangkaian kegiatan Kinikaron telah dilakukan berulang-ulang di Kota Medan dalam hitungan 10 tahun terakhir, namun untuk mengulang sejarah, dimana Suku Karo kembali dapat melaksanakan Guro-guro Aron di Lapangan Merdeka seperti tahun 1960an, masih tetap belum terwujud.

Karena adanya dorongan dan juga spirit yang sama untuk menunjukkan Kinikaron dari kegiatan-kegiatan yang telah diselenggarakan sebelum-sebelumnya, akhirnya HMKI menjawab penantian panjang Suku Karo dengan kegiatan Karo Festival 2015.

Mungkin akan muncul pertanyaan sebagian orang, mengapa musti kegiatan Karo harus di Lapangan Merdeka, Medan? Sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut adalah bahwa hal ini tidak akan terlepas dari hubungan antara Gubernuran Sumut dan Lapangan Merdeka di satu pihak dengan Padangbulan di pihak lain.

Gubernuran Sumut dan Lapangan Merdeka adalah titik-titik istimewa yang menghubungkan wilayah Propinsi Sumatera Utara dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di pihak lain, kawasan Padangbulan adalah serambi (ture-ture) Taneh Karo Simalem.  Bayangkan NKRI sebagai sebuah kuta dan Taneh Karo adalah sebuah rumah adat yang terletak di kuta bernama NKRI.

Bila kita sudah membayangkan seperti itu, kita akan menangkap apa yang terkandung di dada warga Karo, khususnya bagi mereka yang bergerak beramai-ramai menuju Lapangan Merdeka maupun Gubernuran Sumut tempo dulu di tahun 1960-an, yakni Pang ku tengah encidahken bana: “Enda Karo Ndai, turang-senina sebangsa dan setanah air!”

“Aku tidak melihatnya sebagai sebuah kecongkakan atau sekedar jegar-jegir. Itu pertanda Karo menerima diri sebagai bagian NKRI. Namun, tidak kembut berhadapan dengan saudara-saudarinya sebangsa dan setanah air. (Énda Karo ndai, tak pernah ingkar janji sehidup semati),” demikian salah satu petikan tulisan Juara R. Ginting menanggapi antusiasme warga Karo di tahun 1960an dalam rangka melaksanakan Gendang Guro-guro Aron di Lapangan Merdeka, lengkap dengan kenderaan kebesaran Karo, Lige-lige.

Terkait Karo Festival di Lapangan Merdeka pada 27 hingga 29 Agustus mendatang, sudahkah kita (seluruh warga Karo) siap menunjukkan “Enda Karo Ndai“? Ketika kita (seluruh Karo di Sumatera Utara khususnya, dan di Kota Medan pada umumnya) telah siap menunjukkan jati diri dan eksistensi kita sebagai bagian dari bangsa dan negara (NKRI), tak ada alasan bagi kita untuk tidak hadir dalam momen bersejarah ini.

Mari secara bersama kita petunggung, pehaga, dan menyukseskan kegiatan Karo Festival 2015. Semoga suksesnya kegiatan Karo Festival 2015 dapat menjadi barometer agar kegiatan-kegiatan Karo Festival di tahun-tahun berikutnya dapat menjadi agenda rutin di Kota Medan.

Mejuah-juah!



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.